Jika diperhatikan, tiga kategori ini sebenarnya adalah jawaban atas paradoks pendidikan modern: bagaimana caranya agar siswa tidak hanya "hebat di kertas," tetapi juga tangguh menghadapi tantangan nyata di luar kelas.
Inilah titik penting yang harus kita sadari: tujuan pembelajaran bukan hanya agar siswa tahu, tetapi agar mereka bisa hidup dengan pengetahuan itu.
Generasi 'Scroll-Scroll' Tak Cukup Dibekali Teori Kuno
Mengapa perumusan tujuan yang jelas ini menjadi begitu mendesak sekarang? Jawabannya sederhana: dunia telah berubah. Anak-anak kita hidup di era digital yang dibanjiri informasi dan disrupsi teknologi. Â Mereka tidak lagi butuh guru yang hanya berfungsi sebagai kamus berjalan. Mereka butuh kemampuan untuk menyaring informasi, berpikir kritis, berkolaborasi, dan mencipta.
Menurut Trilling dan Fadel (2009) juga, keterampilan inilah yang disebut Keterampilan Abad 21, yang mencakup 4C:Â
Critical Thinking (berpikir kritis), Creativity (kreativitas), Collaboration (kolaborasi), dan Communication (komunikasi), ditambah dengan literasi digital.  Oleh karena itu, tujuan pembelajaran harus dirancang untuk melatih keterampilan ini.
Contohnya:
Berpikir Kritis: "Siswa mampu membandingkan dua artikel berita daring berdasarkan kredibilitas sumbernya."Â
Kreativitas: "Siswa mampu menghasilkan video pendek tentang isu lingkungan menggunakan aplikasi editing sederhana."
Tujuan-tujuan seperti ini relevan dengan kehidupan nyata mereka dan mempersiapkan mereka untuk tantangan di masa depan, bukan sekadar mengisi lembar jawaban ujian.Â
Dua Guru, Dua Dunia: Kisah dari Balik Dinding Kelas