Mohon tunggu...
Prahasto Wahju Pamungkas
Prahasto Wahju Pamungkas Mohon Tunggu... Advokat, Akademisi, Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa (Belanda, Inggris, Perancis dan Indonesia)

Seorang Advokat dan Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa dengan pengalaman kerja sejak tahun 1995, yang juga pernah menjadi Dosen Tidak Tetap pada (i) Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, (ii) Magister Hukum Universitas Pelita Harapan dan (iii) Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang gemar travelling, membaca, bersepeda, musik klasik, sejarah, geopolitik, sastra, koleksi perangko dan mata uang, serta memasak. https://pwpamungkas.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kapan Perdamaian Tercapai? Mengukur Probabilitas Konflik Bersenjata Turki vs Israel.

24 Juli 2025   16:17 Diperbarui: 24 Juli 2025   16:29 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber/Kredit Foto: Prof. James Ker-Lindsay on YouTube

Situasi di Timur Tengah dan Asia Minor semakin lama semakin mengkhawatirkan. Perang antara Israel dengan Hamas/Palestina (Gaza) yang memicu krisis kemanusiaan yang luar biasa dahsyat di Gaza, perang antara Israel dengan Hezobollah di Lebanon, perang yang baru saja terjadi antara Israel dengan Iran (sponsor utama Hamas, Hezbolah dan Houthi (Yemen)) dan kini aksi militer Israel di Suriah sebagai akibat dari perseteruan antara kelompok Druze melawan Bedouin, semuanya merupakan bukti nyata sulitnya perdamaian tercapai di kawasan tersebut.

Peperangan ini semua mengingatkan saya pada mantan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Kerajaan Belanda Nikolaos 'Koos' van Dam untuk Indonesia (2005 -- 2010), yang saya kenal dan saya jumpai untuk pertama kalinya pada waktu beliau masih menjabat sebagai Duta Besar LBBP Belanda untuk Indonesia pada tanggal 7 November 2007, di kediaman dinas resminya di Jakarta.

Penulis, Duta Besar Nikolaos van Dam, Prof. Wardiman Djojonegoro (mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan  Indonesia), 7 November 2007 (Dok. Pribadi)
Penulis, Duta Besar Nikolaos van Dam, Prof. Wardiman Djojonegoro (mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan  Indonesia), 7 November 2007 (Dok. Pribadi)

Duta Besar Koos van Dam belajar Bahasa Arab dan Hukum Islam, serta Ilmu Politik dan Sosial, dan juga Sastra dari Universitas Amsterdam. Beliau ditugaskan di Lebanon, Yordania dan Siprus (1980--83), di Libya (1983--85). beliau juga pernah menjabat sebagai Duta Besar Belanda di Baghdad, Irak (1988--91; terakreditasi hingga 2004), di Kairo, meliput Mesir dan wilayah Palestina yang diduduki (1991--96), di Ankara, meliput Turki dan Azerbaijan (1996--99), di Bonn & Berlin, Jerman (1999--2005), dan di Jakarta (2005-2010), meliput Indonesia dan Timor-Leste.

Duta Besar Nikolaos van Dam dan Ratu Beatrix dari Belanda (Sumber/Kredit Foto: Roberto Pfeil/AP/Reporter)
Duta Besar Nikolaos van Dam dan Ratu Beatrix dari Belanda (Sumber/Kredit Foto: Roberto Pfeil/AP/Reporter)

Beliau menulis 4 (empat) buku yang menarik tentang Timur Tengah dengan judul:

  • "De Vrede die niet Kwam" (1998) (dalam Bahasa Belanda),
  • "De Granaten en Minaretten" (2020) (dalam Bahasa Belanda),
  • "Destroying a Nation -- The Civil War in Syria" (2017); dan
  • "The Struggle for Power in Syria" (1979, revisi 2011)

yang semuanya telah saya baca dan pernah saya diskusikan isinya dengan sang penulisnya, Duta Besar Koos van Dam sendiri.

Kini, ketegangan di Timur Tengah tersebut telah menjalar lebih luas dan mulai meracuni hubungan antara Turki dan Israel, hal mana yang akan saya ulas dan bahas di bawah ini.

Sejarah Hubungan Antara Turki dan Israel

Negara Israel dan Republik Turki secara resmi menjalin hubungan diplomatik pada Maret 1949. Kurang dari setahun setelah Deklarasi Kemerdekaan Israel, Turki mengakui kedaulatan Israel, dan Turki adalah negara mayoritas Muslim pertama di dunia yang mengakui kedaulatan Israel. Kedua negara memberikan prioritas tinggi pada kerja sama bilateral di bidang diplomasi dan hubungan militer/strategis, sembari berbagi keprihatinan terkait ketidakstabilan regional di Timur Tengah.

Presiden Israel, Isaac Herzog dan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan (Sumber/Kredit Foto: Hai m Zach - Government Press Office (Israel))
Presiden Israel, Isaac Herzog dan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan (Sumber/Kredit Foto: Hai m Zach - Government Press Office (Israel))
Dalam beberapa dekade terakhir, khususnya di bawah pemerintahan Erdogan di Turki, hubungan kedua negara menjadi memburuk secara signifikan. Namun, hubungan diplomatik dipulihkan setelah inisiatif normalisasi pada pertengahan tahun 2022. Hubungan kembali memburuk setelah serangan Hamas terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober 2023, dengan Turki mengutuk Israel dan mendukung Hamas.

Pada tanggal 13 November 2024, Erdogan mengumumkan bahwa Turki memutuskan semua hubungan diplomatiknya dengan Israel karena keengganan Israel untuk mengakhiri perang Gaza.

Baca juga: Netanyahu Tegaskan Kekaisaran Ottoman Tak akan Kembali

Ketegangan Antara Turki dan Israel

Ketegangan antara Turki dan Israel tidak lagi sekadar retorika diplomatik, tetapi telah mencapai titik kritis yang menimbulkan kekhawatiran akan pecahnya konflik bersenjata terbuka di antara kedua negara. Dalam beberapa bulan terakhir, eskalasi konflik antara Israel dan Iran, pengeboman oleh Israel di Suriah, serta meningkatnya tekanan terhadap warga Palestina, telah memicu respons keras dari Turki. Presiden Recep Tayyip Erdogan menegaskan bahwa Israel telah melampaui "titik tanpa kembali" (point of no return) dan menyatakan kesiapan meningkatkan produksi rudal dalam negeri, memicu spekulasi luas tentang kemungkinan konfrontasi langsung.

Situasi ini menjadi lebih kompleks karena Turki adalah anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), dan potensi konfrontasinya dengan Israel, sekutu utama Amerika Serikat di Timur Tengah, dapat mengguncang fondasi aliansi tersebut. Ditambah dengan dinamika politik di Timur Tengah dan posisi negara-negara seperti Rusia dan China yang mendukung Iran dan Palestina, dan sikap negara-negara Arab, situasi ini menciptakan tantangan geopolitik yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak Perang Dingin. Apakah perang antara Turki dan Israel benar-benar akan terjadi?

Akar Ketegangan: Palestina, Suriah, Lebanon dan Iran

Faktor utama di balik meningkatnya ketegangan antara Turki dan Israel adalah konflik yang berkepanjangan yang melibatkan Palestina, Iran, Lebanon, dan Suriah. Turki secara konsisten menyuarakan dukungan terhadap perjuangan Palestina dan mengkritik kebijakan militer Israel di Gaza dan Tepi Barat. Serangan Israel terhadap Suriah yang dianggap menargetkan kepentingan Iran juga menciptakan ketegangan tambahan, terutama setelah permintaan pemerintah Suriah kepada Turki untuk memberikan dukungan pertahanan pasca serangan udara Israel di Damaskus.

Rivalitas Turki dan Israel di Suriah (Sumber/Kredit Foto: The Economist)
Rivalitas Turki dan Israel di Suriah (Sumber/Kredit Foto: The Economist)
Dalam hal ini, posisi Turki sangat unik. Di satu sisi, Ankara tidak secara langsung bersekutu dengan Iran, tetapi secara strategis berbagi kepentingan dalam menentang ekspansi kekuatan Israel dan Amerika Serikat di kawasan. Di sisi lain, konflik sektarian dan historis, seperti antara Sunni dan Syiah, menciptakan ambiguitas dalam hubungan Turki dengan Iran dan Suriah.

Selain itu, Turki sebagai anggota NATO, yang mayoritas anggotanya juga anggota Uni Eropa, blok ekonomi dan perdagangan terbesar di dunia yang secara geografis, letaknya amat sangat dekat dengan wilayah Timur Tengah, juga membuat posisinya dalam ketegangan ini menjadi sangat unik, karena Amerika Serikat, sekutu terdekat Israel, adalah anggota dan "pemimpin de facto NATO".

Apakah Turki akan Berperang dengan Israel?

Kemungkinan perang terbuka antara Turki dan Israel masih berada dalam ranah spekulatif, tetapi indikator geopolitik menunjukkan bahwa probabilitas konfrontasi semakin besar dan mendekat. Peningkatan produksi rudal oleh Turki dan pernyataan-pernyataan tajam dari Erdogan mencerminkan kesiapan Turki secara militer dan psikologis. Namun, Turki juga menyadari risiko tinggi dari konflik langsung, terutama sebagai anggota NATO yang terikat dengan perjanjian pertahanan kolektif.

Pasal 5 Traktat NATO berbunyi:

The Parties agree that an armed attack against one or more of them in Europe or North America shall be considered an attack against them all and consequently they agree that, if such an armed attack occurs, each of them, in exercise of the right of individual or collective self-defence recognized by Article 51 of the Charter of the United Nations, will assist the Party or Parties so attacked by taking forthwith, individually and in concert with the other Parties, such action as it deems necessary, including the use of armed force, to restore and maintain the security of the North Atlantic area.

Any such armed attack and all measures taken as a result thereof shall immediately be reported to the Security Council. Such measures shall be terminated when the Security Council has taken the measures necessary to restore and maintain international peace and security.

Terjemahannya:

Para Pihak sepakat bahwa serangan bersenjata terhadap satu atau lebih Pihak di Eropa atau Amerika Utara akan dianggap sebagai serangan terhadap mereka semua, dan oleh karena itu mereka sepakat bahwa, jika serangan bersenjata tersebut terjadi, masing-masing Pihak, dalam menjalankan hak membela diri secara individu atau kolektif yang diakui oleh Pasal 51 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, akan membantu Pihak atau Pihak-Pihak yang diserang tersebut dengan segera mengambil tindakan yang dianggap perlu, baik secara individu maupun bersama-sama dengan Pihak-Pihak lainnya, termasuk penggunaan kekuatan bersenjata, untuk memulihkan dan menjaga keamanan kawasan Atlantik Utara.

Setiap serangan bersenjata tersebut dan semua tindakan yang diambil sebagai akibatnya harus segera dilaporkan kepada Dewan Keamanan. Tindakan tersebut harus dihentikan ketika Dewan Keamanan telah mengambil tindakan yang diperlukan untuk memulihkan dan menjaga perdamaian dan keamanan internasional.

Sumber/Kredit Foto: CEPA.org
Sumber/Kredit Foto: CEPA.org

Pasal 5 Traktat NATO ini digenapi oleh Pasal 6 yang berbunyi:

For the purpose of Article 5, an armed attack on one or more of the Parties is deemed to include an armed attack:

  • on the territory of any of the Parties in Europe or North America, on the Algerian Departments of France 2, on the territory of Turkey or on the Islands under the jurisdiction of any of the Parties in the North Atlantic area north of the Tropic of Cancer;
  • on the forces, vessels, or aircraft of any of the Parties, when in or over these territories or any other area in Europe in which occupation forces of any of the Parties were stationed on the date when the Treaty entered into force or the Mediterranean Sea or the North Atlantic area north of the Tropic of Cancer.

Terjemahannya berbunyi:

Untuk tujuan Pasal 5, serangan bersenjata terhadap satu atau lebih Pihak dianggap mencakup serangan bersenjata:

  • di wilayah Pihak mana pun di Eropa atau Amerika Utara, di Departemen Aljazair di Prancis 2, di wilayah Turki, atau di pulau-pulau di bawah yurisdiksi Pihak mana pun di wilayah Atlantik Utara di utara Garis Balik Utara;
  • terhadap pasukan, kapal, atau pesawat udara Pihak mana pun, ketika berada di atau di atas wilayah tersebut atau wilayah lain di Eropa tempat pasukan pendudukan Pihak mana pun ditempatkan pada tanggal berlakunya Perjanjian ini atau Laut Mediterania atau wilayah Atlantik Utara di utara Garis Balik Utara.


Artikel yang terbit di Asia Times dan Middle East Eye menunjukkan bahwa Israel telah menyusun strategi militer tidak hanya untuk menghadapi Iran, tetapi juga untuk kemungkinan konflik melawan Turki. Beberapa pengamat bahkan menyebut konflik Israel-Iran saat ini sebagai "dry run" (uji coba atau simulasi tanpa menggunakan sumber daya yang sebenarnya) untuk konfrontasi yang lebih besar. Jika skenario ini terwujud, Turki kemungkinan akan menggunakan Suriah sebagai teater konflik, sementara Israel akan mengandalkan superioritas udara dan kerja sama intelijen dengan Amerika Serikat.

Respons Dunia Arab dan OIC

Respons dunia Arab terhadap potensi perang antara Turki dan Israel tidak seragam. Negara-negara seperti Qatar dan Aljazair kemungkinan akan mendukung Turki, sedangkan Uni Emirat Arab dan Mesir menunjukkan sikap lebih netral atau bahkan skeptis terhadap ambisi Turki di kawasan. Organisasi Kerja Sama Islam (OIC), yang dipimpin oleh Arab Saudi, akan menghadapi tekanan untuk bersikap tegas jika Israel melancarkan serangan besar terhadap target Turki di Suriah atau di wilayah udara Lebanon.

Namun, polarisasi dalam dunia Arab, terutama karena rivalitas Arab Saudi dan Iran serta kecurigaan terhadap neo-Ottomanisme Erdogan, membuat sulit untuk membentuk front bersatu. Dukungan terhadap Palestina akan tetap tinggi secara retorik, tetapi mobilisasi militer Arab terhadap Israel bersama Turki tampak sangat kecil kemungkinannya.

Posisi Uni Eropa dan NATO

Sebagai anggota NATO, setiap tindakan militer Turki terhadap Israel akan menimbulkan dilema besar dalam aliansi tersebut. NATO bukan hanya payung pertahanan, tetapi juga entitas politik yang dibangun atas dasar konsensus. Karena Israel bukan anggota NATO, pasal 5 perjanjian NATO tidak otomatis berlaku, tetapi eskalasi konflik akan memaksa NATO untuk menilai kembali komitmennya terhadap Ankara.

Uni Eropa, meskipun secara institusional tidak memiliki komando militer kolektif, tetap akan terdampak. Banyak negara anggota NATO seperti Prancis dan Yunani memandang skeptis terhadap agenda geopolitik Turki. Di sisi lain, Jerman dan Italia kemungkinan akan berusaha menjadi mediator untuk mencegah pecahnya perang terbuka.

Amerika Serikat: Terjebak di Antara Dua Sekutu

Amerika Serikat menghadapi dilema geopolitik yang sangat dan jauh lebih kompleks. Di satu sisi, Israel adalah sekutu utama dan penerima bantuan militer terbesar dari Amerika Serikat. Di sisi lain, Turki adalah anggota NATO yang memiliki posisi strategis di selat Bosphorus dan pangkalan udara Incirlik. Jika konflik pecah, Washington akan terpaksa memilih antara mendukung Israel secara terbuka atau menjaga keutuhan NATO.

Pemerintahan Amerika Serikat kemungkinan akan memilih pendekatan diplomatik yang ketat, dengan mengerahkan tekanan maksimal terhadap kedua belah pihak untuk mencegah eskalasi lebih lanjut. Namun, jika Turki melancarkan serangan militer terbuka terhadap Israel, Amerika Serikat bisa merespons dengan sanksi ekonomi terhadap Ankara atau bahkan menangguhkan keanggotaan Turki dalam beberapa mekanisme NATO.

Kepentingan Strategis Rusia dan China

Rusia dan China memiliki kepentingan strategis besar dalam skenario ini. Rusia, yang memiliki kehadiran militer di Suriah, akan mendapat keuntungan geopolitik dari konflik antara kedua sekutu Amerika Serikat. Dalam skenario eskalasi, Rusia kemungkinan besar akan menawarkan mediasi kepada Turki sekaligus meningkatkan dukungan kepada Suriah untuk menstabilkan pengaruhnya.

China, dengan inisiatif Belt and Road-nya dan investasi besar di kawasan, akan berusaha menghindari ketegangan langsung, tetapi bisa menggunakan ketidakstabilan ini untuk memperluas pengaruh diplomatik dan ekonominya. Beijing juga akan memperkuat kerja samanya dengan Iran dan Turki, terutama dalam bidang militer dan teknologi, sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk menyaingi dominasi Amerika Serikat.

Tinjauan Melalui Lensa Nikolaos van Dam

Buku-buku karya Duta Besar Nikolaos van Dam, seperti "The Struggle for Power in Syria" dan "De Vrede die niet Kwam", memberikan konteks historis penting untuk memahami kompleksitas hubungan antara Suriah, Turki, dan Israel. Menurut Koos van Dam, konflik di Timur Tengah tidak pernah terisolasi dalam garis nasional, tetapi merupakan bagian dari dinamika regional yang berlapis.

De Vrede die Niet Kwam (Perdamaian yang tidak datang) (De Slegte)
De Vrede die Niet Kwam (Perdamaian yang tidak datang) (De Slegte)
"Destroying a Nation" menyoroti bagaimana kekacauan internal Suriah menjadi arena pertarungan kekuatan besar. Dalam konteks ini, kemungkinan Turki terlibat dalam konflik dengan Israel memperjelas bahwa Suriah kembali menjadi teater geopolitik utama. Buku "De Granaten en Minaretten" memperlihatkan bagaimana konflik sektarian dan kekosongan kekuasaan dimanfaatkan oleh berbagai aktor eksternal untuk memajukan agenda masing-masing.

The Struggle for Power in Syria (Amazon.com)
The Struggle for Power in Syria (Amazon.com)
Turki, dalam pandangan Duta Besar Koos van Dam, selalu berusaha mempertahankan pengaruh regional melalui pendekatan kombinasi antara kekuatan lunak (soft power) dan ekspansi militer terbatas. Kemungkinan perang melawan Israel akan menjadi penyimpangan besar dari strategi tradisional ini.

Destroying a Nation (Amazon.com)
Destroying a Nation (Amazon.com)

Granaten en Minaretten (Wynia's Week)
Granaten en Minaretten (Wynia's Week)

Kesimpulan

Meskipun belum ada konfirmasi pasti bahwa Turki akan berperang melawan Israel, semua indikator politik, militer, dan diplomatik menunjukkan bahwa kawasan sedang menuju eskalasi. Palestina, Suriah, dan Iran menjadi titik-titik percikan yang bisa memicu perang besar. NATO, Uni Eropa, dan Amerika Serikat terjebak dalam dilema strategi, sedangkan Rusia dan China menunggu untuk mengeksploitasi kekosongan yang timbul dan akan memanfaatkan momentum untuk mengambil keuntungan.

Kemungkinan perang ini bukan hanya tentang konflik bilateral antara dua negara, tetapi merupakan refleksi dari krisis tatanan global pasca-Perang Dingin. Dalam konteks ini, setiap langkah Turki dan Israel akan berimplikasi jauh melebihi batas kawasan, mengancam stabilitas internasional dan memaksa semua kekuatan besar untuk menyusun ulang kalkulasi strategis mereka.

===============

Catatan: Tulisan ini ditulis sepenuhnya dengan analisis prubadi berdasarkan informasi dan analisis lain yang tersedia di Deutsche Welle, Financial Times, Times of Israel, Hindustan Times, ECFR.eu, Asia Times, Middle East Eye, AEI.org, The Economist, The New Arab, Ynet News dan buku-buku karya Duta Besar Nikolaos van Dam "De Vrede die niet Kwam" (1998), "De Granaten en Minaretten" (2020), "Destroying a Nation -- The Civil War in Syria" (2017) dan "The Struggle for Power in Syria" (1979, revisi 2011)

Jakarta, 24 Juli 2025
Prahasto Wahju Pamungkas

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun