Mohon tunggu...
Prahasto Wahju Pamungkas
Prahasto Wahju Pamungkas Mohon Tunggu... Advokat, Akademisi, Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa (Belanda, Inggris, Perancis dan Indonesia)

Seorang Advokat dan Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa dengan pengalaman kerja sejak tahun 1995, yang juga pernah menjadi Dosen Tidak Tetap pada (i) Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, (ii) Magister Hukum Universitas Pelita Harapan dan (iii) Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang gemar travelling, membaca, bersepeda, musik klasik, sejarah, geopolitik, sastra, koleksi perangko dan mata uang, serta memasak. https://pwpamungkas.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Netanyahu Tegaskan Kekaisaran Ottoman Tak akan Kembali

20 Juni 2025   23:04 Diperbarui: 21 Juni 2025   06:42 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu & Presiden Turki, Recep Tayypi Erdogan (Sumber/Kredit Foto: VOA Indonesia)

Dalam pidatonya di Knesset (Parlemen Israel) pada tanggal 11 Juni 2025, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa "Kekaisaran Ottoman tidak akan kembali", sebuah komentar yang ditujukan secara terbuka kepada Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

Pernyataan ini mencerminkan ketegangan geopolitik antara Israel dan Turki terkait ambisi regional neo-Utsmaniyah. Untuk memahami latar belakangnya, kita perlu menelusuri akar historis pasca-Perang Dunia I, perkembangan politik Turki modern, dan hubungan diplomatik saat ini yang sedang diuji oleh konflik Timur Tengah.

Bayang-bayang Kekaisaran Ottoman dan Neo-Ottomanisme Erdogan

Saat Perdana Menteri Netanyahu mengatakan bahwa Kekaisaran Ottoman tidak akan kembali, ia mengacu pada perkembangan yang dikenal sebagai neo Ottomanisme (neo-Utsmaniyah), paket kebijakan Turki di bawah Presiden Erdogan yang menekankan kebanggaan sejarah Ottoman dan upaya memperluas pengaruh di Timur Tengah, Afrika Utara, bahkan Balkan.

Kekaisaran Ottoman (Sumber/Kredit Foto: Muhammadi Site)
Kekaisaran Ottoman (Sumber/Kredit Foto: Muhammadi Site)
Presiden Erdogan menghidupkan simbol-simbol masa Ottoman, seperti Hagia Sophia, dan menghidupkan retorika bahwa Turki adalah "keturunan Utsmaniyah", strategi ini digunakan untuk membangun citra sebagai kekuatan Islam yang kembali dominan.

Neo-Utsmaniyah atau Neo-Ottomanism adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kebijakan luar negeri Turki modern di bawah kepemimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan, yang dinilai menghidupkan kembali semangat imperialisme dan pengaruh Kekaisaran Ottoman (Utsmaniyah) dalam bentuk baru yang beradaptasi dengan geopolitik kontemporer.

Meski tidak secara eksplisit ingin membangun kembali kekaisaran, kebijakan ini mengandung nuansa simbolik dan politis yang mengarah pada dominasi regional, khususnya di kawasan Timur Tengah, Balkan, Afrika Utara, dan Asia Tengah, wilayah yang dulunya berada di bawah kendali Kesultanan Ottoman selama ratusan tahun.

Di bawah pemerintahan Erdogan sejak awal 2000-an, Turki mulai meningkatkan keterlibatan aktif dalam konflik dan diplomasi kawasan. Langkah ini meliputi dukungan terhadap kelompok tertentu di Suriah, keterlibatan militer di Libya dan Azerbaijan, serta hubungan ekonomi dan pertahanan yang diperluas dengan negara-negara Muslim lainnya.

Presiden Erdogan juga menghidupkan kembali simbol-simbol budaya dan agama yang terkait erat dengan era Ottoman, seperti mengubah kembali Hagia Sophia menjadi masjid pada 2020, menyelenggarakan parade militer dengan pakaian kesultanan, dan menggunakan narasi sejarah Islam dalam pidato-pidatonya.

Penulis di Hagia Sophia (saat masih museum), 2 Januari 2018 (Dokumentasi Pribadi)
Penulis di Hagia Sophia (saat masih museum), 2 Januari 2018 (Dokumentasi Pribadi)

Catatan: Hagia Sophia dibangun pertama kali di era Kekaisaran Byzantium pada tahun 532 Masehi, dan pembangunannya selesai tahun 537 Masehi. Selama hampir 1000 (seribu) tahun, Hagia Sophia berfungsi sebagai gereja dalam pemerintahan para Kaisar Byzantium: Gereja Kekaisaran (537-1054), Katedral Orthodox Yunani (1054-1204, 1261-1453), Katedral Katolik Roma (1204-1261), hingga jatuhnya Kekaisaran Byzatium dan wilayahnya jatuh ke tangan keluarga Osmani (Kekaisaran Ottoman). Kemudian Hagia Sophia beralih fungsi menjadi masjid (1453-1931), dan setelah Turki menjadi republik, di bawah Presiden Mustafa Kemal Ataturk, Hagia Sophia beralih fungsi menjadi museum (1935-2020) dan di bawah Presiden Erdogan, beralih fungsi menjadi masjid kembali (2020-sekarang).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun