Terlebih lagi, tarif 32% yang masih berlaku terhadap ekspor Indonesia ke Amerika Serikat, yang mencakup produk tekstil, baja, dan elektronik, membebani industri domestik dan menurunkan daya saing. Upaya negosiasi dagang Indonesia-Amerika Serikat yang belum membuahkan hasil memperburuk keadaan. Menurut laporan Tempo (2025), pemerintah Indonesia masih berusaha menyamakan persepsi dengan Washington mengenai akses pasar dan standar perdagangan.
Perspektif Hukum Internasional dan Perdagangan Global
Dalam konteks hukum perdagangan internasional, tindakan tarif sepihak Presiden Donald Trump bisa dilihat sebagai pelanggaran terhadap prinsip dasar Organisasi Perdagangan Dunia/World Trade Organization (WTO), yaitu non-diskriminasi dan perlakuan yang sama (most-favoured nation). Meskipun Amerika Serikat pernah mengancam akan keluar dari WTO, hingga saat ini negara itu masih menjadi anggotanya. Karena itu, negara-negara yang terdampak, termasuk anggota BRICS seperti Indonesia, dapat mengajukan gugatan melalui Dispute Settlement Body (DSB) WTO. Walaupun, harus dipahami bahwa upaya banding terhadap putusan DSB WTO ke Appellate Body WTO dapat terancam terblokir karena sejak bulan Agustus tahun 2020, Amerika Serikat telah memblokir penunjukan haki appellate body.
Baca juga: Bisakah Amerika Serikat Hukum Spanyol Dengan Tarif Ganda Karena NATO?
Dari perspektif ASEAN, prinsip solidaritas dan integrasi kawasan diuji saat satu atau beberapa anggota ASEAN terkena dampak dari kebijakan eksternal. Jika beberapa negara ASEAN memilih bergabung dengan BRICS, maka dengan tariff Presiden Donald Trump, integrasi kawasan dapat terganggu.
Reaksi Global: Retorika, Diplomasi, dan Polarisasi
Presiden Brasil, Luiz Inacio Lula da Silva, dalam tanggapannya terhadap tarif Presiden Donald Trump, menyebut bahwa "dunia tidak membutuhkan kaisar baru." (Jakarta Post, 2025). Ini menunjukkan bahwa langkah tarif Amerika Serikat tidak hanya memicu ketegangan ekonomi, tetapi juga retorika politik yang keras.
Tiongkok, seperti dilaporkan oleh Tempo (2025), menyatakan bahwa BRICS tidak mencari konfrontasi tetapi siap menghadapi segala bentuk intimidasi. Retorika ini memperlihatkan bahwa aliansi Global South tengah tumbuh sebagai alternatif kekuatan internasional, bukan hanya dalam ekonomi, tetapi juga dalam norma dan tata kelola global.
Konon, isu ini sudah masuk dalam laporan tahunan UNCTAD (UN Trade and Development, dahulu United Nations Conference on Trade and Development) dan Dewan Ekonomi dan Sosial/Economic and Social Council PBB sebagai bentuk gangguan terhadap kestabilan perdagangan global.
Posisi Sulit Indonesia dan Masa Depan Tatanan Global
Sanksi tarif tambahan 10% terhadap BRICS (termasuk Indonesia) dan tarif 32% yang masih berlaku terhadap Indonesia menunjukkan bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump kembali menggunakan perdagangan sebagai alat tekanan geopolitik. Indonesia kini berada di posisi sulit: antara keinginan menjadi bagian dari poros Global South dan kebutuhan menjaga akses pasar Amerika Serikat.
Dalam jangka pendek, Indonesia perlu mempercepat negosiasi dagang bilateral dengan Amerika Serikat sambil memperjelas posisi politiknya terhadap BRICS. Dalam jangka panjang, Indonesia dan ASEAN perlu memikirkan arsitektur baru untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah polarisasi kekuatan global.
Langkah Presiden Donald Trump ini tidak sekadar isu ekonomi, tetapi bagian dari redefinisi tatanan dunia pasca-hegemoni Barat. Ketegangan ini akan membentuk jalur baru dalam hubungan internasional, di mana solidaritas negara berkembang akan diuji dan diperkuat oleh tekanan eksternal.
======================