India: Meskipun India adalah negara yang sangat kaya (peringkat kelima dalam hal Produk Domestik Bruto (PDB) keseluruhan), seperti China, populasinya yang besar menyebabkan PDB per kapitanya rendah. Republik India dianggap sebagai negara industri baru dan salah satu negara dengan perkembangan tercepat di dunia. Namun, negara ini terus berjuang dengan masalah-masalah seperti kemiskinan yang meluas, air dan sanitasi yang buruk, dan kelebihan populasi. India memiliki perekonomian yang beragam, mulai dari pertanian tradisional hingga pertanian kontemporer, kerajinan tangan, hingga beragam produk industri. Berkat populasi penutur bahasa Inggris yang besar dan berpendidikan tinggi, India menjadi eksportir utama layanan Teknologi Informasi, layanan alih daya bisnis, dan pekerja perangkat lunak. India memiliki harapan hidup saat lahir setinggi 68 tahun, serta angka kematian bayi yang sangat tinggi yaitu 26 kematian per 1.000 kelahiran hidup (berdasarkan data tahun 2022).
China /Tiongkok adalah negara berkembang terkaya di dunia pada tahun 2023, dengan total PDB sebesar $17,79 triliun. Meskipun memiliki ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat dan militer terbesar, Tiongkok masih belum diklasifikasikan sebagai negara maju menurut kriteria kebanyakan organisasi internasional. Selain memiliki salah satu PDB per kapita terendah dalam daftar ini, atribut lain yang menunjukkan bahwa Tiongkok masih berkembang adalah ketergantungannya pada pertanian, meskipun trennya menurun seiring dengan berjalannya waktu. Menurut CIA World Factbook, 7,9% dari keseluruhan PDB Tiongkok berasal dari pertanian. Harapan hidup rata-rata di Tiongkok saat lahir adalah 79 tahun dan angka kematian bayi adalah 5 (lima) per 1.000 kelahiran hidup (berdasarkan data tahun 2022). Meskipun angka ini tidak terlalu tinggi, angka ini jauh lebih buruk daripada kebanyakan negara lain dengan kekayaan triliunan dolar secara keseluruhan.
Afrika Selatan: Negara berkembang.
Dalam keterangan yang dikutip oleh Bisnis.com (2025), para analis menyebut kebijakan ini sebagai respons terhadap "penguatan kerja sama strategis BRICS yang dianggap mengancam dominasi ekonomi global Amerika Serikat." BRICS yang kini memiliki PDB gabungan hampir menyaingi G7 dianggap bukan sekadar konsorsium ekonomi, tetapi juga potensi aliansi geopolitik tandingan.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump memanfaatkan kekuatan ekonomi Amerika Serikat dan status dolar sebagai mata uang cadangan global untuk memberi tekanan pada perdagangan. Bagi BRICS, tindakan ini mempercepat niat untuk memperkuat mata uang alternatif dan sistem pembayaran non-dolar. Namun, konflik ini juga menimbulkan efek limpahan (spillover) bagi negara-negara non-anggota BRICS yang memiliki kedekatan atau minat untuk bergabung dengan BRICS.
Indonesia dan Keanggotaan BRICS: Antara Simpati dan Kepentingan Nasional
Indonesia telah bergabung dengan BRICS sejak tanggal 6 Januari 2025, dan Presiden Prabowo Subianto menghadiri KTT BRICS di Brasil pada tanggal 6 dan 7 Juli 2025. Dalam laporan The Straits Times (2025), partisipasi Presiden Prabowo Subianto memicu perhatian para diplomat ASEAN karena mengindikasikan pergeseran orientasi kebijakan luar negeri. Debut BRICS Presiden Prabowo Subianto berakibat menguji hubungan Indonesia dengan ASEAN dan hubungan AS, kata para analis.
Kehadiran pertama Presiden Prabowo Subianto mewakili Indonesia dalam KTT BRICS tersebut di atas menandai potensi pergeseran dalam kebijakan luar negeri Indonesia, yang memunculkan pertanyaan tentang komitmennya terhadap sentralitas dan netralitas  ASEAN dan non-blok yang selama ini telah ada. Keterlibatan yang lebih erat dengan BRICS, terutama di tengah ketegangan Rusia dan China dengan dunia Barat, dapat membebani hubungan Jakarta dengan Amerika Serikat sekaligus membentuk kembali postur ekonomi dan politik globalnya.
Sampai saat ini Indonesia tetap dan masih menjadi sasaran tarif 32% dari kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump, sebagaimana dilaporkan oleh Jakarta Globe (2025). Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa tarif tersebut tidak terkait dengan keanggotaan Indonesia dalam BRICS, tetapi dengan penilaian sepihak Amerika Serikat atas neraca dagang dan ketidakseimbangan regulasi tertentu. Namun demikian, banyak pengamat menilai bahwa keanggotaan Indonesia dalam BRICS semakin menempatkan Jakarta dalam radar kebijakan tarif Presiden Donald Trump.
Implikasi Ekonomi: Ketegangan Tarif dan Rantai Pasok Global
Dampak dari tarif tambahan 10% tidak terbatas pada negara BRICS. Negara-negara yang menjadi bagian dari rantai pasok produk BRICS juga ikut terdampak. Negara-negara yang menjadi penyedia bahan mentah dan manufaktur bagi perusahaan-perusahaan Tiongkok atau India turut mengalami efek domino.