Mohon tunggu...
Prahasto Wahju Pamungkas
Prahasto Wahju Pamungkas Mohon Tunggu... Advokat, Akademisi, Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa (Belanda, Inggris, Perancis dan Indonesia)

Seorang Advokat dan Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa dengan pengalaman kerja sejak tahun 1995, yang juga pernah menjadi Dosen Tidak Tetap pada (i) Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, (ii) Magister Hukum Universitas Pelita Harapan dan (iii) Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang gemar travelling, membaca, bersepeda, musik klasik, sejarah, geopolitik, sastra, koleksi perangko dan mata uang, serta memasak. https://pwpamungkas.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Trump, BRICS, dan Komitmen Indonesia Terhadap Sentralitas dan Netralitas ASEAN

9 Juli 2025   17:40 Diperbarui: 10 Juli 2025   06:21 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AI-generated Image: Presiden Donald Trump dan para pemimpin negara pendiri BRICS di depan peta dunia negara-negara anggota BRICS

Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk memberlakukan tarif tambahan sebesar 10% terhadap negara-negara anggota BRICS dan negara-negara yang akan bergabung dengan BRICS memicu ketegangan global yang menyentuh ranah perdagangan, geopolitik, dan stabilitas hubungan internasional.

Kebijakan ini tidak hanya mengguncang lima negara anggota pendiri BRICS (Brasil (Brazil), Rusia (Russia), India, Tiongkok (China), dan Afrika Selatan (South Africa)), tetapi juga menyeret negara-negara yang telah bergabung ke dalam BRICS, termasuk Indonesia, dan yang berstatus mitra BRICS, seperti Thailand.

Dalam lanskap geopolitik dunia yang semakin multipolar, manuver Presidem Donald Trump ini menempatkan negara-negara berkembang dalam dilema strategis: antara memperkuat solidaritas Global South atau mempertahankan relasi dagang dengan Amerika Serikat. Artikel yang saya susun ini mengupas dinamika tersebut dari sudut pandang politik, ekonomi, sosial, geopolitik, dan hukum internasional.

Negara-negara anggota BRICS (biru) dalam peta dunia (Sumber/Kredit Foto: Wikipedia)
Negara-negara anggota BRICS (biru) dalam peta dunia (Sumber/Kredit Foto: Wikipedia)

Trump dan Strategi Tarif Konfrontatif

Langkah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menambah beban tarif hingga 10% terhadap semua produk impor dari negara BRICS dinilai sebagai upaya represif untuk menahan pengaruh ekonomi-politik blok negara berkembang tersebut.

Catatan: Untuk menghindari kebingungan mengenai mengapa dalam artikel ini saya katakan bahwa negara-negara anggota pendiri BRICS dikategorikan sebagai negara berkembang, padahal Rusia adalah negara adikuasa dan China amat sangat kaya, saya perlu menjelaskannya sebagai berikut. Menurut Investopedia dan Wikipedia, berdasarkan klasifikasi Dana Moneter Internasional/International Monetary Fund (IMF) dan Perserikatan Bangsa-bangsa, negara-negara anggota pendiri BRICS dianggap sebagai negara berkembang/negara dalam periode transisi dari status negara berkembang menjadi negara maju.

Brasil: Meskipun memiliki beberapa karakteristik sebagai negara maju, termasuk ekonomi terbesar di Amerika Selatan atau Amerika Tengah, Brasil masih dianggap sebagai negara berkembang karena Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita yang lebih rendah, angka kematian bayi yang lebih tinggi, dan faktor-faktor lainnya. Angka kelahirannya yang tinggi, yakni 13 kelahiran per 1.000 orang pada tahun 2022, juga merupakan karakteristik umum negara berkembang. Beberapa faktor berkontribusi terhadap semua metrik ini, termasuk kurangnya air bersih; terbatasnya akses ke layanan kesehatan yang memadai, terutama di daerah pedesaan; kondisi perumahan yang buruk di banyak daerah; dan pola makan yang tidak memenuhi standar.

Rusia adalah negara dalam periode transisi dari negara berkembang menjadi negara maju. Rusia saat ini tidak tergolong negara maju, meskipun pernah berkuasa bersama Amerika Serikat sebagai negara adikuasa dunia. Perekonomian negara itu hancur akibat runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991 pada saat Perang Dingin berakhir. Baru-baru ini, perang antara Rusia dengan Ukraina berdampak buruk pada perekonomiannya karena sanksi yang dijatuhkan oleh negara-negara lain. Kemiskinan tersebar luas (13% dari populasi, mayoritas adalah anak-anak) dan kepuasan hidup yang rendah (dengan warga Rusia rata-rata memberikan nilai 2,1 dari 10). Seperti yang biasa terjadi di negara berkembang, ekspor sumber daya alam menjadi pendorong utama ekonomi Rusia. Angka kematian bayi pada tahun 2022 adalah  4 (empat) per 1.000, sedangkan harapan hidup saat lahir adalah 73 tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun