Di tengah meningkatnya ancaman perubahan iklim yang melanda planet ini, laporan terbaru dari International Law Commission (ILC) sebagaimana termuat dalam The Guardian (28 Juni 2025) membuka cakrawala baru dalam hukum internasional: negara seyogyanya tetap dapat mempertahankan statusnya meskipun seluruh wilayah daratnya tenggelam akibat naiknya permukaan laut.
Pernyataan ini tak hanya mengejutkan, tapi juga sangat relevan bagi banyak negara pulau kecil di Samudra Pasifik yang terancam kehilangan eksistensi geografis mereka. Artikel saya di bawah ini mengupas logika hukum di balik pandangan tersebut, menggali dasar normatif dan doktrinalnya, serta menelaah kemungkinan dampaknya terhadap definisi tradisional negara dalam tatanan hukum internasional.
Logika Eksistensi Negara Tanpa Wilayah Daratan
Secara konvensional, unsur teritorial telah dianggap sebagai syarat mutlak dalam pembentukan suatu negara, dan merupakan bagian dari syarat de facto mengenai eksistensi suatu negara.
Namun, dengan meningkatnya ancaman eksistensial terhadap negara-negara kepulauan kecil akibat perubahan iklim, komunitas internasional mulai merekonstruksi pemahaman atas konsep kenegaraan.
International Law Commission (ILC) dalam laporannya menyatakan bahwa negara tetap dapat mempertahankan status politik dan hukum internasionalnya meskipun wilayah daratannya hilang di bawah permukaan laut. Logika hukum ini berangkat dari perlindungan terhadap prinsip kontinuitas negara dan tidak dipengaruhinya keabsahan hukum suatu entitas politik hanya karena geografinya berubah akibat bencana yang tidak disengaja.
Konsep ini menantang teori konvensional yang menyamakan negara sebagai kesatuan wilayah tetap, penduduk, pemerintahan, dan kapasitas menjalin hubungan internasional. Dalam kerangka ini, unsur "wilayah" tidak lagi hanya merujuk pada daratan fisik, tetapi lebih kepada wilayah hukum dan yurisdiksi yang secara konsisten diakui.
Dengan demikian, hilangnya daratan karena naiknya permukaan laut tidak serta merta menghapus eksistensi negara jika entitas tersebut masih memiliki pengakuan internasional dan menjalankan pemerintahan yang sah atas rakyatnya, meskipun secara diaspora.
Dasar Hukum Internasional yang Mendukung
Sejumlah doktrin hukum internasional, traktat, dan preseden mendukung kemungkinan negara tetap eksis meskipun kehilangan wilayah daratan. Salah satu pendekatan yang relevan adalah continuity of statehood dalam hukum internasional, di mana suatu negara dapat terus eksis meskipun menghadapi fakta  kehilangan wilayah sementara atau perubahan geografis yang ekstrem.
Laporan ILC merujuk secara implisit pada Montevideo Convention on the Rights and Duties of States (1933), yang selama ini digunakan sebagai rujukan definisional negara: memiliki populasi tetap, wilayah tertentu, pemerintahan, dan kapasitas menjalin hubungan dengan negara lain. Namun, dokumen tersebut tidak menetapkan standar kuantitatif mengenai ukuran atau bentuk wilayah, yang membuka celah interpretatif bahwa perubahan bentuk fisik tidak selalu menggugurkan legalitas status kenegaraan.
Selain itu, Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB( tidak secara eksplisit menyatakan bahwa kehilangan wilayah fisik mendiskualifikasi keanggotaan suatu negara. Pengalaman Palestina sebagai entitas yang diakui secara luas walau tidak memiliki kendali penuh atas wilayah daratannya juga menjadi preseden yang relevan dalam konteks ini.