Dalam pidatonya di Knesset (Parlemen Israel) pada tanggal 11 Juni 2025, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa "Kekaisaran Ottoman tidak akan kembali", sebuah komentar yang ditujukan secara terbuka kepada Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Pernyataan ini mencerminkan ketegangan geopolitik antara Israel dan Turki terkait ambisi regional neo-Utsmaniyah. Untuk memahami latar belakangnya, kita perlu menelusuri akar historis pasca-Perang Dunia I, perkembangan politik Turki modern, dan hubungan diplomatik saat ini yang sedang diuji oleh konflik Timur Tengah.
Bayang-bayang Kekaisaran Ottoman dan Neo-Ottomanisme Erdogan
Saat Perdana Menteri Netanyahu mengatakan bahwa Kekaisaran Ottoman tidak akan kembali, ia mengacu pada perkembangan yang dikenal sebagai neo Ottomanisme (neo-Utsmaniyah), paket kebijakan Turki di bawah Presiden Erdogan yang menekankan kebanggaan sejarah Ottoman dan upaya memperluas pengaruh di Timur Tengah, Afrika Utara, bahkan Balkan.
Neo-Utsmaniyah atau Neo-Ottomanism adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kebijakan luar negeri Turki modern di bawah kepemimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan, yang dinilai menghidupkan kembali semangat imperialisme dan pengaruh Kekaisaran Ottoman (Utsmaniyah) dalam bentuk baru yang beradaptasi dengan geopolitik kontemporer.
Meski tidak secara eksplisit ingin membangun kembali kekaisaran, kebijakan ini mengandung nuansa simbolik dan politis yang mengarah pada dominasi regional, khususnya di kawasan Timur Tengah, Balkan, Afrika Utara, dan Asia Tengah, wilayah yang dulunya berada di bawah kendali Kesultanan Ottoman selama ratusan tahun.
Di bawah pemerintahan Erdogan sejak awal 2000-an, Turki mulai meningkatkan keterlibatan aktif dalam konflik dan diplomasi kawasan. Langkah ini meliputi dukungan terhadap kelompok tertentu di Suriah, keterlibatan militer di Libya dan Azerbaijan, serta hubungan ekonomi dan pertahanan yang diperluas dengan negara-negara Muslim lainnya.
Presiden Erdogan juga menghidupkan kembali simbol-simbol budaya dan agama yang terkait erat dengan era Ottoman, seperti mengubah kembali Hagia Sophia menjadi masjid pada 2020, menyelenggarakan parade militer dengan pakaian kesultanan, dan menggunakan narasi sejarah Islam dalam pidato-pidatonya.
Catatan: Hagia Sophia dibangun pertama kali di era Kekaisaran Byzantium pada tahun 532 Masehi, dan pembangunannya selesai tahun 537 Masehi. Selama hampir 1000 (seribu) tahun, Hagia Sophia berfungsi sebagai gereja dalam pemerintahan para Kaisar Byzantium: Gereja Kekaisaran (537-1054), Katedral Orthodox Yunani (1054-1204, 1261-1453), Katedral Katolik Roma (1204-1261), hingga jatuhnya Kekaisaran Byzatium dan wilayahnya jatuh ke tangan keluarga Osmani (Kekaisaran Ottoman). Kemudian Hagia Sophia beralih fungsi menjadi masjid (1453-1931), dan setelah Turki menjadi republik, di bawah Presiden Mustafa Kemal Ataturk, Hagia Sophia beralih fungsi menjadi museum (1935-2020) dan di bawah Presiden Erdogan, beralih fungsi menjadi masjid kembali (2020-sekarang).
Secara domestik, neo-Utsmaniyah digunakan sebagai alat konsolidasi politik. Erdogan menghubungkan kejayaan masa lalu dengan identitas nasional modern, dan menciptakan rasa kebanggaan kolektif di tengah tekanan ekonomi dan isolasi internasional. Strategi ini juga dimaksudkan untuk menegaskan posisi Turki sebagai kekuatan independen, yang tidak bergantung sepenuhnya pada Barat, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) atau Uni Eropa.
Namun, kebijakan ini memicu kekhawatiran, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Banyak pihak melihatnya sebagai bentuk agresivitas baru dan ekspansionisme terselubung yang berpotensi mengganggu stabilitas kawasan. Sementara itu, bagi Erdogan, neo-Ottomanisme adalah ekspresi kedaulatan strategis dan respons terhadap tatanan global yang dianggap tidak adil bagi dunia Islam.
Penulis di depan Hagia Sophia, 30 April 2022 (Dokumentasi Pribadi)
Strategi Geopolitik Turki dan Tekanan Israel
Pernyataan Perdana Menteri Netanyahu muncul di tengah hubungan tegang Israel--Turki. Presiden Erdogan kerap menyuarakan kritik tajam terhadap tindakan Israel, terutama dalam konflik Gaza, bahkan menyamakan Netanyahu dengan figur ekstrem Sejarah (Adolf Hitler).
Israel, melihat pergerakan Turki sebagai evolusi tidak langsung dari ambisi Ottoman, merasa terancam, terutama di arena geopolitik seperti Suriah dan Libya, di mana Turki memperluas kehadiran militernya.
Asal-Mula Konflik: Dari Ottoman ke Republik Modern
Sejarah hubungan Israel--Turki bermula setelah kemerdekaan Israel, ketika Turki menjadi negara Muslim pertama mengakuinya tahun 1949. Namun ketegangan mulai naik setelah intervensi Turki dalam konflik Gaza (2008--09) dan insiden Mavi Marmara (2010), yang merusak hubungan diplomatik meskipun pemulihan sebagian terjadi pada 2016.
Latar Kultural dan Politik Netanyahu
Pidato tentang kekhalifahan Ottoman muncul bersamaan dengan kunjungan Presiden Argentina Javier Milei. Perdana Menteri Netanyahu menggambarkan jalur sejarah Yahudi dari Ottoman ke diaspora global, tetapi secara politis ia ingin menegaskan bahwa kebangkitan ambisi Ottoman di bawah Erdogan tidak relevan dengan situasi saat ini. Pendekatan ini dimaksudkan sebagai tanda tegas bahwa pengaruh Turki tidak akan memperluas hegemoni regional.
Geopolitik Regional dan Posisi Erdogan
Turki memposisikan diri sebagai kekuatan regional melalui dukungan terhadap Hamas, dominasi di Suriah, dan kehadiran militer di Libya. Strategi ini dipandang oleh Israel sebagai ancaman langsung, menyingkirkan keseimbangan dominasi negara-negara Arab dan Israel. Pernyataan "Ottoman tidak akan kembali" adalah respons retoris untuk membendung arus pengaruh ini.
Implikasi pada Hubungan Israel--Turki dan NATO
Turki tetap anggota penting NATO, sehingga ketegangan ini membawa implikasi bagi blok pertahanan dan keamanan Barat. Perdana Menteri Netanyahu menegaskan bahwa Israel menolak tekanan ide logistik dan politik neo Ottoman, bahkan jika harus berarti merusak hubungan dengan negara yang pernah jadi sekutu NATO. Ini artinya Israel mengambil sikap proaktif untuk memastikan pengaruh Turki tidak membayangi strateginya.
Analisis Hukum Internasional dan Identitas Nasional
Dalam kerangka hukum internasional, pernyataan Perdana Menteri Netanyahu "Kekaisaran Ottoman tidak akan kembali" tidak menyumbang kebijakan legal, tetapi lebih sebagai alat diplomasi lidah tajam. Israel menggunakan narasi ini untuk memperkuat legitimasi internasionalnya dan menegaskan bahwa perubahan rezim atau upaya memulihkan khilafah adalah tidak bisa diterima di sistem dunia saat ini.
Perspektif Historis: Turki Kembali ke Masa Ottoman?
Kerinduan neo Ottoman bukan berarti Turki akan menghidupkan kembali Sultanat. Revolusi Mustafa Kemal Ataturk telah membangun Republik sekuler, dan meski Presiden Erdogan mengadopsi simbol Ottoman, struktur negara tetap republik modern. Perdana Menteri Netanyahu menekankan bahwa neo Ottomanisme adalah retorika politik, bukan realitas geopolitik dengan mandat ekspansi.
Kesimpulan: Retorika Politik dan Realitas Geopolitik
Perdana Menteri Netanyahu dalam pidatonya menyampaikan satu pesan jelas: pengaruh Ottoman masa lalu tidak akan kembali dalam bentuk kekaisaran militer. Hal ini mencerminkan realitas geopolitik saat ini: besar, kompleks, dan bebas dari kolonialisme atau imperialisisme.
Pernyataan ini juga mempertegas bahwa Israel akan melawan ekspansi ideologis dan geopolitik Turki yang menggunakan narasi sejarah masa lalu. Meski hubungan mengalami tekanan, dialog diplomatik tetap terjaga, dengan peluang terbuka untuk mediasi oleh pihak ketiga seperti Amerika Serikat atau sekutu NATO lainnya.
Apakah konteks ini hanya retorika populis atau bagian dari strategi panjang? Hanya masa depan politik Timur Tengah yang akan menjawab, tapi yang pasti, Perdana Menteri Netanyahu telah memberikan sinyal: masa Ottoman telah berlalu, dan batas ideologi serta kekuatan regional sudah digambar ulang, dalam koridor geopolitik yang baru.
======================
Catatan: Tulisan disusun sepenuhnya berdasarkan catatan perjalanan pribadi, dan informasi serta analisis kontemporer yang tersedia di TurkiyeToday.com, Sigma Live, Dialogue Pakistan, Wikpedia, Time.com, CBN, BBC, Al-Jazeera, Times of Israel, Antara News.
Jakarta, 20 Juni 2025
Prahasto Wahju Pamungkas
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI