Mohon tunggu...
Prahasto Wahju Pamungkas
Prahasto Wahju Pamungkas Mohon Tunggu... Advokat, Akademisi, Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa (Belanda, Inggris, Perancis dan Indonesia)

Seorang Advokat dan Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa dengan pengalaman kerja sejak tahun 1995, yang juga pernah menjadi Dosen Tidak Tetap pada (i) Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, (ii) Magister Hukum Universitas Pelita Harapan dan (iii) Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang gemar travelling, membaca, bersepeda, musik klasik, sejarah, geopolitik, sastra, koleksi perangko dan mata uang, serta memasak. https://pwpamungkas.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tatanan Nuklir Global di Ambang Krisis

16 Juni 2025   21:28 Diperbarui: 16 Juni 2025   21:34 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AI-generated image: Senjata nuklir

Perang Russia--Ukraina masih berkobar dengan Kremlin berulang-ulang kali melontarkan ancaman nuklir terhadap Ukraina dan negara-negara NATO di Eropa. Di Timur Tengah, Israel melancarkan serangan atas Iran yang diduga memperkaya uranium untuk membangun senjata nuklir, sementara konflik India--Pakistan, yang walaupun sudah berhenti karena gencatan senjata, tetap membayangi. Ketiga konflik ini menandai berakhirnya era disarmament nuklir, dan mempertanyakan daya genggam hukum internasional dalam menahan ambisi negara pemilik senjata nuklir.

Sumber/Kredit Foto: Perun on YouTube
Sumber/Kredit Foto: Perun on YouTube

Dampak Geopolitik dari Kebangkitan Nuklir

Laporan terbaru dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) memperingatkan bahwa dunia sedang memasuki era baru di mana reduksi senjata berlangsung sangat lambat, sementara modernisasi arsenal nuklir meningkat tajam. Per Januari 2025, tercatat sekitar 12.241 hulu ledak nuklir di dunia, di mana sekitar 9.614 berada dalam stok operasional dan 2.100 dalam status siaga tinggi. Amerika Serikat dan Russia memegang hampir 90% dari keseluruhan jumlah ini, masing-masing dengan 5.177 dan 5.459 unit. Menurut Internasional Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN), tercatat 12.331 bom nuklir di dunia.

Sumber/Kredit Foto: ICAN
Sumber/Kredit Foto: ICAN
Kebangkitan persenjataan ini dipicu oleh ketegangan geopolitik global. Russia telah beberapa kali mengancam penggunaan senjata nuklir terhadap Ukraina dan negara-negara NATO di Eropa. Sementara itu, Israel menuduh Iran diam-diam memperkaya uranium dengan maksud membangun senjata nuklir, yang menjadi pemicu utama eskalasi konflik antara kedua negara pada 2025. Situasi ini menciptakan atmosfer ketidakpastian global yang sangat rentan terhadap kesalahan kalkulasi.

Sumber/Kredit Foto: SIPRI
Sumber/Kredit Foto: SIPRI

Hukum Internasional dan Runtuhnya Disiplin Perjanjian

Selama beberapa dekade, dunia bertumpu pada sejumlah perjanjian pengendalian senjata seperti Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT), Strategic Arms Reduction Treaty (START I dan II), hingga Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW). Namun banyak dari perjanjian tersebut kini kehilangan relevansi atau bahkan ditinggalkan secara sepihak oleh negara besar. Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty (INF Treaty) dan Treaty on Conventional Armed Forces in Europe (CFE Treaty) sudah tidak berlaku. New START, satu-satunya perjanjian utama yang tersisa antara Amerika Serikat dan Russia, akan kedaluwarsa pada Februari 2026.

Menurut Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, perjanjian internasional bersifat mengikat (Pasal 26: "pacta sunt servanda"). Namun lemahnya enforcement mechanism membuat pelanggaran terhadap perjanjian seperti ini jarang mendapat sanksi nyata. Negara-negara besar dapat dengan mudah menarik diri atau menafsirkan ulang isi traktat untuk kepentingan nasional mereka.

Sumber/Kredit Foto: ZDF Heute
Sumber/Kredit Foto: ZDF Heute

Negara yang Patuh dan Pelanggar

Beberapa negara seperti Inggris, Perancis, dan Tiongkok tetap berada dalam kerangka NPT meski mereka juga memperluas dan memodernisasi persenjataan mereka. Sebaliknya, Amerika Serikat dan Russia, dua negara pemilik arsenal nuklir terbesar, telah keluar dari sejumlah perjanjian penting atau menunda kewajiban mereka. Korea Utara secara resmi keluar dari NPT pada 2003 dan secara aktif mengembangkan kemampuan nuklirnya.

India, Pakistan, dan Israel tidak pernah menandatangani NPT. Ketiganya memiliki senjata nuklir dan secara aktif mengembangkan kapasitasnya. Iran secara resmi masih terikat NPT, tetapi upaya pengayaan uranium yang tidak transparan membuat negara itu terus dicurigai oleh masyarakat internasional.

Sumber/Kredit Foto: ZDF Heute
Sumber/Kredit Foto: ZDF Heute

Konflik Regional dan Retorika Nuklir

Perang Israel--Iran telah mengubah konstelasi kekuatan di Timur Tengah. Israel, yang tidak pernah secara resmi mengakui memiliki senjata nuklir, memandang setiap ambisi nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial. Iran, sebaliknya, mengklaim bahwa program nuklirnya adalah untuk tujuan damai dan pembangkitan energi.

Di Eropa, Russia menempatkan senjata nuklir taktis lebih dekat ke Ukraina (di wilayah Belarus) dan negara-negara Baltik (di Kaliningrad) sebagai bagian dari "doktrin eskalasi untuk de-eskalasi". Strategi ini meningkatkan risiko kesalahan perhitungan militer. Di Asia Selatan, konflik Kashmir tetap memanaskan hubungan India--Pakistan, dua negara pemilik senjata nuklir yang terlibat dalam beberapa konflik bersenjata sejak 1947.

Sumber/Kredit Foto: ZDF Heute
Sumber/Kredit Foto: ZDF Heute

Posisi Negara Lain: ASEAN, Jepang, Korea Selatan dan Australia

Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, tetap mendukung pengendalian senjata global melalui NPT dan TPNW, namun tidak memiliki daya tekan terhadap negara-negara besar. Jepang dan Korea Selatan, dua negara di bawah payung nuklir Amerika Serikat, kini menghadapi dilema strategis akibat agresivitas Korea Utara. Sementara Australia mempertimbangkan kerja sama pertahanan yang lebih erat dalam kerangka AUKUS, termasuk akses ke teknologi militer strategis.

Sumber/Kredit Foto: ZDF Heute
Sumber/Kredit Foto: ZDF Heute

Urgensi Revisi Tatanan Global

Retorika nuklir yang kembali mengemuka dan runtuhnya kepatuhan terhadap perjanjian-perjanjian internasional pembatasan/pengurangan senjata nuklir menandakan kegagalan sistem multilateral saat ini. Dunia membutuhkan arsitektur pengendalian senjata yang baru: lebih inklusif, lebih mengikat secara hukum, dan memiliki sanksi yang nyata. Tanpa itu, ancaman senjata nuklir akan terus menjadi bagian dari perhitungan politik internasional.

Lebih dari sekadar soal keamanan, ini juga menyangkut legitimasi hukum internasional dan masa depan kemanusiaan. Sistem yang dibangun sejak Perang Dingin harus diperbarui agar bisa menjawab tantangan dunia multipolar saat ini.

======================

Catatan: Tulisan disusun sepenuhnya berdasarkan dan informasi serta analisis kontemporer yang tersedia di Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Vienna Convention on the Law of Treaties (1969), Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT), Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW), START I dan II, INF Treaty, dan New START, UNODA (United Nations Office for Disarmament Affairs), Euronews, ZDF Heute, NDTV

Jakarta, 16 Juni 2025
Prahasto Wahju Pamungkas

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun