Perang Russia--Ukraina masih berkobar dengan Kremlin berulang-ulang kali melontarkan ancaman nuklir terhadap Ukraina dan negara-negara NATO di Eropa. Di Timur Tengah, Israel melancarkan serangan atas Iran yang diduga memperkaya uranium untuk membangun senjata nuklir, sementara konflik India--Pakistan, yang walaupun sudah berhenti karena gencatan senjata, tetap membayangi. Ketiga konflik ini menandai berakhirnya era disarmament nuklir, dan mempertanyakan daya genggam hukum internasional dalam menahan ambisi negara pemilik senjata nuklir.
Sumber/Kredit Foto: Perun on YouTube

Dampak Geopolitik dari Kebangkitan Nuklir
Laporan terbaru dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) memperingatkan bahwa dunia sedang memasuki era baru di mana reduksi senjata berlangsung sangat lambat, sementara modernisasi arsenal nuklir meningkat tajam. Per Januari 2025, tercatat sekitar 12.241 hulu ledak nuklir di dunia, di mana sekitar 9.614 berada dalam stok operasional dan 2.100 dalam status siaga tinggi. Amerika Serikat dan Russia memegang hampir 90% dari keseluruhan jumlah ini, masing-masing dengan 5.177 dan 5.459 unit. Menurut Internasional Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN), tercatat 12.331 bom nuklir di dunia.
Hukum Internasional dan Runtuhnya Disiplin Perjanjian
Selama beberapa dekade, dunia bertumpu pada sejumlah perjanjian pengendalian senjata seperti Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT), Strategic Arms Reduction Treaty (START I dan II), hingga Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW). Namun banyak dari perjanjian tersebut kini kehilangan relevansi atau bahkan ditinggalkan secara sepihak oleh negara besar. Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty (INF Treaty) dan Treaty on Conventional Armed Forces in Europe (CFE Treaty) sudah tidak berlaku. New START, satu-satunya perjanjian utama yang tersisa antara Amerika Serikat dan Russia, akan kedaluwarsa pada Februari 2026.
Menurut Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, perjanjian internasional bersifat mengikat (Pasal 26: "pacta sunt servanda"). Namun lemahnya enforcement mechanism membuat pelanggaran terhadap perjanjian seperti ini jarang mendapat sanksi nyata. Negara-negara besar dapat dengan mudah menarik diri atau menafsirkan ulang isi traktat untuk kepentingan nasional mereka.
Negara yang Patuh dan Pelanggar
Beberapa negara seperti Inggris, Perancis, dan Tiongkok tetap berada dalam kerangka NPT meski mereka juga memperluas dan memodernisasi persenjataan mereka. Sebaliknya, Amerika Serikat dan Russia, dua negara pemilik arsenal nuklir terbesar, telah keluar dari sejumlah perjanjian penting atau menunda kewajiban mereka. Korea Utara secara resmi keluar dari NPT pada 2003 dan secara aktif mengembangkan kemampuan nuklirnya.
India, Pakistan, dan Israel tidak pernah menandatangani NPT. Ketiganya memiliki senjata nuklir dan secara aktif mengembangkan kapasitasnya. Iran secara resmi masih terikat NPT, tetapi upaya pengayaan uranium yang tidak transparan membuat negara itu terus dicurigai oleh masyarakat internasional.
Konflik Regional dan Retorika Nuklir
Perang Israel--Iran telah mengubah konstelasi kekuatan di Timur Tengah. Israel, yang tidak pernah secara resmi mengakui memiliki senjata nuklir, memandang setiap ambisi nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial. Iran, sebaliknya, mengklaim bahwa program nuklirnya adalah untuk tujuan damai dan pembangkitan energi.
Di Eropa, Russia menempatkan senjata nuklir taktis lebih dekat ke Ukraina (di wilayah Belarus) dan negara-negara Baltik (di Kaliningrad) sebagai bagian dari "doktrin eskalasi untuk de-eskalasi". Strategi ini meningkatkan risiko kesalahan perhitungan militer. Di Asia Selatan, konflik Kashmir tetap memanaskan hubungan India--Pakistan, dua negara pemilik senjata nuklir yang terlibat dalam beberapa konflik bersenjata sejak 1947.
Posisi Negara Lain: ASEAN, Jepang, Korea Selatan dan Australia
Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, tetap mendukung pengendalian senjata global melalui NPT dan TPNW, namun tidak memiliki daya tekan terhadap negara-negara besar. Jepang dan Korea Selatan, dua negara di bawah payung nuklir Amerika Serikat, kini menghadapi dilema strategis akibat agresivitas Korea Utara. Sementara Australia mempertimbangkan kerja sama pertahanan yang lebih erat dalam kerangka AUKUS, termasuk akses ke teknologi militer strategis.
Urgensi Revisi Tatanan Global
Retorika nuklir yang kembali mengemuka dan runtuhnya kepatuhan terhadap perjanjian-perjanjian internasional pembatasan/pengurangan senjata nuklir menandakan kegagalan sistem multilateral saat ini. Dunia membutuhkan arsitektur pengendalian senjata yang baru: lebih inklusif, lebih mengikat secara hukum, dan memiliki sanksi yang nyata. Tanpa itu, ancaman senjata nuklir akan terus menjadi bagian dari perhitungan politik internasional.
Lebih dari sekadar soal keamanan, ini juga menyangkut legitimasi hukum internasional dan masa depan kemanusiaan. Sistem yang dibangun sejak Perang Dingin harus diperbarui agar bisa menjawab tantangan dunia multipolar saat ini.
======================
Catatan: Tulisan disusun sepenuhnya berdasarkan dan informasi serta analisis kontemporer yang tersedia di Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Vienna Convention on the Law of Treaties (1969), Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT), Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW), START I dan II, INF Treaty, dan New START, UNODA (United Nations Office for Disarmament Affairs), Euronews, ZDF Heute, NDTV
Jakarta, 16 Juni 2025
Prahasto Wahju Pamungkas
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI