Secara sosiologis, brain drain ini menggerus kohesi sosial karena lintasan generasi muda menjauh dari masyarakatnya sendiri. Ditambah lagi, mitos #KaburAjaDulu memperdalam kecemasan kolektif, benarkah semua akan memilih "melarikan diri"?
Negara sebenarnya telah mengeluarkan investasi besar melalui pajak rakyat untuk membangun kapasitas SDM unggul, namun potensi itu justru mengendap di luar negeri, sebuah kerugian terpendam yang tak kasat mata. Sosiolog mengingatkan, kehilangan ini dapat melemahkan fondasi masyarakat yang berkeadaban dan berdaya saing.
Psikologisnya, tekanan hidup dan disharmoni sosial memperparah potensi depresi generasi muda karena merasa tak menemukan harapan di tanah kelahiran.
Dampak Politik dan Sosial
Fenomena brain drain tidak hanya berdampak pada pasar tenaga kerja, tetapi juga mengguncang ranah politik dan sosial. Ketika negara gagal mempertahankan talenta terbaiknya, daya tarik dan kredibilitas pembangunan nasional ikut menurun. Generasi terdidik yang merasa tidak memiliki tempat atau peran dalam pembangunan akan menjauh dari proses politik, bahkan mungkin kehilangan kepercayaan terhadap institusi publik. Dalam jangka panjang, hal ini dapat melahirkan sinisme politik dan apatisme generasi muda terhadap negara.
Lebih jauh, ketika wacana politik nasional didominasi oleh romantisasi masa lalu atau sekadar pengulangan narasi lama, tanpa menyerap energi baru dari generasi muda dan ide-ide modern, maka regenerasi kepemimpinan akan stagnan. Ketidakhadiran figur-figur muda yang progresif bukan hanya kehilangan potensi inovasi, tetapi juga memperlemah relevansi politik nasional dalam menghadapi tantangan global.
Reformasi Sistem Pendidikan dan Ekonomi
Menanggulangi brain drain bukan sekadar menghentikan arus keluar, tetapi menciptakan alasan kuat untuk kembali dan membangun. Reformasi yang paling mendasar adalah memperkuat keterkaitan antara sistem pendidikan tinggi dan kebutuhan dunia kerja dalam negeri. Kurikulum pendidikan, terutama vokasional dan profesional, harus didesain ulang agar sejalan dengan dinamika industri nasional yang tengah tumbuh. Teknologi, digitalisasi, dan riset terapan harus menjadi tulang punggung penguatan ini.
Di sisi ekonomi, negara perlu menciptakan ekosistem inovasi yang memungkinkan anak muda berkembang di tanah air. Insentif untuk mendirikan start up, pendanaan bagi inovator lokal, serta hibah khusus bagi WNI diaspora yang ingin kembali membangun usaha di Indonesia dapat menjadi magnet untuk membalikkan arus brain drain menjadi brain gain. Negara juga bisa meniru praktik negara lain dengan memberikan "jalur cepat" bagi talenta diaspora yang pulang, untuk mengisi posisi strategis dalam riset, industri, maupun pemerintahan.
Mendorong Brain Gain: Saatnya Diaspora Pulang dan Bangun Negeri
Untuk menyeimbangkan arus brain drain, pemerintah Indonesia perlu secara aktif mendorong brain gain, yakni mengajak kembali diaspora yang telah sukses di luar negeri untuk pulang dan berkontribusi. Kementerian yang membawahi pendidikan tinggi, riset, dan ketenagakerjaan dapat memperluas program diaspora dengan menawarkan insentif kepulangan, seperti pengurangan pajak, tunjangan awal karier, atau kemudahan investasi.
Langkah ini perlu dibarengi dengan pembentukan pusat jejaring alumni global, yakni semacam "hub" atau platform formal yang menghubungkan para lulusan Indonesia di luar negeri, baik dari universitas top dunia maupun perusahaan internasional. Hub ini bisa menjadi tempat kolaborasi, pendanaan proyek riset, hingga rekrutmen bakat.
Belajar dari China dan India, Indonesia bisa merancang skema reverse brain drain yang mendorong kembalinya talenta diaspora dengan peluang nyata: akses pada riset kelas dunia, posisi strategis di kampus atau BUMN, serta fasilitas untuk membangun start up. Selain menjadi stimulus ekonomi, hal ini juga memperkuat ekosistem ilmu pengetahuan dan kewirausahaan nasional.