Saat sedang asyik membaca berita, tiba-tiba perhatian saya tertuju pada satu artikel di The Straits Times yang berjudul "Indonesia is pursuing the worst form of solar power - Biofuel mandates are boosting the use of palm oil. Going electric would be a better solution", tulisan David Flicking, di mana Indonesia dikritik mengapa menggunakan panel surya untuk pembangkit energi listrik, padahal panel surya itu membutuhkan lahan yang cukup luas; dan kenapa tidak menggunakan minyak kelapa sawit untuk pembangkitan tenaga listrik?
Saya berpikir ini adalah artikel yang menarik untuk diulas dan dibahas, tetapi saya akan menambahkan dalam ulasan/pembahasan/opini saya tersebut dengan alternatif lain yang mungkin juga bermanfaat bagi pembangkitan tenaga listrik yang ramah lingkungan, yaitu pembangunan ladang angin (wind farm) dan pemanfaatan ampas tebu. Mana yang baik? Mari kita simak dan, jika pembaca tertarik, dapat berdiskusi dengan saya di kolom komentar.
Energi Terbarukan dalam Konteks Indonesia
Indonesia sedang menghadapi tantangan besar dalam mengelola dan memenuhi kebutuhan energi nasional. Pertumbuhan ekonomi dan populasi telah meningkatkan permintaan energi secara signifikan. Di tengah krisis iklim global dan tekanan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, pemerintah Indonesia mulai beralih ke energi terbarukan.
Salah satu opsi yang diambil adalah pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), meskipun menimbulkan pro dan kontra karena potensi alih fungsi lahan pertanian. Namun demikian, diskursus energi bersih di Indonesia tidak hanya terbatas pada tenaga surya. Sejumlah pendekatan alternatif juga mulai dipertimbangkan, termasuk pemanfaatan ampas tebu sebagai sumber energi biomassa.
Baca juga: Indonesia Butuh Sistem Pertanian yang Cerdas, Bukan Tambahan Petani?
Kritik terhadap Solar Panel (Panel Surya) di Indonesia
Artikel opini dari The Straits Times mengkritik keputusan Indonesia dalam mengejar energi surya berbasis lahan (ground-mounted solar farms). Teknologi ini dianggap sebagai bentuk terburuk dari energi surya karena berpotensi menimbulkan konflik penggunaan lahan, khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang membutuhkan lahan untuk pertanian dan ketahanan pangan. Alih fungsi lahan produktif untuk panel surya dianggap kurang bijaksana ketika ada banyak opsi teknologi lain yang bisa dioptimalkan.
Di Indonesia, lahan pertanian memiliki fungsi strategis untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Kebijakan energi yang berbenturan dengan aspek agraria perlu dikaji ulang. Sementara energi surya adalah sumber daya yang bersih dan melimpah, pendekatan aplikatifnya harus disesuaikan dengan kondisi lokal. Misalnya, solar panel bisa diintegrasikan di atap rumah, gedung, bahkan infrastruktur jalan tol dan rel kereta tanpa merambah lahan pertanian.
Baca juga: Proyek Energi Surya Terapung: Tinjauan Hukum, Lingkungan dan Partisipasi Masyarakat
Akan tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa di Indonesia sangat memungkinkan untuk menciptakan sistem yang menggabungkan ladang tenaga surya dengan kegiatan pertanian, suatu pendekatan yang dikenal secara global sebagai "agrivoltaics" atau agrofotovoltaik, hal yang akan saya bahas di tulisan berikutnya.