Mohon tunggu...
Prahasto Wahju Pamungkas
Prahasto Wahju Pamungkas Mohon Tunggu... Advokat, Akademisi, Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa (Belanda, Inggris, Perancis dan Indonesia)

Seorang Advokat dan Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa dengan pengalaman kerja sejak tahun 1995, yang juga pernah menjadi Dosen Tidak Tetap pada (i) Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, (ii) Magister Hukum Universitas Pelita Harapan dan (iii) Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang gemar travelling, membaca, bersepeda, musik klasik, sejarah, geopolitik, sastra, koleksi perangko dan mata uang, serta memasak. https://pwpamungkas.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Indonesia Butuh Sistem Pertanian yang Cerdas, Bukan Tambahan Petani?

3 Juni 2025   09:38 Diperbarui: 4 Juni 2025   11:06 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Smart Farming | FREEPIK/pongsaksapakdee

Betulkah Indonesia sudah kekurangan lahan pertanian produktif dan kekurangan jumlah petani, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hasil produk pertanian, Indonesia lebih membutuhkan sistem pertanian yang cerdas daripada lebih banyak petani? Ada artikel yang terbit di Jakarta Post pada tanggal 2 Juni 2025, yang akan Penulis kupas di bawah ini, dan juga Penulis akan mencoba mengulas hal-hal lain untuk menggenapinya.

Indonesia Lebih Membutuhkan Sistem Pertanian Cerdas, Bukan Lebih Banyak Petani

Artikel opini "Indonesia Needs Smarter Farming, Not More Farmers" yang diterbitkan oleh The Jakarta Post pada 2 Juni 2025, muncul sebagai respons terhadap berbagai tantangan yang dihadapi sektor pertanian Indonesia.

Dengan populasi yang terus bertambah dan kebutuhan pangan yang meningkat, Indonesia dihadapkan pada kenyataan bahwa sektor pertaniannya masih didominasi oleh metode tradisional dan kurangnya adopsi teknologi modern. 

Artikel ini bertujuan untuk menyoroti perlunya transformasi dalam pendekatan pertanian, dengan menekankan pentingnya pertanian cerdas dibandingkan sekadar menambah jumlah petani.

Tantangan Sektor Pertanian Indonesia

Sektor pertanian Indonesia menghadapi berbagai tantangan, mulai dari penurunan jumlah petani muda hingga rendahnya produktivitas lahan. Data menunjukkan bahwa rata-rata usia petani Indonesia adalah 55 tahun, dengan hanya 2,14% dari Generasi Z yang terlibat dalam sektor pertanian.

Selain itu, penggunaan teknologi pertanian yang tertinggal menyebabkan produktivitas yang rendah; misalnya, satu hektar lahan di Indonesia hanya menghasilkan sekitar 5 ton beras, sedangkan negara-negara dengan teknologi maju dapat menghasilkan hingga 15 ton beras per hektar.

Mengapa Pertanian Cerdas (Smart Farming) Diperlukan?

Pertanian cerdas melibatkan penggunaan teknologi modern seperti pertanian presisi, sistem irigasi pintar, dan kecerdasan buatan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas. 

Dengan adopsi teknologi ini, biaya produksi dapat ditekan, hasil panen meningkat, dan kesejahteraan petani dapat ditingkatkan. Negara-negara seperti Jepang, Belanda, dan Australia telah membuktikan keberhasilan pendekatan ini dalam meningkatkan hasil pertanian mereka.

Smart Farming dan Kesenjangan Modal

Dalam diskursus pertanian modern, gagasan tentang "pertanian cerdas" atau smart farming memang menawarkan solusi untuk rendahnya produktivitas dan efisiensi pertanian tradisional. 

Teknologi seperti drone untuk pemantauan tanaman, sensor kelembapan tanah, sistem irigasi otomatis, serta penggunaan data dan kecerdasan buatan menjanjikan peningkatan hasil panen dengan input yang lebih terkendali. Negara-negara maju telah membuktikan bahwa smart farming mampu meningkatkan ketahanan pangan dan efisiensi lahan secara signifikan.

Akan tetapi, teknologi ini tentu tidak datang tanpa biaya. Implementasi smart farming membutuhkan investasi awal yang besar, mulai dari pembelian perangkat keras, pelatihan, hingga pemeliharaan sistem. Ini menjadi tantangan besar di negara berkembang seperti Indonesia, di mana mayoritas petani masih tergolong sebagai petani kecil dengan akses terbatas terhadap modal.

Banyak petani di desa masih bergantung pada pinjaman informal atau tengkulak untuk memenuhi kebutuhan pertaniannya. Dalam kondisi seperti ini, smart farming bisa menjadi sesuatu yang elitis, hanya terjangkau bagi kelompok tertentu yang memiliki akses terhadap keuangan, teknologi, dan informasi.

Jika tidak ada kebijakan yang mengantisipasi hal ini, maka akan terjadi pemusatan kepemilikan dan kontrol atas teknologi pertanian di tangan segelintir pelaku usaha besar atau korporasi agribisnis. 

Warga pedesaan yang tidak memiliki modal justru berisiko tersingkir dan hanya menjadi buruh tani di lahan milik investor. Ketimpangan sosial pun akan semakin melebar, dan esensi dari pertanian rakyat yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional bisa terkikis.

Kelayakan Pendapat dalam Konteks Indonesia

Meskipun Indonesia adalah negara agraris dengan tenaga kerja yang melimpah, pendapat bahwa "Indonesia memerlukan pertanian yang lebih cerdas daripada lebih banyak petani" tetap relevan. 

Dengan lahan pertanian yang semakin berkurang akibat urbanisasi dan alih fungsi lahan, meningkatkan jumlah petani tanpa meningkatkan produktivitas akan menjadi tidak efektif. 

Sebaliknya, dengan menerapkan teknologi pertanian cerdas, Indonesia dapat memaksimalkan hasil dari lahan yang tersedia dan menarik minat generasi muda untuk terlibat dalam sektor pertanian.

Salah satu penyebab semakin berkurangnya lahan pertanian adalah issue urbanisasi dan alih fungsi lahan, yang, jika diimbangi dengan meningkatkan jumlah petani tanpa meningkatkan produktivitas, hanya akan menjadikan pertanian tidak efektif. Benarkah demikian?

Urbanisasi dan Perubahan Struktur Agraria

Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia mengalami tren urbanisasi yang sangat cepat. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Makassar terus mengalami perluasan wilayah dan pemekaran yang berdampak langsung pada penyusutan lahan pertanian di sekitarnya.

Lahan-lahan yang sebelumnya digunakan untuk pertanian kini telah berubah fungsi menjadi kawasan perumahan, industri, dan infrastruktur perkotaan. 

Di satu sisi, hal ini merupakan konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kebutuhan akan ruang hidup dan ruang usaha. Di sisi lain, proses ini juga menekan ketersediaan lahan produktif untuk pertanian, terutama di Pulau Jawa yang padat penduduk dan menjadi pusat produksi pangan nasional.

Namun, perlu dilihat bahwa meskipun terjadi konversi lahan secara signifikan, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau masih memiliki wilayah yang sangat luas. Potensi lahan pertanian di luar Jawa, seperti di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, masih belum tergarap secara optimal.

Oleh karena itu, klaim bahwa urbanisasi secara langsung dan linear mengurangi jumlah lahan pertanian secara nasional tidak sepenuhnya akurat. Faktor-faktor lain, seperti akses terhadap infrastruktur, teknologi, pasar, dan keamanan agraria, juga sangat mempengaruhi pemanfaatan lahan pertanian.

Demikian pula dengan tenaga kerja di sektor pertanian. Urbanisasi memang mendorong migrasi penduduk desa ke kota, namun hal ini juga mencerminkan adanya ketimpangan kesejahteraan dan akses ekonomi di pedesaan.

Anak-anak muda lebih memilih bekerja di kota karena sektor pertanian dianggap tidak menjanjikan secara ekonomi. Ini menunjukkan bahwa persoalan regenerasi petani lebih disebabkan oleh kurang menariknya sektor pertanian secara sistemik, bukan semata-mata karena hilangnya lahan atau meningkatnya urbanisasi.

Jalan Tengah: Teknologi yang Inklusif dan Bertahap

Kekhawatiran terhadap eksklusivitas smart farming bukanlah alasan untuk menolak inovasi. Yang dibutuhkan adalah pendekatan bertahap dan kebijakan yang inklusif. Pemerintah harus berperan aktif dalam menjembatani kesenjangan antara teknologi dan kemampuan petani kecil. 

Subsidi alat pertanian modern, program pelatihan teknis berbasis komunitas, pembentukan koperasi digital, serta skema pembiayaan mikro untuk pembelian alat teknologi bisa menjadi langkah awal yang memungkinkan petani kecil mengakses inovasi.

Selain itu, riset dan pengembangan teknologi pertanian harus diarahkan pada pengembangan solusi lokal yang murah, mudah digunakan, dan disesuaikan dengan kebutuhan petani di berbagai wilayah. 

Tidak semua bentuk smart farming harus berbasis kecerdasan buatan atau sensor mahal. Inovasi sederhana seperti benih unggul, pemetaan cuaca berbasis SMS, atau sistem irigasi tetes yang hemat air bisa menjadi bagian dari pertanian cerdas yang aplikatif.

Kesimpulan: Cerdas Bukan Berarti Meninggalkan

Pertanian cerdas tidak boleh dipahami sebagai penggantian manusia dengan mesin, atau dominasi korporasi atas ladang-ladang desa. Sebaliknya, pertanian cerdas harus menjadi sarana untuk memberdayakan petani kecil agar mereka mampu bersaing dan bertahan dalam dunia yang terus berubah. 

Urbanisasi memang mengurangi ruang fisik pertanian, namun dengan teknologi dan kebijakan yang tepat, efisiensi dan produktivitas bisa ditingkatkan pada lahan yang tersedia.

Kuncinya adalah pada inklusi: bagaimana memastikan bahwa transformasi teknologi tidak menciptakan jurang sosial, tetapi justru menjembatani harapan petani kecil dengan kebutuhan nasional akan pangan yang berkelanjutan. Indonesia memerlukan pertanian cerdas, tetapi juga memerlukan cara yang adil dan manusiawi dalam mencapainya.

Transformasi sektor pertanian Indonesia menuju pertanian cerdas adalah langkah yang tidak hanya diperlukan tetapi juga mendesak. Dengan mengadopsi teknologi modern dan meningkatkan efisiensi, Indonesia dapat memastikan ketahanan pangan, meningkatkan kesejahteraan petani, dan menarik generasi muda untuk berpartisipasi dalam sektor ini. Pendekatan ini akan memungkinkan Indonesia untuk menghadapi tantangan masa depan dan memastikan keberlanjutan sektor pertaniannya.

======================

Catatan: Tulisan disusun sepenuhnya atas berdasarkan informasi dan analisis kontemporer yang dapat dijumpai di Antara News dan Jakarta Post

Jakarta, 3 Juni 2025
Prahasto Wahju Pamungkas

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun