Mohon tunggu...
Prahasto Wahju Pamungkas
Prahasto Wahju Pamungkas Mohon Tunggu... Advokat, Akademisi, Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa (Belanda, Inggris, Perancis dan Indonesia)

Seorang Advokat dan Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa dengan pengalaman kerja sejak tahun 1995, yang juga pernah menjadi Dosen Tidak Tetap pada (i) Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, (ii) Magister Hukum Universitas Pelita Harapan dan (iii) Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang gemar travelling, membaca, bersepeda, musik klasik, sejarah, geopolitik, sastra, koleksi perangko dan mata uang, serta memasak. https://pwpamungkas.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Darah Serumpun, Perang Saudara: Sejarah Panjang di Balik Invasi Russia ke Ukraina

23 Mei 2025   17:01 Diperbarui: 23 Mei 2025   20:14 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah Revolusi Bolshevik (1917), Ukraina menjadi salah satu republik dalam Uni Soviet. Namun, kebijakan Stalin pada tahun 1930-an, termasuk Holodomor, kelaparan massal yang disebabkan oleh kebijakan kolektivisasi, mengakibatkan jutaan kematian di Ukraina. Selain itu, bahasa dan budaya Ukraina ditekan, dan banyak intelektual serta seniman Ukraina yang diasingkan atau dibunuh.

Meskipun mengalami penindasan, semangat nasionalisme Ukraina tetap hidup di bawah permukaan. Setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, Ukraina mendeklarasikan kemerdekaannya dan mulai membangun identitas nasional yang lebih kuat.

Memorandum Budapest dan Janji yang Dilanggar

Pada tahun 1994, Ukraina menandatangani Memorandum Budapest bersama Russia, Amerika Serikat, dan Inggris. Dalam perjanjian ini, Ukraina setuju untuk menyerahkan arsenal nuklirnya, yang saat itu merupakan yang terbesar ketiga di dunia, dengan imbalan jaminan keamanan dan penghormatan terhadap kedaulatan serta integritas wilayahnya.

Namun, pada tahun 2014, Russia menganeksasi Crimea, wilayah Ukraina yang strategis, yang dianggap oleh banyak pihak sebagai pelanggaran terhadap Memorandum Budapest. Langkah ini memicu kecaman internasional dan memperburuk hubungan antara Russia dan Ukraina.

Baca juga: Betulkah Bahaya Perang Nuklir Semakin Dekat?

Identitas Nasional dan Perang Informasi

Presiden Russia, Vladimir Putin, sering menyatakan bahwa Russia dan Ukraina adalah "satu bangsa" yang memiliki akar sejarah dan budaya yang sama. Namun, banyak sejarawan dan analis menilai bahwa pernyataan ini merupakan upaya untuk menjustifikasi intervensi Russia di Ukraina dan mengaburkan identitas nasional Ukraina yang telah berkembang selama berabad-abad.

Ukraina, di sisi lain, semakin menegaskan identitas nasionalnya, termasuk melalui promosi bahasa Ukraina dan pelestarian budaya lokal. Konflik ini bukan hanya perang fisik, tetapi juga perang informasi dan identitas.

Peran Gereja Ortodoks dalam Konflik

Gereja Ortodoks Russia memainkan peran penting dalam mendukung narasi Kremlin tentang persatuan spiritual antara Russia dan Ukraina. Namun, pada tahun 2019, Gereja Ortodoks Ukraina memperoleh status autocephaly (kemerdekaan) dari Patriarkat Ekumenis Konstantinopel, yang menandai pemisahan resmi dari Gereja Ortodoks Russia. Langkah ini dianggap sebagai kemenangan simbolis bagi Ukraina dalam memperkuat identitas nasionalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun