Berbagai media massa, antara lain Kyiv Indipendent, The Guardian, Al Jazeera, BBC, dan sebagainya, memuat berita yang mengatakan bahwa Presiden Federasi Russia, Vladimir Putin dan Menteri Luar Negeri Russia, Sergey Lavrov, tidak tertarik pada gencatan senjata 30 hari usulan Amerika Serikat, akan tetapi lebih mementingkan perdamaian dengan memperhatikan akar penyebab (root causes) dari konflik antara Russia dan Ukraina.
Sebagaimana yang diketahui banyak orang, penyebab konflik ini adalah karena Russia keberatan Ukraina bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Uni Eropa, karena menurut Russia, dengan bergabungnya Ukraina ke NATO, akan membawa bahaya secara militer bagi Russia dan berdampak negatif bagi eksistensi Russia.
Sedangkan bergabungnya Ukraina ke Uni Eropa, yang berarti mendekatkan Ukraina ke Eropa Barat dan menjauh dari Russia, akan berbahaya bagi identitas dan persaudaraan Slavia Timur. Bergabungnya Ukraina ke Uni Eropa dianggap sebagai ancaman terhadap identitas budaya, historis, dan persaudaraan Slavia Timur.
Dalam pandangan Vladimir Putin dan sebagian elite Russia, Russia, Belarus, dan Ukraina merupakan bagian dari satu peradaban yang sama, yaitu peradaban Slavia Timur yang berakar dari Kievan Rus, berbagi bahasa, sejarah Ortodoks Timur, dan banyak nilai budaya yang serumpun.
Kievan Rus: Awal Mula Persaudaraan Slavia
Sejarah hubungan antara Russia dan Ukraina bermula dari Kievan Rus, sebuah konfederasi kerajaan Slavia Timur yang berdiri pada akhir abad ke-9 hingga pertengahan abad ke-13. Dengan pusat pemerintahan di Kiev, wilayah ini mencakup sebagian besar Ukraina, Belarus, dan Russia bagian barat.
Kievan Rus dianggap sebagai nenek moyang budaya dan spiritual bagi ketiga bangsa tersebut. Dalam sejarah, Kiev menjadi jantung politik, budaya, dan spiritual dari entitas politik Slavia Timur yang berkembang antara abad ke-9 hingga ke-13. Kievan Rus merupakan cikal bakal dari tiga bangsa modern: Ukraina, Russia, dan Belarus.
Slavia Barat (Polandia, Ceko, Slovakia) dan Slavia Selatan (Bulgaria, Serbia, Kroasia, Slovenia, Bosnia dan Herzegovina, Makedonia Utara, dan Montenegro) tidak berasal dari atau merupakan keturunan langsung dari Kievan Rus dalam pengertian politik atau sejarah kenegaraan. Mereka memiliki akar yang sama sebagai bangsa Slavia secara etnolinguistik, namun jalur sejarah dan perkembangan budaya mereka berbeda.
Kievan Rus memiliki hubungan langsung dengan bangsa Varangia, yakni bangsa-bangsa Skandinavia (yang termasuk dalam kelompok Viking), khususnya dari wilayah yang sekarang disebut Swedia. Dalam kronik-kronik Russia Kuno, seperti Primary Chronicle (Nestor Chronicle), diceritakan bahwa pada abad ke-9, kelompok Slavia dan Finnic di sekitar Novgorod mengundang bangsa Varangia untuk memerintah mereka guna mengakhiri konflik internal. Tokoh utama dalam kisah ini adalah Rurik, seorang pemimpin Varangia, yang kemudian mendirikan dinasti Rurikid, dinasti yang memerintah Russia hingga abad ke-16. Rurikid adalah dinasti pertama yang memerintah wilayah Russia.
Rurik menetap di Novgorod, dan keturunannya, Oleg dari Novgorod, kemudian bergerak ke selatan dan menaklukkan Kiev sekitar tahun 882. Ia menjadikan Kiev sebagai ibu kota, menyatukan wilayah-wilayah di bawah satu pemerintahan dan membentuk entitas yang kemudian dikenal sebagai Kievan Rus. Inilah yang menandai permulaan dari negara Slavia Timur yang pertama.
Bangsa Varangia membawa sistem pemerintahan yang terorganisir dan kemampuan berdagang serta berperang. Mereka juga mengembangkan jalur dagang dari Laut Baltik ke Laut Hitam melalui sungai-sungai besar seperti Dnieper dan Volga, yang menjadikan Kiev sebagai pusat dagang antara dunia Kristen Byzantium dan dunia Muslim Abbasiyah. Inilah yang mempercepat pertumbuhan Kiev sebagai pusat kekuatan ekonomi dan politik di kawasan.
Walaupun berasal dari luar, Varangia dengan cepat berasimilasi dengan penduduk lokal Slavia. Mereka mengadopsi bahasa, agama (setelah konversi ke Kristen Ortodoks pada tahun 988 oleh Vladimir Agung), dan budaya lokal. Dalam waktu beberapa generasi, keturunan Varangia tidak lagi dibedakan dari elit Slavia Timur lainnya.
Pada tahun 988 M, Pangeran Vladimir Agung dari Kiev mengadopsi agama Kristen Ortodoks dari Byzantium, yang kemudian menjadi fondasi spiritual bagi wilayah tersebut. Langkah ini mempererat hubungan budaya dan agama antara wilayah-wilayah Slavia Timur.
Setelah runtuhnya Kievan Rus akibat invasi Mongol pada abad ke-13, wilayah tersebut terfragmentasi menjadi berbagai kerajaan kecil. Wilayah Russia berkembang di bawah Kepangeranan Moskow, sementara wilayah Ukraina barat berada di bawah kekuasaan Polandia-Lituania. Perbedaan pengaruh politik dan budaya ini menyebabkan berkembangnya identitas nasional yang berbeda antara Russia dan Ukraina.
Meskipun berbagi akar budaya dan agama, pengalaman sejarah yang berbeda membentuk persepsi identitas yang terpisah. Ukraina, khususnya bagian barat, mengalami pengaruh kuat dari Eropa Tengah, sementara Russia berkembang dengan pengaruh Ortodoks dan otokrasi yang lebih kuat.
Tsardom Russia dan Upaya Integrasi Ukraina
Pada abad ke-17, setelah Pemberontakan Khmelnytsky, bagian timur Ukraina (Left-bank Ukraine) memasuki persekutuan dengan Tsardom Russia di bawah Dinasti Romanov melalui Perjanjian Pereyaslav pada tahun 1654. Langkah ini awalnya dimaksudkan untuk perlindungan militer, namun kemudian digunakan Russia untuk memperluas pengaruhnya di Ukraina.
Selama periode ini, Russia mulai menerapkan kebijakan Russifikasi di wilayah Ukraina, termasuk pembatasan penggunaan bahasa Ukraina dan penekanan terhadap budaya lokal. Meskipun demikian, identitas Ukraina tetap bertahan, terutama di wilayah barat yang berada di bawah pengaruh Austria-Hongaria.
Dinasti Romanov bukan keturunan biologis langsung dari Dinasti Rurikid, tetapi secara simbolis dan politik mereka mengklaim kesinambungan legitimasi dari Rurikid, dan memang memiliki ikatan pernikahan serta adopsi politik yang membuat transisi kekuasaan dari Rurikid ke Romanov dapat diterima oleh bangsawan dan rakyat Russia saat itu.
Uni Soviet dan Penindasan Budaya Ukraina
Setelah Revolusi Bolshevik (1917), Ukraina menjadi salah satu republik dalam Uni Soviet. Namun, kebijakan Stalin pada tahun 1930-an, termasuk Holodomor, kelaparan massal yang disebabkan oleh kebijakan kolektivisasi, mengakibatkan jutaan kematian di Ukraina. Selain itu, bahasa dan budaya Ukraina ditekan, dan banyak intelektual serta seniman Ukraina yang diasingkan atau dibunuh.
Meskipun mengalami penindasan, semangat nasionalisme Ukraina tetap hidup di bawah permukaan. Setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, Ukraina mendeklarasikan kemerdekaannya dan mulai membangun identitas nasional yang lebih kuat.
Memorandum Budapest dan Janji yang Dilanggar
Pada tahun 1994, Ukraina menandatangani Memorandum Budapest bersama Russia, Amerika Serikat, dan Inggris. Dalam perjanjian ini, Ukraina setuju untuk menyerahkan arsenal nuklirnya, yang saat itu merupakan yang terbesar ketiga di dunia, dengan imbalan jaminan keamanan dan penghormatan terhadap kedaulatan serta integritas wilayahnya.
Namun, pada tahun 2014, Russia menganeksasi Crimea, wilayah Ukraina yang strategis, yang dianggap oleh banyak pihak sebagai pelanggaran terhadap Memorandum Budapest. Langkah ini memicu kecaman internasional dan memperburuk hubungan antara Russia dan Ukraina.
Baca juga: Betulkah Bahaya Perang Nuklir Semakin Dekat?
Identitas Nasional dan Perang Informasi
Presiden Russia, Vladimir Putin, sering menyatakan bahwa Russia dan Ukraina adalah "satu bangsa" yang memiliki akar sejarah dan budaya yang sama. Namun, banyak sejarawan dan analis menilai bahwa pernyataan ini merupakan upaya untuk menjustifikasi intervensi Russia di Ukraina dan mengaburkan identitas nasional Ukraina yang telah berkembang selama berabad-abad.
Ukraina, di sisi lain, semakin menegaskan identitas nasionalnya, termasuk melalui promosi bahasa Ukraina dan pelestarian budaya lokal. Konflik ini bukan hanya perang fisik, tetapi juga perang informasi dan identitas.
Peran Gereja Ortodoks dalam Konflik
Gereja Ortodoks Russia memainkan peran penting dalam mendukung narasi Kremlin tentang persatuan spiritual antara Russia dan Ukraina. Namun, pada tahun 2019, Gereja Ortodoks Ukraina memperoleh status autocephaly (kemerdekaan) dari Patriarkat Ekumenis Konstantinopel, yang menandai pemisahan resmi dari Gereja Ortodoks Russia. Langkah ini dianggap sebagai kemenangan simbolis bagi Ukraina dalam memperkuat identitas nasionalnya.
Persaudaraan yang Retak
Konflik antara Russia dan Ukraina bukan hanya soal geopolitik atau ekspansi militer, tetapi juga tentang identitas, sejarah, dan masa depan bangsa. Meskipun berbagi akar budaya dan sejarah, pengalaman berbeda selama berabad-abad telah membentuk dua identitas nasional yang distinct. Invasi Russia ke Ukraina mencerminkan upaya untuk mengembalikan pengaruhnya atas wilayah yang dianggap sebagai bagian dari warisan historisnya, namun di sisi lain, Ukraina berjuang untuk mempertahankan kedaulatan dan identitasnya sebagai bangsa merdeka.
Catatan: Artikel ini disusun berdasarkan informasi dari berbagai sumber sejarah dan analisis kontemporer mengenai hubungan Russia dan Ukraina.
Jakarta, 23 Mei 2025
Prahasto Wahju Pamungkas
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI