Kelompok kriteria pertama menyangkut moralitas berperang, dan kelompok kriteria kedua menyangkut perilaku moral dalam berperang. Di era yang lebih modern, ada seruan untuk memasukkan kategori ketiga dari teori perang yang adil (jus post bellum) yang membahas moralitas penyelesaian dan rekonstruksi pasca perang. Kategori ketiga ini bukan ajaran Santo Augustine.
Teori perang yang adil mendalilkan keyakinan bahwa perang, meskipun mengerikan tetapi tidak terlalu mengerikan jika dilakukan dengan benar, dan bukan selalu merupakan pilihan yang terburuk.
Teori perang yang adil menyajikan cara ber perang yang dapat dibenarkan dengan keadilan sebagai tujuan konflik bersenjata. Yang dapat membenarkan peperangan adalah pentingnya tanggung jawab, hasil yang tidak diinginkan, atau kekejaman yang dapat dicegah dapat membenarkan perang (vide: Guthrie, Charles; Quinlan, Michael (2007), "III: The Structure of the Tradition", Just War: The Just War Tradition: Ethics in Modern Warfare, Bloomsbury, halaman 11--15)
Teori Perang yang Adil Bersumber dari Kitab Suci
Santo Augustine berpendapat bahwa individu tidak boleh langsung menggunakan kekerasan, tetapi Tuhan telah memberikan pedang kepada pemerintah karena alasan yang baik (Roma 13:4 -- "Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang").
Dalam Contra Faustum Manichaeum buku 22 bagian 69--76, Santo Augustine berpendapat bahwa orang Kristen, sebagai bagian dari pemerintah, tidak perlu malu melindungi perdamaian dan menghukum kejahatan ketika mereka dipaksa untuk melakukannya oleh pemerintah.
Santo Augustine menegaskan bahwa itu adalah sikap pribadi dan filosofis: "Apa yang dibutuhkan di sini bukanlah tindakan fisik, tetapi watak batin. Tempat suci kebajikan adalah hati." (Vide: Robert L. Holmes (September 2001), "A Time for War?", ChristianityToday.com.)
Meskipun demikian, ia menegaskan, kedamaian dalam menghadapi kesalahan besar yang hanya dapat dihentikan dengan kekerasan adalah dosa. Pembelaan diri sendiri atau orang lain dapat menjadi suatu keharusan, terutama jika hal itu diizinkan oleh otoritas yang sah. Kata Santo Augustine dalam Bab 21 dari De civitate Dei:
Mereka yang telah berperang dalam ketaatan kepada perintah ilahi, atau sesuai dengan hukum-hukum-Nya, telah mewakili keadilan publik atau kebijaksanaan pemerintah dalam diri mereka, dan dalam kapasitas ini telah membunuh orang-orang jahat; orang-orang seperti itu sama sekali tidak melanggar perintah, "Jangan membunuh."
Kriteria Santo Augustine untuk Perang yang Adil
Santo Augustine menguraikan beberapa kondisi yang memungkinkan perang dianggap adil: