Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Yang Abadi adalah Cinta

6 Februari 2019   09:39 Diperbarui: 6 Februari 2019   12:06 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pertunjukan teater (Pixabay/WikimediaImages)

Gerakan silat yang lembut adalah simbol cinta dan kesabaran. Bukan kemarahan dan kebencian yang muncul saat kita menyerang dengan ganas. Semakin marah musuhmu, semakin mudah untuk dilumpuhkan. Melumpuhkan tanpa membunuh. Melumpuhkan tanpa membenci. Melumpuhkan tanpa mendendam.

Adegan pembuka itu berakhir dengan Amir, yang digendong oleh seseorang, serta gurunya beranjak ke surau untuk mengaji.

Dalam pentas itu, Amir diceritakan hidup dalam dilema. Dilema yang pada akhirnya mengantarkannya ke hari eksekusinya. Dilema besar dirasakan Amir dewasa yang diperankan aktor Lukman Sardi. 

Sepeninggal orang tuanya, biaya sekolah Amir di Solo ditanggung oleh pamannya yang sekaligus Raja Kesultanan Langkat yang dekat dengan Belanda. Biaya itu tentu bersyarat. 

Amir tak boleh berdekatan dengan kaum pergerakan dan terjun ke dunia politik. Hal itu dapat menjadi ancaman bagi kemesraan Kesultanan Langkat dengan Belanda.

Hal itu tentu saja dilanggar oleh Amir. Di Solo, ia bergerak bersama pemuda. Ia menempuh jalan kesusastraan. Konsekuensinya, kegiatan Amir di Solo perlahan tercium oleh Raja.

Dilema lain Amir adalah kisah cintanya dengan Ilik Sundari. Teman Amir di Solo. Gadis Jawa, anak seorang guru biasa. Cintanya harus kandas karena hal yang dengan lantang sangat Amir tentang. Yaitu pembatasan antara kasta bangsawan dan rakyat yang tak boleh berhubungan langsung, apalagi menjalin cinta. Lagi-lagi, Amir kalah pada dilemanya.

Kegalauan Amir ia curahkan pada rekannya, Tengku Burhan. Dalam dialognya, mereka membahas surat perintah untuk pulang dari Raja Langkat pada Amir. 

Satu sisi ia berhutang budi pada raja yang menanggung biaya sekolahnya, di sisi lain Amir mendapat tawaran mengajar bahasa Indonesia di Jepang. Ibaratnya, satu kaki ditarik ke depan menyongsong kedaulatan Republik, tapi kaki yang lain ditarik ke masa lalu oleh kehidupan Kesultanan.

Amir pun kembali ke Langkat, ke 'pelukan' Kesultanan Langkat. Di sana, Amir tetap hidup dalam idealisme dan cinta kasihnya, namun dalam tatanan Kesultanan yang feodal.

 Tak ada pilihan pasti. Di masa revolusi yang bergejolak dan panas, tak pasti dalam pilihan bisa jadi bahaya. Walaupun Amir sempat jadi bupati Binjai yang dekat dengan Republik, tapi ia masih pula seorang Tengku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun