Mohon tunggu...
PontianusEugenius RajaNaro
PontianusEugenius RajaNaro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

"Ora Et Labora"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dengan wanita, Selalu ada Mas-salah (Bagian 1)

13 Mei 2024   02:02 Diperbarui: 13 Mei 2024   16:07 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar Ilustrasi: https://www.facebook.com/share/TtoyuD3EUVKL91NP/?mibextid=xfxF2i

Pada awal bulan April tahun ini, aku merasa sangat senang sekali, karena ini momen dimana aku mendapatkan cuti panjang, setelah tiga tahun pertama bekerja di perusahaan pertambangan minyak, di kota Balikpapan. 

Pekerjaan yang sangat melelahkan, akhirnya mendapat angin segar, setidaknya aku dapat melampiaskan rindu ini, dengan hangatnya pelukan keluarga kecilku. 

Ketika malam tiba kami melakukan ritual perpisahan bersama teman-teman pekerja lainnya, dengan ditemani sebotol wiski dan beberapa botol bir menjadi simbol keakraban kami. Di malam itu aku memperhatikan ada satu teman karibku, Edward namanya, yang baru saja pulang cuti dari Sulawesi, yang terlihat begitu lesu sekali yang seakan tidak memiliki gairah, padahal baru saja pulang berlibur dari kampung halaman, harusnya memawa sukacitanya. Ketika aku tanya, Edward tidak lagi dapat membendung kesedihannya dan langsung mencurahkan segala peristiwa pahit yang dialaminya selama liburan sebulan lalu. Dimana ketika dia tiba di rumahnya, dia mendapati istrinya sedang bermesraan di dalam kamar bersama seorang pria, maksud ingin memberi kejutan pada istrinya tapi malah dia yang terkejut melihat kelakuan belahan jiwanya.

 Edward seperti mendapat bom kejut, yang tidak pernah terbayangkan olehnya, dimana istrinya sedang bermain api di belakangnya, parahnya lagi istrinya bermain serong dengan sepupu kandung Edward dan sudah kumpul kebo sejak lama, padahal Edward sudah menitipkan pesan pada sepupunya agar memperhatikan keluarga kecilnya dengan mengurus rumah sebagai ganti dirinya yang sedang bekerja, dengan imbalan dibayarnya uang pendidikan sepupunya itu. 

Tapi entah mengapa dengan kurang hajar, sepupunya malah mengantikan Edward sebagai ganti dirinya diranjang. Ini sudah seperti air susu dibalas dengan air tuba, tapi bagaimana lagi nasi sudah menjadi bubur, Edward sangat kecewa berat, dan sangat-sangat hancur, itu dia ceritakan sambil tidak berhenti meminum alkohol, yang aku kira sudah hampir belasan botol diminumnya, begitu stresnya Edward sahabat ku itu.


 Ketika mendengar itu aku pun merasa iba, dan tidak bisa berkata-kata lagi, lalu ku sudahi teguk alkoholnya, dan langsung membawanya ke tempat tidurnya, tapi dia masih mengerang tak karuan, kalau bukan karena putrinya, mungkin dia tidak mau datang lagi kemari, kami semua melihatnya iba, dan secara tidak langsung Edward memberi kami pelajaran, bahwa cinta tak selamanya indah.

 Sebelum meninggalkan tempat kerjaku, aku berpamitan pulang dengan para sahabat seperjuangan yang belum sempat mengambil cuti tahun ini, karena kami semua harus bergantian untuk pulang cuti, hanya aku saja dan beberapa pekerja lain yang mengambil cuti tahun ini, aku berpamitan sambil melempar candaan "kerja yang rajin yah, para budak" itu candaan akrab, yang selalu kami lontarkan, jika diantara kami ada yang pergi berlibur. 

Dilanjutkan perjalanan panjangku menuju ke rumah kerinduan, tapi sebelum itu aku harus menunggu kapal penjemputan, karena tempat kami bekerja berada di tengah lautan luas, sembari menunggu kapal jemputan, Edward datang menghampiri ku, dengan kesadaran penuhnya, dan menyampaikan pesan agar aku selalu menyayangi keluarga, "karena keluarga kita ada disini, karena keluarga kita berkorban, karena keluarga kita lupa akan kesehatan diri kita sendiri, karena keluarga kita harus lebih semangat" dia menyampaikan itu sambil menyeka air matanya, aku pun ikut terharu dengan apa yang di sampaikan Edward, aku paham betul lukanya tapi tidak dapat menyembuhkannya, "beginilah kehidupan, kita harus terus melangkah maju" lanjut ku. 

Setibanya kapal penjemputan, kami pun berpelukan sambil mencoba menenangkan Edward yang masih emosional atas peristiwa yang dialaminya, lalu aku langsung naik ke kapal dan meninggalkan perusahaan tengah lautan itu, perjalanan yang akan ku tempuh nanti kurang lebih enam jam.

 Sesampai di kamar kapal, aku berdampingan dengan seorang junior ku yang masih muda, dia disebelah kiri aku disebelah kanan kamar, aku jarang melihatnya, maklum saja karena kami berbeda devisi, namanya Iron dia merupakan asisten teknisi mesin di perusahaan, aku kagum padanya karena masih sangat muda tapi sudah punya jabatan yang cukup tinggi, "kalau aku di devisi operasi tambang" sambung ku. 

Kekaguman ku pada Iron tidak sampai disitu, dia bercerita bahwasanya dia bukanlah dari keluarga yang berada, jadi hanya dialah satu-satunya tulang punggung dikeluarganya, yang membiayai dua orang adiknya yang masih di bangku sekolah. Tapi ketika aku tanyakan soal kekasih dia hanya tersenyum sambil berkata "belum saatnya om, perempuan itu datang bawa duka saja om" dia ungkapkan sambil tertawa kecil, "kenapa bisa begitu" tanyaku heran.

 Iron sampaikan bahwa dia pernah dikecewakan oleh seorang wanita yang padahal tinggal seminggu lagi, dia sudah bulatkan niat untuk datang melamar kekasihnya itu, tapi takdir berkata lain, pacarnya yang selama ini yang dia tanggung biaya hidupnya, yang dia transfer setiap bulannya, bahkan dari makeup, baju luar hingga baju dalamnya berasal dari uang hasilnya bekerja selama ini, seakan menjadi sia-sia. 

Tidak heran kalau Iron berkata seperti itu, aku pun merasa kasihan, bahwa lelaki setulus dan setia seperti dia harus mendapatkan balasan seperti itu. Aku pun mulai menyamakan cerita Iron ini dengan kasus yang dialami Edward tadi, aku mulai berfikir "apakah mereka salah? Apakah wanita perlu belaian setiap harinya, ataukah lelaki tidak usah pergi bekerja saja, jika yang diinginkan wanita hanyalah raganya"? Aku mulai bingung dengan pertanyaan ku sendiri, tapi aku menyampaikan pesan pada Iron "carilah wanita yang bisa membuat kamu bahagia" hanya itu yang ku sampaikan, berharap hatinya lega, tapi tidak, dengan sinis Iron menjawab "mau cari dimana lagi om, perempuan yang bikin bahagia, adanya kita yang susah dibuatnya".

 Aku pun hanya tersenyum tipis, berusaha memahami sakit hatinya yang dalam, bagaimana tidak, dia sudah berpacaran lebih dari lima tahun dan dimanfaatkan oleh pacarnya, yang matre itu, dia diperas habis-habisan, seperti ditelanjangi dia, kerugian yang kira-kira sudah ratusan juta rupiah tidak menjadi apa-apa, malahan yang dia terima hanyalah "kuah kosong" yang tidak ada isinya, cerita itu kami akhiri dengan mencari kopi agar dia jangan terlalu memikirkan hal yang membuat diri stres.

 Di kapal penjemputan ini memang dikhususkan buat pekerja perusahaan, kapal dari perusahaan ini menyajikan banyak hal yang menarik, mulai dari makanan, minuman, bahkan sampai hiburan berupa karaoke disediakan semuanya disini dan bisa sepuasnya kami nikmati. Setibanya di pelabuhan Balikpapan, lalu kami semua turun dan berpisah satu sama lain, di sana ada yang langsung lanjut ke bandara karena bukan berasal dari Kalimantan, ada juga yang langsung dijemput oleh keluarganya. Kalau aku langsung menuju ke bandara karena keluarga kecilku tidak tinggal di sini. 

Maka tibalah, di bandar Udara Internasional Juanda, Surabaya. Aku sudah ditunggu oleh suami adikku, Yohan dan juga adik perempuanku Annisa, yang ikut serta menjemputku. Sebelum melanjutkan perjalananku aku harus singgah di Surabaya di rumah Annisa adikku yang tidak boleh aku langkahi, karena kalau aku langkahi, dia akan marah besar. Karena itu, aku ditodong hadiah pernikahan oleh adik perempuanku sebagai hukuman karena tidak bisa hadir di acara pernikahannya kala itu, akhirnya kami harus singgah di mall untuk mencari hadiah apa yang Annisa inginkan, kami berjalan sambil merangkul satu sama lain karena rasa rindu yang luar biasa. 

Sedikit cerita kebelakang, aku dan Annisa adalah saudara kandung yang tidak memiliki Ayah sejak Annisa di bangku sekolah dasar, secara tidak langsung aku yang mengantikan peran ayah untuk Annisa, jika ada apa-apa pasti yang di panggil Annisa adalah namaku, seolah aku sosok ayah dimatanya. 

Kami sudah dilatih menjadi orang-orang kuat, sejak kecil kami sudah mencari uang dengan berjualan sayuran hasil panen Ibu, bahkan kami pernah membajak sawah orang hanya untuk mendapatkan uang jajan, sedih rasanya mengingat masa-masa dulu, tapi senang juga melihat melihat Annisa yang sekarang yang tidak terasa sudah membangun rumah tangganya sendiri, dalam benakku "Ayah dari atas juga pasti bangga melihat Annisa". 

Setelah sekian lama mencari cari hadiah yang Annisa inginkan akhirnya ketemu teryata Annisa hanya mau membeli kulkas dua pintu, "keliling mall hanya mau cari kulkas toh, kirain mau beli perhiasan" bisikku pada Yohan suaminya, karena aku tidak melihat satupun perhiasan dipakainya, padahal setiap telpon yang selalu Annisa inginkan hanya kalung emas, "mungkin dia sedang tidak ingin pakai perhiasan pikir ku".

 Annisa punya usaha rumah makan, kulkas miliknya hanya satu pintu yang sudah tidak muat untuk menyimpan bahan-bahan masakan tentunya butuh lemari es yang lebih besar, maka itu dia harus membelinya, "mumpung ada kakak disini, aku porotin" katanya sambil tertawa.
Bersambung....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun