Mohon tunggu...
plur retknow
plur retknow Mohon Tunggu... Guru - menulis dengan hati

Cogito ergo sum (aku berfikir aku ada) / Rene Descrates

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pawon Simbok

25 Maret 2022   11:15 Diperbarui: 31 Maret 2022   07:03 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku masih piker panjang. Pulang. Hanya 1 minggu. Apa yang bisa kulakukan disana selama 1 minggu? Aku hanya berdiam diri sepanjang hari sampai menginjak hari ke-3. Berbagai konsep tradisional dan autentik rumah aku coba setting untuk restoran. Berbagai ide aku coba tuangkan dan hasilnya nihil. Biasa saja. Aku paham, orang-orang seperti bosku tidak mau yang biasa saja. Harus yang tidak biasa.

Di hari ke-4, aku memutuskan untuk ‘pulang.’

Istriku yang tadinya diam-diam saja keheranan. Keputusanku untuk pulang sangat mendadak. Tapi ia hanya tersenyum singkat dan menyiapkan perlengkapanku untuk pulang. Kebetulan anak-anak libur semester. Mereka bisa menemaniku menyetir sampai kampung halaman. Istriku pun dengan sennag hati ikut serta.

Sesampai di ‘rumah’, ibu menyambutku dengan sukacita. Semua makanan disiapkan. Mulai dari sambal bajak kesukaan kami sampai sayur lodeh yang menjadi cirri khas masakan ibu. Ciri khasnya yang tidak sama dengan lodeh-lodeh buatan orang lain. Kental, gurih, bercitarasa istimewa dengan uleg an tempe masam. Aku tiba-tiba tercengang. Ibu aku peluk sesaat. Istriku tersenyum lebar saat aku mengungkapkan ingin membuka warung makan sederhana di kota kecil dekat kampung ibu dengan menu utama ‘sayur lodeh’. Ibu bahagia sekaligus bersedih karena aku hanya akan memantaunya dari jauh.

Siang hari. Saat semua masih istirahat siang, aku rebahan di kursi ruang tamu. Tiba-tiba seseorang memijit-mijit kaki ku. Aku mencium tangan keriputnya saat sadar ada Lik Siti sedang membawakanku semangkuk sayur ikan sungai kesukaanku. Aku dipaksanya makan, sambil tiap suap mejawab pertanyaan-pertanyaannya yang kuanggap lugu dan menyenangkan untuk dibahasas. Seputar kabar di kota.

“Kasihan ibumu, Sabda. Yang dinantikannya Cuma kamu. Anak semata wayangnya. Ibumu pingin kamu disini dan meneruskan usaha Bapakmu. Sayang, usaha itu hanya dikelola ponakan-ponakannya. Coba kamu ada.”

Aku menghela nafas panjang. Warung makan Bapak dengan menu khas Ayam Ungkep bumbu khas keluarga memang masih ada. Diteruskan keponakan-keponakannya. Aku malah memilih merantau. Kami berdialog sampai makanku berakhir. Lalu aku puny aide. Sepertinya au akan mengajak Lik Siti, yang dulu ikut mengasuhku saat kecil ke suatu tempat. Tempat yang bisa sedikit banyak membantuku menghilangkan stress memikirkan konsep pekerjaan yang merongrong jiwaku saat ini. Pasar desa. Lik Siti mengomel tidak jelas saat memasuki pasar yang di sing hari memang sangat sepi. Langkahku tidak menyusuri deretan kios di pasar yang sepi, tapi ke arah belakang pasar. Tempat Lik Sardi yang dulu sering ke rumah simbok mengantar kelapa. Sudah 15 tahun ia membuka warung kopi di pasar bersama istrinya. WArung kopi yang hanya satu-satunya tapi adalah salah satu tempat paling ramai di area pasar. Lik Sardi memelukku erat saat aku memasuki warung sederhananya. Warung kecil dengan bangku kayu panjang mengelilingi tungku kopi dari tanah. Disinilah kabarnya seluruh penghuni pasar menikmati istirahatnya sambil menghabiskan sebatang rokok atau hanya sekedar berbincang sambil minum secangkir kopi. Lik Sardi adalah penyambung lidah pembicaraan terbaik di kampungku. Melaluinya, orang-orang tahu berbagai berita up to date seputar ekonomi, perdagangan, bahkan politik negeri ini. Lik Sardi juga punya otak cemerlang dengan ide –ide brilliant nya yang membuat orang-orang betah ngobrol dengannya. Ia tidak hanya menjual kopinya, tapi juga menjual pembicaraan berbobot yang dikemas secara sederhana dan pas untuk orang-orang menengah ke bawah yang singgah ke pasar.

“Warung kopi ini seperti rumah kedua orang-orang, Le. Yang dibutuhkan bukan racikan kopi dengan suhu yang pas dan takaran kopi yang benar, tapi disaat mereka minum kopi, mereka seakan ada di rumah. Menyilangkan kaki dengan bebas sambil merokok, lalu bisa bercerita apapun yang mereka ingin ceritakan. TAnpa rasa canggung. Saya belajar semuanya dari ‘pawon’ simbok mu. Simbokmu adalah guru terbaik saya.”

Aku terdiam. Tiba-tiba muncul ide cemerlangku. Aku memeluk Lik Sardi sambil mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Lik Sardi hanya ternganga-nganga melepasku pulang sambil kuselipkan beberapa lembar uang di sakunya. Lik Siti pun kebingungan saat kuajak pulang buru-buru.

Sore ini aku langsung menuju pawon simbok. Letaknya di ujung belakang rumah. Ibu sudah jarang  menggunakannya, kecuali ada acara selamatan leluhur dan harus masak besar. Pawon simbok adalah hanya sebuah ruangan sederhana dengan tungku dari tanah memanjang di tengah ruangan. Samping kirinya sebuah para-para tempat gerabah tanah warisan simbok digantung dari batang-batang bamboo di tataki teriplek tebal. Bawahnya tumpukan kayu bakar yang juga dialasi balokan kayu persegi panjang. Seemntara itu di samping kanannya adalah gentong air dari tanah liat tempat menampung air bersih. Semua yang berada di sana identik dengan warna jelaga hitam-hitam berbau sisa pembakaran. Pojokan dekat pintu yang menghubungkan pawon simbok dengan ruang tengah atau dapur bersih ibu adalah sebuah lincak (kursi panjang dari bambu) tempat kami biasa makan dan duduk-duduk. Aku duduk disana sambil membayangkan akan merenovasi pawon ini menjadi tempat paling menarik di project restoranku nanti tanpa mengubah detail apapun darinya.

Semalaman aku berkutat dengan angan-angan merenovasi pawon simbok. Istri dan anak-anakku membantu membuat sketsa dan berjanji akan membantuku sebisanya. Esok paginya, bersama Kang Kurdi tetangga sebelah rumahku, putra Lik Siti yang punya tubuh seperti gladiator, aku mulai merenovasi dapur. Istriku membersihkan gerabah tanah, anak-anak membersihkan ruangan dan mengecat dinding anyaman bamboo dengan cat coklat muda biar terlihat alami. Sementara Kang Kurdi aku minta memindahkan barang-barang besar keluar dulu sambil menunggu dimasukkan kembali ke pawon kalau sudah rapi. HAri menjelang sore ketika kami semua menghela nafas lega melihat pawon simbok menjadi menarik dan bersih. Kang Kurdi bahkan sempat membuat jalanan dari pawon keluar halaman dengan membuat cerukan berbelok diisi batuyang dicat warna putih. Benar-benar unik dan menarik. Istriku mengecat besek-besek bamboo tempat bumbu dengan warna-warna berbeda setiap beseknya untuk membedakan fungsi dan apa yang ada di dalamnya. Si bungsu memotret pawon dari segala penjuru lalu memberitahukan hasilnya padaku. Kami semua bernafas lega dan mengakhiri pekerjaan hari ini dengan minumteh dan makan bersama seluruh keluargga beserta keluarga Lik Siti dang Kang Kurdi di pawon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun