Mohon tunggu...
plur retknow
plur retknow Mohon Tunggu... Guru - menulis dengan hati

Cogito ergo sum (aku berfikir aku ada) / Rene Descrates

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pawon Simbok

25 Maret 2022   11:15 Diperbarui: 31 Maret 2022   07:03 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

PAWON SIMBOK

Sebuah tempat. Aku merasakan keharmonisan kehidupan di sana. Simbok (Nenek) ibunya ibuku masih terbayang dengan jelas di benakku berada disana hampir seharian, berkutat dengan segala sesuatu di dalamnya sambil membangun romantisme pergaulan dengan orang-orang terdekat. Pawon. Istilah sekarang adalah dapur. Dapur yang dahulu etikanya ada di bagian belakang rumah. Memunculkan istilah orang-orang belakang untuk menyebut ibu-ibu rumah tangga di masa lampau. Dapur yang sekarang beralih fungsi menjadi salah satu prestige bagi pemiliknya. Letaknya tidak lagi ada di belakang, bahkan di era modern, letaknya bersampingan dengan ruang tamu. Di desain menarik dengan gadget modern serba canggih, elektrik, bukan lagi manual. Bersih, rapi, tanpa noda-noda asap dan bau-bauan wangi. Tapi aku hidup bersandingan dengan pawon simbok setiap hari. HAmpir separuh umurku melihat situasi pawon yang sederhana, sewajarnya dapur di desa dengan segala fungsi. Bukan hanya tempat meracik menu makanan, menghasilkan raza lezat masakan-masakan yang di buat tangan-tangan professional, bukan komersial untuk meracik menu-menu untuk diperjual belikan, melainkan sebuah tempat sakral untuk orang-orang terdekat.

Setiap hari di masa kecilku, bangun tidur di pawon, aku melihat simbok sudah repot menyiapkan semua kebutuhan orang rumah. Hari masih gelap, simbok sudah di dapur menyalakan api tungku dengan susah payah, meniup api yang belum menyala dengan mata memicing akibat asap dari api yang meyala kecil di daun kelapa kering untuk menyalakan api di kayu bakar, lalu memasukkan pelan-pelan kayu-kayu bakar ketika api mulai menyala, menjerang panci untuk  merebus air, menyeduh kopi dan teh, kemudian dilanjutkan dengan aktivitas lainya, seperti memotong-motong sayuran dan mengupas bawang, diselingi dengan bolak-balik ke tungku memasukkan kayu bakar. Beberapa waktu kemudian, biasanya masakan yang sudah matang ditaruh di sebuah meja kayu di pawon itu juga, menunggu dingin baru ditutup dengan tudung saji. Masakan-masakan sederhana yang saat ini sangat kurindukan. Sekadar nasi putih dengan sayur rebus, sambal, tempe goring dan sayur kemarin yang sudah tanpa kuah. Hari semakin siang, ketika beberapa kali ada tetangga yang datang. Kang Sardi yang seminggu 3 kali mengantar butiran-butiran kelapa. Kemudian ia dan simbok berbincang lama sekali tentang berbagai topik menarik berakhir dengan bungkusan lauk pauk untuk dibawa Kang SArdi pulang disertai doa-doa panjang dari simbok. Tidak ada kecanggungan di pawon. Semua orang terdekat jarang sekali ke rumah duduk di ruang tamu. Mereka akan langsung ke pawon. Mereka yang dianggap keluarga, meski hanya tetangga dekat rumah atau orang-orang yang sering datang selalu menuju pawon. Mereka menganggap pawon adalah lokasi paling ramah untuk sekadar berbincang atau berbagi makanan. Dan simbok selalu saja punya cerita setiap kali ada yang datang ke pawon. Tidak hanya memasak, pawon adalah tempat menjalin silaturahmi antar manusia dan tempat paling nyaman untuk bertukar cerita. Biasanya siapapun yang datang, simbok terbiasa menyeduhkan minuman kesukaan mereka. Tanpa ada list favorit orang-orang terdekat, simbok sudah hafal betul minuman kesukaan mereka. Kemudian, yang datang biasanya tidak hanya tangan kosong. Ada saja yang dibawa. Misalnya Lek Mirah, tetangga dekat rumah yang suka membawakan cabe rawit dari kebun depan rumahnya untuk simbok. Kemudian simbok dan lek Mirah akan berbagi cerita seputar kebun, cabe, bahkan cerita keluarga Lek Mirah di hari itu pun menjadi topik menarik. Simbok bukan orang yang hanya puas diberi sesuatu oleh orang. Ia akan mengganti cabe Lek Mirah dengan sayur buatannya, atau makanan kecil yang dibuat. Lek Mirah biasanya menolak dengan halus, disusul omelan simbok yang tak rela pemberiannya ditolak. Begitulah romantisme dibangun. Di pawon, terjadi situasi yang membuatku saat ini sangat merindukannya. Kesederhanannya, fungsi kekeluargaannya, kelincahan simbok yang tetap bersemangat menyiapkan segala sesuatu.

              “Aku mau pulang.”

Ucapku pada istriku. Istriku manatapku lama. Heran dengan ucapanku yang tiba-tiba. Kami hidup di kota besar. Aku dengan segala kesibukanku bekerja begitupun juga dengan istriku. Dapur menjadi tempatku bekerja. Menjadi chef di hot kitchen sebuah restoran tradisional ternama. Passion yang kuperoleh otodidak dan akhirnya kuimbangi dengan profesianalisme teknik-teknik memasak di sekolah tata boga di ibukota. Hampir 10 tahun aku tidak pulang. Setiap lebaran, aku memboyong keluarga dari kampong halaman ke rumah ini. Mereka kuajak liburan disini sambil tidak bisa meninggalkan pekerjaanku. Istriku terkadang geleng-geleng kepala melihat kerja kerasku. Tapi memang itulah targetku. Menyekolahkan anak-anak sampai jenjang tertinggi dengan segala seuatu yang baik, meski kami bukan keluarga yang kaya raya. Aku ingin putra-putraku menjadi orang yang tidak kekurangan dan selalu mendapatkan yang terbaik. Itulah cita-citaku di masa itu sampai tercapai saat ini. Aku hanya pulang beberapa kali. Ketika ibu sakit, simbok sakit, simbok meninggal, dan menjemput ibu untuk aku ajak tinggal di rumah ini karena usia beliau yang sudah renta. Ibu yang awalnya keberatan tapi akhirnya menyerah karena hanya aku anak satu-satunya beliau. Sementara istriku lahir dan besar di bawah asuhan bibinya yatim piatu sejak kecil di kota kecil tak jauh dari kampung halamanku. Jadi sangat dekat dengan keluarga kecilku yang tinggal ibuku seorang.

Tiba-tiba malam itu aku terbayang sesuatu. Saat ibu menemaniku di hari libur sorenya sambil minum teh di taman kecil teras rumah.

“Ibu pengen pulang sebentar, Sab. Ibu kangen rumah.”
Aku tersenyum tulus. Mengelus pundaknya dan mulai lemah karena usia.

“Tunggu Sabda libur, ya Bu. Nanti kita pulang.”

Ibu menghela nafas panjang.

“Ibu pulang bareng si Asih saja. Kampungnya kan sebelahan dengan kampung kita. Naik bis.”

Aku membujuknya dengan halus bahwa bulan depan aku akan ambil cuti. Si Asih yang bantu-bantu di rumah lebaran ini memang akan mudik seperti biasanya. Tapi lebaran bagiku adalah momen paling sibuk. Paling menyita waktu. Seiring dengan mudiknya para ART restoran akan kebanjiran orderan untuk open house ke rumah-rumah mewah guna mengumpulkan keluarga dan relasi mereka. Terkadang kami kewalahan menerima orderan untuk finedining ke rumah-rumah mewah petinggi-petinggi Negara. Dapat dipastikan aku tidak bisa cuti. Usai hari raya biasanya bisa kulakukan. Untuk itu aku berjanji pada ibuku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun