Dalam bagian ketiga nanti, Spinoza akan mengadili di hadapan akal budi, apakah warta kenabian itu secara khusus hanya ada pada orang-orang Ibrani saja, ataukah gejala ini umum bagi semua bangsa? Hal ini akan bersentuhan langsung dengan panggilan orang-orang Israel.
Â
Bab tiga: Menggugat Panggilan Orang IbraniÂ
Kebahagiaan dan kesejahteraan setiap orang secara khusus ada dalam "mengalami apa yang baik" dan bukan pada kesombongannya sendiri. Seseorang disebut bahagia dan sejahtera apabila ia tidak menyingkirkan orang lain demi kepentingannya sendiri. Orang yang merasa dirinya lebih terberkati, sementara orang lain tidak terberkati, sebenarnya mengabaikan kebahagiaan sejati. Pada kenyataannya, kebahagiaan semacam ini amat kekanak-kanakan dan serakah.
       Hal yang sama terjadi pula ketika seseorang menyebut diri bahagia ketika dirinya bijaksana dan memiliki pengetahuan tentang kebenaran. Namun dalam kenyataannya, ia tidak lebih bijaksana dari orang lain dalam segala hal. Sebaliknya, kesadaran bahwa orang lain tidak sebijaksana dirinya tidak akan menambah kebijaksanaan maupun kebahagiaannya.
       Apabila Israel mengkalim diri sebagai bangsa terpilih, hal ini bisa terjadi karena pengaruh Musa sebagai pemimpin mereka. Musa memperkenalkan suatu agama dimana orang-orang bisa melaksanakan tugas sebagai ibadah dan bukan atas dasar ketakutan. Kemudian, ia memberikan kepada mereka pengharapan, seperangkat "Hukum Allah", dan banyak janji yang katanya akan terpenuhi di masa depan.
Â
Bab empat: Hukum AllahÂ
       Hukum verbal, bila diabstraksikan, bisa berarti seperangkat aturan bertindak seseorang atau sekelompok orang. Aturan-aturan itu tergantung pada kepastian alamiah maupun oleh penetapan manusia. Suatu hukum yang tergantung pada kepastian alamiah merupakan hukum yang diturunkan dari hukum-hukum alam. Sedangkan, hukum berdasarkan penetapan manusiawi (bisa disebut perintah) diperoleh dari kemauan setiap individu untuk tunduk padanya sehingga semua orang bisa hidup dengan aman, rukun, atau alasan lain yang serupa.
       Hukum sebagai suatu tata aturan kehidupan dapat dibedakan menjadi hukum manusiawi (hukum yang menjamin kehidupan dalam suatu negara) dan hukum ilahi (yang mendasarkan diri pada kebaikan tertinggi, kebenaran yang paling pasti, dan cinta kasih).
 Spinoza merumuskan ciri-ciri hukum ilahi sebagai berikut: