Mohon tunggu...
Saepiudin Syarif
Saepiudin Syarif Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Ngayal Bebas dari Polemik Naturalisasi Atlet Sepak Bola Nasional

26 Januari 2022   10:44 Diperbarui: 26 Januari 2022   10:46 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika Kemendikbudristek mempunyai program LPDP yang memberikan beasiswa S2 dan biaya hidup di perguruan tinggi di luar negeri selama rata-rata dua tahun, misalnya satu penerima menghabiskan dana sebesar 2 milyar. Tiap tahun negara mengirimkan ratusan hingga ribuan penerima beasiswa LPDP yang jumlah dananya cukup besar.

Maka seandainya Kemenpora bisa membuat program serupa tapi tak sama berupa pencetakan anak-anak unggul dari pasangan-pasangan unggul (baik sesama WNI atau yang kawin campur). 

Mekanismenya bisa digodok lebih lanjut dengan menggandeng Kementerian Kesehatan dan lembaga-lembaga lain. Tapi intinya ada proses "perjodohan" dari pemuda dan pemudi Indonesia yang unggul dengan mencarikan pemuda pemudi dari mancanegara yang juga unggul untuk dikenalkan, didekatkan, dan jika cocok semua persyaratan maka dinikahkan dengan subsidi negara (memberi pekerjaan pada kedua orangtuanya).

Salah satu persyaratannya dengan perjanjian anak-anak keturunannya menjadi "anak negara", bukan diambil negara tapi bersama negara (lembaga yang ditunjuk) memberikan pendidikan, pengawasan, dan pengarahan sejak dini untuk menekuni bidang-bidang yang menjadi potensi keunggulannya. Tentu saja ini hanya salah satu cara dan bukan berarti semua atlet harus blasteran.

Contoh kasus untuk mencari 11 pemain sepak bola timnas agar bisa juara dunia di tahun 2050 misalnya, maka Kemenpora bisa menjadi "biro jodoh" bagi 100 pemuda pemudi unggul yang siap dan bersedia kawin campur dengan pasangan yang juga unggul. 

Melalui serangkaian pemeriksaan gen dan kesehatan serta data dari semua kandidat maka akan bisa dipasangkan si A yang unggul di olah raga cocok dengan Si Z yang unggul dalam analisa. Maka ada kemungkinan anak keturunannya menjadi atlet yang pandai menganalisa permainan. 

Agar tidak jadi sekadar merekayasa manusia berdasarkan teknologi semata maka kebijakannya harus terbuka dan tetap ada pernikahan atas dasar persetujuan bersama mempelai. 

Semua kebijakan tetap dalam koridor peri kemanusiaan, hak asasi, budaya, dan agama. Hanya proses pencocokan pencarian profil pasangan berdasarkan data dan AI untuk menghasilkan anak-anak bangsa yang unggul di masa depan.

Jika proyek ini dilakukan satu dua tahun ini, maka di tahun 2045 akan ada anak-anak unggulan yang maksimal sudah berusia 21-22 tahun, di mana jika semua persiapan dan pembinaan kontinyu dilakukan kualitas anak-anak bangsa kita akan meningkat dan bertambah banyak tiap tahunnya. 

Selama prosesnya tidak menyalahi aturan agama, budaya, dan hak asasi manusia, maka teknologi bisa dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan sumber daya unggulan suatu bangsa.

Jika kita melihat di film-film bahkan ada yang lebih ekstrim lagi dalam merekayasa manusia dan bukan tidak mungkin di negara lain sudah ada yang melaksanakan perekayasaan sumber daya manusianya secara diam-diam. Tentu saja sebagai negara yang masih menjunjung nilai agama dan budaya, di Indonesia perekayasaan segala hal tidak bisa semena-mena. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun