Mohon tunggu...
Pius Rengka
Pius Rengka Mohon Tunggu... Pemulung Kata -

Artikel kebudayaan, politik, sosial, budaya, sastra dan olahraga. Facebook:piusrengka. Surel:piusrengka@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Victor Jos Dikepung Rezim Jaringan Lama, "Human Trafficking", Holocaust Versi NTT

3 Januari 2019   17:58 Diperbarui: 3 Januari 2019   19:10 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Derita Manusia dan Duhka Kemanusiaan. Sumber Gambar:sofisrael.com

Oleh Pius Rengka

Airmata keluarga korban Human Trafficking, sungguh mati,  hingga tulisan ini dibuat di Jalan Antarnusa, Liliba, Oebobo, Kota Kupang, Rabu, 7 November 2018, belum kering nian.

Gelombang arus mayat masuk ke NTT, bagai air bah sejarah tiap musim mati di daerah ini. Tangis pilu keluarga korban, semacam olokan.  Dan, terasa seperti sindiran nan getir. Rakyat tertindas, lalu mati sia-sia. Siapa yang menolong?

Kisah pilu nan tragika para mantan TKI yang dirajam nasib kembara, disiksa melampaui keji sejarah bangsa. Sepertinya, kaum miskin pencari kerja di daerah ini merajut tikar sejarah derita nan lama sebagai takdir terberi (given). Mereka yakin, miskin itu terberi adanya.

Sudah puluhan tahun, waktu dihitung telah berlalu. Mereka mengalami tragika.  Nasib miskin tak kunjung ada ujung. Mereka pergi ke negeri rantau, lantaran didera derita miskin yang melilit sejarah hidup dan keluarganya di kampung halaman masing-masing. Memang, ada pembangunan berlangsung hilir mudik di sekitar mereka. Tetapi tak nyambung.

Pilih bupati dan gubernur telah berulang, tetapi nasib rakyat tak beranjak jauh. Begitu-begitu saja, dari satu masa ke masa berikutnya, dan selalu begitu seterusnya. Takdir.

Sementara janji elok nan manis mendapat rejeki di negeri rantau yang dilantunkan para agen dan cecunguknya datang berulang bagai cahaya bayang-bayang.  Imajinasi surga kemakmuran di hari nanti pun diduga akan segera punah sudah.

Miskin melarat di kampungnya di NTT, adalah realitas tak teratasi, dihadapkan janji muluk di mulut para agen dan para cecungguk kaki tangannya. Lalu rakyat pergi dengan suka ria sambil  menggendong harapan sukses menantinya.  Dia mendulang rejeki sebagaimana penggalan doa Bapa Kami yang diucap nyaris setiap hari, dan diulang para agen sesantun mungkin. Mereka larut, tergoda.

Mereka pun pergi dengan jalur masuk (Timur dan Barat) dengan jemputan para agen nyaris serba misterius. Keluarga yang ditinggal di kampung angkat tangan melambai-lambai sambil mengelus pelan doa harapan nan tak pasti. Khabar nun jauh datang menerpa pintu  gubuk buruk di kampung. Mama Mariance telah pulang.

Tercatat kisah Mariance. Ia pergi resmi. Sebuah Perseroan Terbatas (PT) berinisial MMP, berbadan hukum jelas. PT MMP dikelola pemburu rente. Merekrut tenaga kerja NTT. Jaringan PT MMP ini pun berkaki tangan jauh di NTT. Tetapi apa pasal.

Mariance  disiksa, disetrika plat baja panas, ditelanjangi saat sambil bekerja. Buah dadanya disayat-sayat. Lidah diiris gunting majal saat dia hendak berkata-kata. Kuku jemari dipotong paksa hingga daging jemari tangannya mendaras darah segar meleleh menghujani lantai tempatnya bekerja. Lubang kupingnya ditusuk paksa berkali-kali dengan alasan demi sempurnanya alat dengar.  Batang hidung patah, remuk dan bibir pecah setelah dibilas lombok ulekan. Sadis tak terperi. Majikan masih bebas, agen dan jaringannya pun masih tertawa terkekeh-kekeh setelah hasil bisnis manusia sukses. Kekejaman dikenalkan majikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun