Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Satpam Rumah Sakit Cinta Kasih Tzu Chi Jakarta

9 Desember 2019   21:08 Diperbarui: 18 Desember 2019   00:34 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku merasa heran. Namun sesaat setelahnya aku ditegur oleh seorang satpam, Mas Agung, "Syung, air di sini kagak boleh dibuang sembarangan. Sebaiknya disirami ke tanaman."

Aku termenung lama mendengar kebijaksanaan satpam ini. Ada beberapa fenomena yang membuatku menyadari sesuatu: makanan serba vegetarian, tidak boleh membunuh nyamuk, tulisan-tulisan persuasif di kamar mandi tentang penghematan air dan tisu serta seorang dokter yang selalu memberi makan kucing di area rumah sakit. Rupa-rupanya, rumah sakit ini bukan hanya lembaga kesehatan bagi orang sakit, melainkan mengakar pada sebuah spiiritualitas budhisme. Poin yang menarik adalah para satpam ini adalah orang non-budhis.

The True Volunteer

Buddha Tzu Chi adalah oase dalam peziarahan orang-orang malang dalam padang yang tandus. Setiap tindakan kecil disulap menjadi berkat bagi orang lain. Satu kutipan dari pernyataan Master Chen pendiri Tzu Chi adalah "setiap orang memiliki cinta kasih. Dan cinta kasih itu perlu dibangkitkan".

Ada tiga komponen penting dalam institusi ini; relawan, donasi dan para penerima bantuan. Dan kami berempat masuk dalam kelompok relawan. Ibu Yuli seorang public relation di Kantor Pusat sewaktu memperkenalkan lembaga Tzu Chi berkali-kali menegaskan, tindakan amal kasih sebetulnya melatih batin para relawan sendiri. Ini adalah formasi.

Para relawan kebanyakan adalah konglomerat, yang terinspirasi untuk mau menempa diri dengan berjalan, menemani dan bersumbangsih bagi orang-orang kecil. Mereka membantu orang-orang miskin, dan dari mereka yang dibantu dituntut pula untuk tidak hanya membuka tangan dan menerima, melainkan ada saat di mana mereka perlu membalik telapak tangan untuk memberi. Mungkin benar kata orang, "cinta kasih itu seperti virus, dapat menyebar jika antibodi keegoan manusia diperlemah berkat olah kemanusiaan".

Kalau boleh jujur, hari di mana aku bekerja bersama para satpam lebih banyak daripada bekerja bersama para relawan. Dalam artian, segala gambaran dan konsep mengenai kerelawanan adalah buah dari pergaulanku dengan para satpam. Dan bagiku pengalaman ini unik. Berbeda dengan para relawan yang mayoritas berdarah Cina, konglomerat--- mayoritasnya budhis. Para satpam adalah mikronya Indonesia, berbeda daerah pun agama---serta selalu cukup dengan apa yang dimiliki.  

Mereka tegar berdiri berjam-jam membukakan pintu bagi pasien, ramah sekaligus sabar mendengarkan dan melayani pasien yang bertanya-mengeluh mengenai biaya dan sakit yang diderita, melawan rasa ngantuk agar tetap terlihat tangguh dan terjaga, bahkan menawarkan tenaga untuk mendorong pasien yang memerlukan kursi roda. Tindakan sederhana mereka melampaui konsep seragam hitam mereka. Go beyond! Mereka mendaratkan cinta kasih secara sederhana, kini dan di sini.

Elegi Pintu Kaca

Aku hampir yakin bahwa bukan Monas atau Senayan. Bukan Gelora Bung Karno, Bundaran Hotel Indonesia atau Kota Tua. Bukan pula Masjid Istiqlal, Katedral apalagi Ancol. Namun pintu kaca rumah sakit itu.  Pintu di saat kaki melangkah masuk dan langsung menoleh ke samping kanan dan menjumpai sapaan ramah dari kolega seragam hitam. Pintu itu adalah sekolah keutamaan kala lutut harus tegar berdiri membukakan pintu bagi mereka yang hendak masuk-keluar; orang sakit, karyawan rumah sakit, dokter bahkan penjual kantin dan teknisi.

Tak pernah kujumpai seorang musuh di luar ataupun di dalam pintu itu. Pintu kaca membuatku kerasan hingga pengalaman duapuluh satu hari berganti menjadi perpanjangan rindu. Aku hanya menunggu kapan waktu menuntunku kembali ke sana. Bersekolah dengan orang-orang sederhana. Sekolah untuk melayani agar diri merasa cukup dan berlimpah keutamaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun