Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Jika Bumi sebagi Rumah dan Ibu Kita Bersama, tetapi Mengapa Ia Sering Menangis?

17 April 2020   15:32 Diperbarui: 17 April 2020   15:56 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bumi sebagai rumah dan ibu kita bersama kini sering menangis. Foto. Quora

Usiamu kini tak lagi muda bumiku. Sama seperti bebanmu yang juga sudah semakin sarat. Tak terbayang betapa berat engkau mengemban beban hingga acap kali menangis karena kita.

Tidak bisa disangkal, bumi sebagai rumah dan ibu kita bersama berarti ia harus dirawat dan dijaga dengan baik. Mengapa ia (bumi) sering menangis, pasti memiliki banyak alasan. Bumi menjadi tanda nyata bahwa kita membutuhkannya kini hingga nanti.

Lihatlah ia menangis berarti harus ada cara pula untuk/bagaimana menghentikannya menangis. Semestinya, mustahil jika tidak ada cara untuk ini.

Bumi menangis berarti pula ada sebab. Mungkin saja ia menangisi nasibnya yang saat ini mengalami masa-masa sulit. Tak ubah dengan menangis adalah cara terbaik dari bumi untuk mengadu tentang apa yang ia rasakan, walau sesungguhnya itu juga yang kita rasakan.

Panas yang tak biasa sering kali mendera hingga ia murka dan menciptakan jerami-jerami kering mudah tersulut api dan membuatmu terbatuk hingga menangis karena asap ketika musim kemarau tiba.

Ketika musim hujan tiba, lihatlah di beberapa tempat atau banyak tempat air tak tertampung alias meluber kemana-mana tak jarang pula membuat semua menjadi tidak baik-baik saja. Tajuk-tajuk sebagai penyerap telah kalah berdiri dengan gedung-gedung tinggi. Tengoklah ketika banjir datang, tak jarang terkadang ia membawa cerita baru yang tak kalah pilu mendera seisi rumah ini (bumi).

Semakin pongahnya kita sebagai manusia, tak ubah sebagai raja atas semua makhluk yang cenderung pula mendominasi lalu lupa harmoni membuat bumi semakin ironi dalam ketidakpastian dulu, kini dan mungkin nanti?.

Tanda-tanda bumi ini sakit pun sesungguhnya bukan barang baru. Sedari dulu bumi ini selalu menanti asa karena tangisnya bukan pula karena ia semakin tua renta tetapi menahan derita menanti kasih yang bisa menghidar kala tangisnya semakin menjadi.

Bumi tak pernah berdusta dengan bahasanya. Bumi pun terkadang (tidak/tak) kuat dengan semampunya menahan dan menanggung luka dan derita yang ia alami kini. Tetapi sesungguhnya ia tak kuasa bisa berteriak, ia hanya menangis dengan tangisan akan nasibnya kelak. Dengan bahasanya itu sesungguhnya sebagai tanda nyata dan memperlihatkan kepada kita bagaimana mencari cara.

Hutan, tanah dan air ini isi bumi bersama yang lainnya (semua makhluk) ingin selalu bernafas bahagia bukan tangis dan derita. Tetapi, mampukah kita membuat bumi ini tersenyum dengan cara-cara sederhana yang kita miliki? atau terus melihat bumi ini terus mengeluarkan deraian air mata yang tak kunjung henti? atau kita semakin menertawakan bumi yang kini sebagai rumah sekaligus ibu kita?

Tak ada kata terlambat untuk membuat bumi bisa terhibur dari tangis dan deritanya kini. Masih banyak kiranya cara-cara sederhana yang mampu, boleh dan dapat kita lakukan dengan tingkah polah kita sehari-hari. Terkadang kita terlalu konsumtif, abai dengan personal lingkungan termasuk seenaknya membuang sampah tidak pada tempatnya. Mengurangi penggunaan kantong plastik saat berbelanja dengan menggantinya dengan tas belanja, atau mengurangi membeli botol plastik dengan menggantinya dengan botol minuman yang bisa dipakai berulang kali dan masih banyak cara lainnya tidak terkecuali mengurangi penggunaan sedotan plastik dengan sedotan tradisional seperti bambu misalnya. Setidaknya itu cara-cara sederhana yang boleh dicoba dan dilakukan oleh siapa saja tanpa terkecuali dan tanpa memaksa pula.

Dengan cara-cara sederhana, setidaknya kita bisa ikut mengambil peran dan peduli dengan nasib bumi ini kini dan berharap hingga nanti boleh lestari. Nasib bumi dan nafas semua makhluk hidup tergantung bagaimana kita bertindak hari ini pula. Bila bumi ingin terus berlanjut bolehlah kiranya kita semuanya mengambil peran bukannya merengumpat atau menyalahkan bumi dan alam semesta. Berharap pula tidak ada lagi kata ini karena bencana alam atau semua ini karena salah alam/bumi ini. Bumi ini tidak pernah salah, tapi penghuninya yang salah tak lain manusia karena sikapnya yang terkadang pula terlalu serakah.  

Bumi tak meminta untuk dikasihani, tetapi setidaknya kita punya rasa yang tak kuasa melihat seringnya ia menangis bukan karena siapa tetapi karena ulah kita. Bila kita bisa menghibur dan menghentikan tangisannya. Dengan demikian pula setidaknya kita bisa berharap dengan usia bumi semakin menua dan tua renta ini masih asa untuk berlanjut dan kita semua boleh harmoni hingga nanti.

Petrus Kanisius-Yayasan Palung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun