"Aku merindukanmu..."
Dan itu selalu bisa membuka mata batinku untuk bisa membaca semua yang kau tulis di dinding hatiku.
Jemari rindu akan selalu bercerita tentang indahnya dunia. Sentuhan jemari, usap lembut dikening mengisyaratkan betapa hari akan terus berpihak pada cinta kita.
“Tunggu!”
Selalu itu yang aku katakan jika kau ingin bergegas berlalu dari hadapan. Karena aku tidak akan mampu berjalan tanpa sentuhan kasihmu.
Aku hanya mampu menyentuh bibirmu disaat aku ingin merasakan betapa lembutnya senyumanmu.
“Anggi....”
Tersekat bibir ini tiap menyebut namamu dalam tiap sujud doa-doaku.
Aku tak ingin senja ini muram tertatih menyeret langkah kakinya ke peraduan malam.
Kemanakah akan ku semayamkan sedikit resah. Aku ingin menepis tangis yang bergelayut di sudut mata. Sedemikian kusamnya wujud yang kita sandang. Salahkah aku bertanya tentang keadilan kepada Sang Maha?
"Dewa, semua adalah anugerah. Bersyukurlah karena Tuhan telah menghadirkan cinta di hati penyandang disabilitas seperti kita."
Mungkin itu yang ingin engkau ucapkan, saat aku merasakan ada dua bulir bening air yang menggenang di sudut matamu. Senja terus bergulir, terkapar dalam senyap. Tanpa kata, tanpa suara. Tapi ada cinta kita.
Ungkapan 'Cinta itu Buta' yang kerap diucapkan para pujangga mungkin ada benarnya. Karena aku hanya bisa merasakannya, tanpa bisa melihat seperti bagaimana parasmu dengan kedua bola mata yang memandang dunia hanyalah ruang yang dipenuhi jelaga.
Dan cinta pun tak bisa diungkapkan dengan kata-kata meski engkau merasakannya. Karena setiap kata yang meluncur dari bibirmu hanyalah abjad vocal yang terdiri dari 'a' dan 'u' saja.