Brick tertawa getir. "Beda kalau ada aku disini, Jo. Ayolah, apa kamu tidak mau bersenang-senang? Sambil mencari informasimu, kamu bisa semobil denganku mengendus para peretas itu."
Kedengarannya menarik. Walaupun ada sebagian hati ini yang melarang aku untuk mencoba melakukannya lagi, tapi 5 menit kemudian peti berisi perangkat penyambung merek AchieveTex telah terpampang pasrah di depanku. Brick bahkan pernah menyuruhku membakarnya setelah percobaan terakhir aku nyaris tersesat karena kehilangan pintu kembali. Tersesat artinya aku selamanya menjadi milik internet. Tubuhku memang masih di alam nyata, tetapi pikiranku tidak bisa lagi kembali.
Tutup peti terbuka. Kabel-kabel penghubung nomor satu dengan delay hanya beberapa nano detik dan box super modem masih terlihat mengkilap. Aku hanya perlu berbaring di atas sofa, menghubungkan dua kutub brain socket dengan kepalaku dan komputer, menghubungkan super modem dengan komputer, mengetikkan beberapa kode program dan wusss...aku akan langsung berada di dunia maya.
Sekarang segala sesuatunya telah siap. Aku mengetikkan beberapa baris program, menuju ke portal yang biasa ditinggalkan Brick untuk menerima pendaratan pikiranku. Sebelum menekan tombol enter, aku menahan napas sebentar. Tegang. Denyut jantungku terdengar jelas.
Pada percobaan terakhir  aku nyaris tersesat. Tapi kali ini ada Brick, semuanya akan baik-baik saja.
Setelah menurunkan ujung jari telunjuk ke tombol enter... aku merasa tubuhku seringan kapas dan dunia menjadi gelap!
...gelap...
...diakhiri dengan munculnya seberkas cahaya dari sebuah jendela di ujung lorong. Itu jendela alamat, artinya pendaratanku berjalan mulus. Aku pun berlari menghampiri jendela itu. Di luar sana hujan juga sedang mengguyur super town, tempat semua pikiran yang terhubung ke internet bertemu dan berinteraksi. Ah, masih ada taksi berseliweran. Artinya bisa menghemat waktu untuk perjalanan ke tempat Brick
Aku pun membuka kaca jendela dan melompat keluar.
Brakk!!
Aku mendarat dengan tidak sempurna di atas lantai papan. Sofa, meja belajar tua dan jendela yang menyambutku membuat memoriku berputar cepat. Mestinya aku tidak berada di kamar ini lagi. Aku berlari ke tepi jendela dan memandang purnama masih bersinar cerah dan hujan masih mengguyur jalan-jalan kota. Saat menarik laci meja belajar aku juga masih menemukan peri malam tergeletak tidur pulas di dalam laci. Benar. Aku tidak kemana-mana. Atau jangan-jangan aku sedang tersesat...