Mohon tunggu...
Bambang Wahyu
Bambang Wahyu Mohon Tunggu... Dosen - Suka musik blues, filsafat, dan karya sastra bermutu

The Dancing Wu Li Master

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Paradoks

5 Oktober 2021   13:46 Diperbarui: 5 Oktober 2021   13:49 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kita adalah sebuah paradoks. Selalu ada ruang ketidaksempurnaan dalam hidup atau relung inkonsistensi dalam diri. Walaupun mampu mengubah wajah dunia sekehendak hati, karena virus kecil kita bisa mati. Maka manusia adalah kesempurnaan sekaligus ketidaksempurnaan.

Punggawa Yunani kuno (Thales sampai Demokritos) memahami manusia sebagai bagian dari alam (a part of nature). Semesta dipresentasikan oleh kekuatan para dewa dan manusia adalah musuhnya. Maka muncul pelbagai tragedi (kisah mengharubiru) tentang perjuangan manusia meraih eksistensinya.

Adalah Protagoras dan Sokrates yang pertama kali melihat kekuatan para dewa merupakan kreasi pikiran manusia. Ini paradoks pertama dalam diri manusia. Mereka merekayasa, mencipta, mendesain satu kekuatan besar kemudian dijustifikasi secara mitis dan takluk di bawah kekuatannya

Ternyata manusia bukan melawan para dewa tapi melawan dirinya sendiri. Manusia melemahkan potensi diri dan menundukkannya di bawah superioritas para dewa. Protagoras kemudian mendeklarasikan manusia adalah ukuran semuanya (homo mensura).

Sokrates yang agung pun berteriak di pasar (agora) dan tempat keramaian polis Yunani. “Wahai manusia… kebenaran itu ada pada dirimu… Kenalilah dirimu maka kamu akan menemukan kebenaran!!”. Semua orang terhenyak dari tidur panjangnya tapi mereka tak tahu cara mengenali diri itu.

Plato, murid Sokrates berusaha menemukan cara. Ia menyusun struktur alam pikiran manusia serta bagaimana manusia merekayasa kekuatan para dewa. Ternyata alam pikir manusia dikondisikan oleh dua alam: alam fisik dan alam idea. 

Manusia telah memiliki bayangan dirinya di alam idea jauh sebelum dilahirkan. Dengan kelahirannya, manusia mempunyai tubuh (alam fisik) yang memenjara nilai (alam idea). 

Kata Plato, kita harus melepaskan keterbatasan fisik (tubuh) dan mengorientasikan diri pada alam idea yang abadi. Dan ini menjadi keutamaan (eudaimonia) hidup kita.

Alam idea bersifat metafisik. Aristoteles berusaha menariknya ke realitas empirik. Berbeda dengan gurunya (Plato), Aristoteles menyebutkan alam idea merupakan akumulasi pikiran manusia. 

Pikiran yang mengklasifikasi sensasi fenomena yang ditangkap panca indera. Rasa pedas yang dirasakan lidah masuk ke persepsi sensorik untuk mengidentifikasi rasa itu. Pikiran kemudian mencari padanan rasa pada kategori-kategori pikiran. Ternyata kita tidak harus mencarinya ke alam gaib tapi pada data sensorik dalam diri.

Aristoteles menyempitkan paradoks itu: bukan dengan realitas supra-empiris tapi dengan akumulasi pikiran kita sendiri. 

Pada pemikiran Abad Pertengahan, ada upaya mengembalikan paradoks manusia dengan kekuatan semesta ini tapi tidak direpresentasikan oleh dewa melainkan oleh Tuhan.

Ide ini sebenarnya bersumber dari pemikiran dualisme Plato yang dimistifikasi oleh Neo-Platonisme.

Walaupun Plato tidak menyebutkan Tuhan sebagai sommun bonum tapi pemikir selanjutnya menafsirkan pemikirannya ke arah teisme. Baru pada Aristoteles, alam idea dikonkritkan ke dalam pikiran manusia (abstraksi) yang menghasilkan konsep unmoveable mover (penggerak yang tidak bergerak).

Aristoteles juga menghindari dualisme Plato. Baginya ada “realitas antara” (reality in between) dari alam fisik ke alam metafisik, yaitu alam matematis. Tapi semuanya akumulasi pikiran manusia. Kemampuan abstraksi dapat memilah yang fisik, metafisik, dan mathesis sehingga manusia mampu memikirkan Tuhan.

Inilah alasan mengapa masyarakat muslim menerima pemikiran Plato dan Aristoteles serta mendamaikan proyeksi pikiran dengan wahyu Ilahi. Sampai-sampai menisbatkan gelar kepada Aristoteles sebagai “Guru Pertama” (al-muallim al-awwal). 

Al-Muallim al-Tsani adalah Ibnu Sina tapi pewaris pemikiran Aristoteles yang sebenarnya adalah seorang Qadi agung yang menulis kitab fiqih Al-Bidayat al-Mujtahid, yaitu Ibnu Rusyd. Adapun pemikiran Abad Pertengahan cenderung mensubordinat pikiran di bawah wahyu.

Paradoks manusia bersumber dari state of nature-nya sendiri. Sebuah keinginan luhur untuk memahami diri berangkat dari ambiguitas kelebihan dan kekurangannya. Paradoks ini adalah sebuah pergulatan dengan diri, dengan identitasnya.

Immanuel Kant, filsuf dari kota kecil Konisberg pada Abad 14 (Abad Pencerahan atau Aufklaurung) ingin menggugah kesadaran manusia untuk menguasai alam. Untuk menguasai alam, metode berpikir manusia harus kembali mendulang Plato dan Aristoteles. Plato diwakili oleh rasionalisme Rene Descartes dan Aristoteles direpresentasi oleh empirisme David Hume. 

Salah satu kelebihan Kant adalah mampu mensintesiskan dua kubu ekstrem ini: pandangan matematis Descartes tentang manusia dan pemikiran Hume yang empiris aposteriori.

Sapere Aude… !!!” (berani lah berpikir sendiri), kata Kant. 

Pergulatannya bukan dengan diri tapi mencari ikhtiar menguasai semesta (kita diingatkan dengan teori Immanuel Kant dan Laplace tentang terbentuknya tata surya dengan teori kabut atau nebula!). Kesadaran murni manusia tentang yang gaib, yang noumena dapat dilihat dari pengalaman sehari-hari. 

Paradoks pemikiran Descartes dan Hume disatukan dalam skema makro paradoksal semesta Newtonian. Dan kita harus mengakui bahwa Immanuel Kant lah yang mengisahkan secara teliti the great chain of paradox itu.

Kant menerima asumsi Descartes bahwa kesadaran matematis kita mampu mengatasi benda-benda (transendensi). Bayangkan sebuah lingkaran..! ternyata pikiran kita mampu mengabstraksikannya tanpa melihat benda bulat… atau menambahkan angka fibonacci tanpa menggunakan sempoa. Tapi ketika semakin abstrak, hitungan itu pun semakin tidak terpola, acak, bahkan menghindar dari pola penghitungan.

Kesadaran matematis kita yang a priori (tanpa melihat benda) tidak mampu menembus kerumitan hitungan semesta terutama berkaitan dengan realitas yang tak mampu ditangkap kesadaran murni itu (noumena istilah Kant yang dibedakan dengan phenomena): bagaimana oksigen mengalir pada permukaan daun atau bagaimana terbentuknya tekstur relief pada kelopak bunga….

Descartes mengembalikan ide Platonian tentang alam idea. Matematika dan berpikir mathesis selalu mengangkat benda konkrit ke alam idea. Plato telah mengingatkan banyak orang dengan slogan besar di pintu masuk Akademia: “Dilarang masuk bagi yang tidak memahami matematika…”. Ternyata tujuannya untuk memudahkan kita memahami alam idea atau yang metafisik.

Bagi Descartes, kesadaran diri terdiri dari rangkaian: kesadaran (res cogitans), yang disadari (res extensa), dan ide bawaan yang menjamin kesadaran itu (inneate ideas). Kesadaran diri berkorelasi secara representatif dengan yang lain, termasuk alam gaib. Ide-ide bawaan merupakan representasi alam gaib, yang salah satunya ide Tuhan (Evil Genius).

Pada Descartes, terbentuk paradoks baru dalam cara pikir manusia. Semula berpikir adalah substansi (terpatri dalam diri) ternyata berkorelasi dengan sesuatu di luar diri. Implikasinya hubungan pikiran/kesadaran, benda, dan Evil Genius adalah hubungan korelatif-representasional. 

Pikiran atau kesadaran mampu memutuskan mata rantai dengan benda-benda (ingat kata Sartre bahwa kesadaran itu mengada dan meniada). Dengan demikian, kesadaran yang semula tunduk oleh hukum alam sekarang otonom.

Implikasinya, dengan putusnya mata rantai ini maka kesadaran diri tidak sempurna. Ia selalu mengupayakan cara mengonstitusi kekurangannya. Karena sifatnya terbatas, ia membutuhkan jaminan eksistensinya dari the Perfect Being yang tak berbatas. Descartes menginspirasi Kant bahwa paradoks itu semakin menyempit. Semula tentang manusia dan alam, manusia dan dewa, manusia dan pikirannya sendiri dan sekarang manusia dengan keterbatasan pikirannya.

Bagi Descartes, cogito (aku berpikir) sendiri yang membatasi manusia. Manakala cogito berhenti maka subyektivitas manusia keluar darinya. Untuk memanggilnya kembali, manusia membutuhkan campur tangan Tuhan (the Perfect Being/Evil Genius) sebagai jaminannya (sama halnya manakala kegalauan mendominasi diri… berbagai upaya hedonis sudah dilakukan dan akhirnya membasuh muka dengan air wudlu, shalat sunat 2 rakaat, dan menemukan ketenangan jiwa).

Dari situasi ini, Descartes telah menampilkan paradoks universal dalam pikiran manusia. Ternyata manusia adalah sebuah “retakan semesta”, ada dimensi ketidaksempurnaan dalam dirinya (the lackness subject) sehingga kapasitas diri tidak bisa merangkum suatu pemahaman dengan utuh. Kant membayangkan akumulasi pikiran tidak sebatas data matematis/rasio murni (a priori) atau pengalaman empiris (aposteriori).

Malah kesadaran diri bersandar pada persepsi inderawi atas pengalaman empiris: Kita baru bisa membayangkan sebuah lingkaran karena pernah melihat benda bulat sebelumnya. Dengan kata lain, cogito merupakan aktivitas yang mensintesa pelbagai pengalaman. 

Jika disebutkan ada realitas obyektif (realitas yang berdiri sendiri tanpa intervensi manusia) maka realitas itu bukan di luar diri melainkan komposisi artifisial yang dikonstitusi manusia. 

Manusia memiliki kapasitas apersepsi transendetal (pengamatan dan penghayatan sesuatu dalam diri), menurut Kant, yang memungkinkannya menyatukan beragam pengalaman menjadi satu pengetahuan yang utuh.  

Paradoks itu ternyata semakin kompleks karena Kant tidak lagi fokus pada bagaimana realitas menampakkan diri tapi bagaimana manusia memahami penampakan itu. 

Transendensi (memahami sesuatu di balik penampakan benda atau melampaui) merupakan cara rasio memahami benda dengan cara menggabungkan fakultas inderawi dan fakultas pemahaman.

Caranya, fakultas inderawi menangkap kesan atau sensasi serta menyusunnya pada pengetahuan apriori. Baru kemudian fakultas pemahaman mensintesakan pengalaman dari sensasi itu, menghubungkannya dengan kategori apriori, serta menyusun keputusan tentang obyek pengetahuan tersebut.

Kant menegaskan posisi pikiran tidak lengkap, selalu ada keretakan identitas berpikir manusia sehingga ada perbedaan kapasitas dalam mengontruksi pengetahuan itu. Jika manusia tidak mampu mentransendensikan diri melalui rasio murni, ia akan beralih ke rasio praktis atau ke daya pertimbangan. Kemampuan ini disebut Zizek sebagai “mediator yang melenyap” (the vanishing mediator).

Keretakan identitas berpikir manusia ini adalah state of nature-nya karena ketidakmampuan menghindari perigi kosong pemahamannya itu. Dengan beralih cara transendensi memungkinkan manusia berganti kapasitas. 

Paradoks cara berpikir ini terjadi karena kesadaran diri hanya mungkin ada manakala melawan arus keterbatasan kapasitasnya. 

Keterbatasan ini semakin kuat ketika manusia ingin memahami yang noumenal dari persepsi empirisnya karena ia harus menggeserkan diri menjadi manusia non empiris (the noumenal subject) juga. Ini barangkali yang dilakukan oleh para sufi (Al-Hallaj, Beyazid al-Bustomi, Rabi’ah al-Adawiyyah, bahkan Syeh Siti Djenar dalam makrifatnya).

Jika Kant mengusung paradoks berdasarkan tegangan permanen antara yang fenomena (pengalaman yang dikonstitusi oleh kesadaran diri) dengan yang kuasi-nomena (yang tak terpresentasikan sebagai kekurangan pikiran) maka Hegel langsung menukik pada perigi inkonsistensi dalam fenomena itu sendiri. Bagi Hegel, inkonsistensi merupakan hakikat dari realitas. 

Realitas tidak pernah ajeg, teratur, dan selalu bisa dikonseptualisasi. Alih-alih, ia menolak setiap upaya konseptual. Malah realitas itu bisa dipahami dalam terang inkonsistensinya. Konsekuensinya, ketidakmungkinan manusia memahami sesuatu sebagai totalitas.

Hegel menggeser paradoks kesadaran diri manusia dari masalah epistemologi (yang dikemukakan Kant) ke ontologi, yaitu baik fenomena ataupun nomena tidak dapat dipahami manusia dengan utuh sehingga setiap pengetahuan tentangnya juga tidak utuh. Jika kekurangan/retakan merupakan sifat realitas, baik manusia maupun obyek adalah ketidaksempurnaan. 

Dari sisi manusia, kekurangannya menjadi daya dorong untuk proses dialektika. Manusia dipaksa mengasumsikan ketidakcukupan (insufficiency) pengetahuannya dalam mendeskripsikan realitas seturut ketidaklengkapan realitas itu sendiri.

Eksistensi manusia hanya pada horison fenomena. 

Yang nomena tetap dibiarkan sebagai das ding an sich. Kritik Hegel atas apersepsi transendental Kant adalah pengetahuan manusia terhadap nomena tidak bermakna selama menggunakan insight kognitif yang mendeterminasi pikiran manusia. Hegel ingin relasi antara manusia dengan benda bukan relasi penampakan tapi antagonisme. 

Dengan kata lain, pengetahuan bukan untuk membuka selubung realitas tapi memahami bagaimana realitas itu menampakkan kemunculannya.

Menurut Hegel, realitas selalu dalam keadaan terbingkai. Terkadang ia tampil sebagaimana adanya tapi di lain waktu hanya ilusi. Bingkai menyebabkan pemisahan realitas sebagai “dunia yang diketahui” dengan “dunia itu sendiri”. 

Dengan demikian ada dua situasi yang bertentangan dari setiap realitas dan manusia tidak diberi kemampuan untuk memahami keduanya secara bersamaan. 

Jika manusia menggunakan satu perspektif maka perspektif yang lain akan mengelak dan mengisi kekosongan perspektif yang lain itu (pemahaman ini berbeda dengan Kant yang mengatakan jika manusia tidak bisa menggunakan rasio murninya, ia akan bergeser ke rasio praktis atau daya pertimbangan). Proses persektif dalam kesadaran diri inilah yang disebutkan Hegel dengan dialektika.

Manusia selalu berhadapan dengan kegagalan dalam memformulasi realitas. 

Tapi kegagalan ini yang menyebabkan proses dialektika terjadi. Dalam kegagalan ada pergeseran antara sesuatu (something) dan bukan sesuatu (nothing), antara satu dan kekosongan di dalamnya. Jika kekosongan telah memenuhi ruang satu maka yang satu berbalik menjadi oposisinya, begitu seterusnya. 

Jika something telah menjangkau kepenuhannya, yang nothing beralih menjadi antagonisme-nya. Dalam dialektika selalu ada residu yang menentang sublasi internalisasi dialektika itu. Proses ini tidak dapat memperhitungkan ekses yang pasti

Bagaimana dengan Yang Absolut? Dalam dialektika, Yang Absolut bukan suatu akhir. Ia bisa menjadi universalitas dan kemudian menggeserkan diri menjadi partikularitas. 

Manusia tidak dapat mendefinisikan Yang Absolut karena ia tidak mengarah pada harmonisasi semua bentuk refleksi. Yang Absolut mengkonfrontir pengetahuan manusia dengan suatu fakta bahwa ia hanya disposisi logis dari kegagalan upaya sebelumnya untuk mengetahuinya [ ].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun