Mohon tunggu...
Bambang Wahyu
Bambang Wahyu Mohon Tunggu... Dosen - Suka musik blues, filsafat, dan karya sastra bermutu

The Dancing Wu Li Master

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Paradoks

5 Oktober 2021   13:46 Diperbarui: 5 Oktober 2021   13:49 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Paradoks pemikiran Descartes dan Hume disatukan dalam skema makro paradoksal semesta Newtonian. Dan kita harus mengakui bahwa Immanuel Kant lah yang mengisahkan secara teliti the great chain of paradox itu.

Kant menerima asumsi Descartes bahwa kesadaran matematis kita mampu mengatasi benda-benda (transendensi). Bayangkan sebuah lingkaran..! ternyata pikiran kita mampu mengabstraksikannya tanpa melihat benda bulat… atau menambahkan angka fibonacci tanpa menggunakan sempoa. Tapi ketika semakin abstrak, hitungan itu pun semakin tidak terpola, acak, bahkan menghindar dari pola penghitungan.

Kesadaran matematis kita yang a priori (tanpa melihat benda) tidak mampu menembus kerumitan hitungan semesta terutama berkaitan dengan realitas yang tak mampu ditangkap kesadaran murni itu (noumena istilah Kant yang dibedakan dengan phenomena): bagaimana oksigen mengalir pada permukaan daun atau bagaimana terbentuknya tekstur relief pada kelopak bunga….

Descartes mengembalikan ide Platonian tentang alam idea. Matematika dan berpikir mathesis selalu mengangkat benda konkrit ke alam idea. Plato telah mengingatkan banyak orang dengan slogan besar di pintu masuk Akademia: “Dilarang masuk bagi yang tidak memahami matematika…”. Ternyata tujuannya untuk memudahkan kita memahami alam idea atau yang metafisik.

Bagi Descartes, kesadaran diri terdiri dari rangkaian: kesadaran (res cogitans), yang disadari (res extensa), dan ide bawaan yang menjamin kesadaran itu (inneate ideas). Kesadaran diri berkorelasi secara representatif dengan yang lain, termasuk alam gaib. Ide-ide bawaan merupakan representasi alam gaib, yang salah satunya ide Tuhan (Evil Genius).

Pada Descartes, terbentuk paradoks baru dalam cara pikir manusia. Semula berpikir adalah substansi (terpatri dalam diri) ternyata berkorelasi dengan sesuatu di luar diri. Implikasinya hubungan pikiran/kesadaran, benda, dan Evil Genius adalah hubungan korelatif-representasional. 

Pikiran atau kesadaran mampu memutuskan mata rantai dengan benda-benda (ingat kata Sartre bahwa kesadaran itu mengada dan meniada). Dengan demikian, kesadaran yang semula tunduk oleh hukum alam sekarang otonom.

Implikasinya, dengan putusnya mata rantai ini maka kesadaran diri tidak sempurna. Ia selalu mengupayakan cara mengonstitusi kekurangannya. Karena sifatnya terbatas, ia membutuhkan jaminan eksistensinya dari the Perfect Being yang tak berbatas. Descartes menginspirasi Kant bahwa paradoks itu semakin menyempit. Semula tentang manusia dan alam, manusia dan dewa, manusia dan pikirannya sendiri dan sekarang manusia dengan keterbatasan pikirannya.

Bagi Descartes, cogito (aku berpikir) sendiri yang membatasi manusia. Manakala cogito berhenti maka subyektivitas manusia keluar darinya. Untuk memanggilnya kembali, manusia membutuhkan campur tangan Tuhan (the Perfect Being/Evil Genius) sebagai jaminannya (sama halnya manakala kegalauan mendominasi diri… berbagai upaya hedonis sudah dilakukan dan akhirnya membasuh muka dengan air wudlu, shalat sunat 2 rakaat, dan menemukan ketenangan jiwa).

Dari situasi ini, Descartes telah menampilkan paradoks universal dalam pikiran manusia. Ternyata manusia adalah sebuah “retakan semesta”, ada dimensi ketidaksempurnaan dalam dirinya (the lackness subject) sehingga kapasitas diri tidak bisa merangkum suatu pemahaman dengan utuh. Kant membayangkan akumulasi pikiran tidak sebatas data matematis/rasio murni (a priori) atau pengalaman empiris (aposteriori).

Malah kesadaran diri bersandar pada persepsi inderawi atas pengalaman empiris: Kita baru bisa membayangkan sebuah lingkaran karena pernah melihat benda bulat sebelumnya. Dengan kata lain, cogito merupakan aktivitas yang mensintesa pelbagai pengalaman. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun