Mohon tunggu...
Bambang Wahyu
Bambang Wahyu Mohon Tunggu... Dosen - Suka musik blues, filsafat, dan karya sastra bermutu

The Dancing Wu Li Master

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Paradoks

5 Oktober 2021   13:46 Diperbarui: 5 Oktober 2021   13:49 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jika disebutkan ada realitas obyektif (realitas yang berdiri sendiri tanpa intervensi manusia) maka realitas itu bukan di luar diri melainkan komposisi artifisial yang dikonstitusi manusia. 

Manusia memiliki kapasitas apersepsi transendetal (pengamatan dan penghayatan sesuatu dalam diri), menurut Kant, yang memungkinkannya menyatukan beragam pengalaman menjadi satu pengetahuan yang utuh.  

Paradoks itu ternyata semakin kompleks karena Kant tidak lagi fokus pada bagaimana realitas menampakkan diri tapi bagaimana manusia memahami penampakan itu. 

Transendensi (memahami sesuatu di balik penampakan benda atau melampaui) merupakan cara rasio memahami benda dengan cara menggabungkan fakultas inderawi dan fakultas pemahaman.

Caranya, fakultas inderawi menangkap kesan atau sensasi serta menyusunnya pada pengetahuan apriori. Baru kemudian fakultas pemahaman mensintesakan pengalaman dari sensasi itu, menghubungkannya dengan kategori apriori, serta menyusun keputusan tentang obyek pengetahuan tersebut.

Kant menegaskan posisi pikiran tidak lengkap, selalu ada keretakan identitas berpikir manusia sehingga ada perbedaan kapasitas dalam mengontruksi pengetahuan itu. Jika manusia tidak mampu mentransendensikan diri melalui rasio murni, ia akan beralih ke rasio praktis atau ke daya pertimbangan. Kemampuan ini disebut Zizek sebagai “mediator yang melenyap” (the vanishing mediator).

Keretakan identitas berpikir manusia ini adalah state of nature-nya karena ketidakmampuan menghindari perigi kosong pemahamannya itu. Dengan beralih cara transendensi memungkinkan manusia berganti kapasitas. 

Paradoks cara berpikir ini terjadi karena kesadaran diri hanya mungkin ada manakala melawan arus keterbatasan kapasitasnya. 

Keterbatasan ini semakin kuat ketika manusia ingin memahami yang noumenal dari persepsi empirisnya karena ia harus menggeserkan diri menjadi manusia non empiris (the noumenal subject) juga. Ini barangkali yang dilakukan oleh para sufi (Al-Hallaj, Beyazid al-Bustomi, Rabi’ah al-Adawiyyah, bahkan Syeh Siti Djenar dalam makrifatnya).

Jika Kant mengusung paradoks berdasarkan tegangan permanen antara yang fenomena (pengalaman yang dikonstitusi oleh kesadaran diri) dengan yang kuasi-nomena (yang tak terpresentasikan sebagai kekurangan pikiran) maka Hegel langsung menukik pada perigi inkonsistensi dalam fenomena itu sendiri. Bagi Hegel, inkonsistensi merupakan hakikat dari realitas. 

Realitas tidak pernah ajeg, teratur, dan selalu bisa dikonseptualisasi. Alih-alih, ia menolak setiap upaya konseptual. Malah realitas itu bisa dipahami dalam terang inkonsistensinya. Konsekuensinya, ketidakmungkinan manusia memahami sesuatu sebagai totalitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun