Suatu sore, Toni sedang berjalan-jalan dengan Betty, anjing kesayangannya.
Ketika melewati sebuah kebun, tiba-tiba, entah itu tupai atau tikus, meloncat di depan Betty dan memantik instingnya.Â
Segera anjing retriever itu mengejar; menghentak tali kekang hingga lepas dari tangan tuannya.
Sontak, Toni turut berlari.Â
Namun, sial, walau telah mati-matian mengejar, ia tidak dapat menyusul Betty. Ekornya terakhir tampak sebelum membelok di sudut sebelah grosir Andi.
Pasrah dan lelah, Toni duduk di bangku taman, yakin Betty akan kembali.
Lima belas menit mencari napas, Betty tak kunjung menampakkan moncongnya.Â
Toni kembali mencari. Namun, sampai matahari tenggelam, ia menjaring angin saja.
Pencarian ia lanjutkan esok hari, dan hari-hari berikutnya. Beberapa teman turut mencari tetapi tetap tidak membuahkan hasil.
Betty telah hilang.Â
Toni hanya bisa menyesal. Mengapa tali collar anjing itu tidak ia pegang kuat-kuat?
. . . . . . . .
Tiga hari berlalu, bel rumah berbunyi. Seorang gadis seumuran Toni berdiri di depan pintu. Betty di kakinya, berputar-putar sambil mengibaskan ekor.Â
Toni senang bukan kepalang. Dipeluknya anjing dari masa kecilnya itu. Air liur tidak ia pedulikan.
Tiba giliran berterima kasih. Mereka berkenalan. Gadis itu bernama Shery.
Setelah perjumpaan pertama, Toni dan Shery sering berjalan berdua. Dan, seperti roman picisan dalam novel-novel teenlite, akhirnya mereka berpacaran.
Toni menyukai Shery yang cerdas, spontan, dan lucu. Shery menyukai Toni yang ramah, bertanggung jawab, dan penyayang binatang.Â
Masing-masing merasa menemukan pasangan yang sempurna.
. . . . . . . .
Suatu hari, Toni hendak menjemput kekasihnya. Citycar yang baru dikreditnya dipacu dengan hati-hati.Â
Sial, di persimpangan dekat grosir Andi, sebuah bus kota menghantam dari sebelah kiri. Lampu merah dilanggar.
Tabrakan itu amat keras. Citycar terhempas naik ke trotoar.
. . . . . . . .Â
Dua hari kemudian Toni terbangun di ruang IGD. Shery berdiri menangis di sebelah kakinya.
Dokter berseragam hijau datang memberi dua kabar: satu kabar baik, satu kabar buruk. Toni memilih yang buruk dulu.
Kabar buruknya, hasil CT-Scan menampilkan siluet sebuah glioma, sejenis tumor, di otak Toni. Sudah jatuh tertimpa tangga.
Berita baiknya? Tumor itu masih stadium awal dan jinak.Â
Dokter menjelaskan, biasanya tumor jenis ini baru terdeteksi setelah kondisinya lanjut dan berbahaya. Berkat kecelakaan tersebut, dokter dapat menemukannya sejak dini.
Pembedahan dilakukan. Glioma berhasil diangkat.
. . . . . . . .Â
Toni merenungkan apa yang terjadi dalam hidupnya dalam beberapa bulan terakhir.Â
Ia baru saja luput dari bahaya tumor yang bersarang di kepalanya karena sebuah kecelakaan waktu menjemput Shery yang ia kenal setelah kehilangan anjing kesayangannya.
Siapakah kita yang berhak menentukan mana nasib sial mana nasib baik?Â
Kita tidak pernah tahu apa sesungguhnya nilai dari sebuah kejadian dalam hidup ini.Â
Seringkali nasib buruk adalah bagian dari keberuntungan di masa depan.
. . . . . . . . .
Beberapa bulan kemudian, Toni kembali berjalan-jalan dengan Betty, anjing kesayangannya itu.