Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Agar "Lompatan Kemajuan" Itu Minim Resiko

16 Agustus 2019   18:01 Diperbarui: 16 Agustus 2019   19:01 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo berpidato dalam Sidang Tahunan MPR 2019. Gambar disalin dari: manado.tribunnews.com

Presiden Joko Widodo baru saja menyampaikan pidato kenegaraan dalam Sidang Tahunan MPR 2019 (16/8).

Dalam kesempatan tersebut, Jokowi memaparkan sejumlah pencapaian serta kinerja lembaga negara dalam setahun terakhir. 

Banyak pujian dilambungkan; ada pula kritik. Biasanya kita sudah tahu siapa yang akan nyinyir.

Tulisan ini mungkin termasuk kritik.

Bersiaplah untuk "Lompatan Kemajuan"

Arah dan ciri suatu rezim ditentukan oleh karakter presidennya. Soekarno dikenal sebagai sipil yang revolusioner-internasionalis; Soeharto militer; Habibie teknokrat; Gus Dur agamis-kultural; Megawati nasionalis-pergerakan, SBY birokrat-militer.

Dalam lima tahun terakhir, Indonesia dipimpin oleh Joko Widodo yang berciri creative-entrepreneur. Mood itu pula yang tercermin dalam visi dalam pidato beliau.

Visi Presiden didorong oleh fakta kontemporer bahwa "Kita berada di era ketika dunia berubah dengan sangat cepat". Situasi itu dipertajam oleh pengamatan beliau bahwa "Kita masuk dalam era kompetisi antarnegara yang semakin sengit." Faktor "ego lembaga" adalah salah satu penghambat kemajuan.

Maka, Presiden menawarkan obat berupa visi "Lompatan Kemajuan" (Leap of Progress). Ada lima kali kata "lompatan" dan dua frasa "lompatan kemajuan" tersebut di dalam pidato beliau.

Ini mengindikasikan kerinduan mendalam Presiden untuk memperoleh terobosan di segala lini pemerintahannya. Beberapa masalah berkutat soal itu-itu saja seperti komidi putar. Masalah pembakaran hutan di provinsi Riau, misalnya, amat menjengkelkan beliau.

Visi Presiden Jokowi bukanlah sesuatu yang baru.

Beberapa tokoh sejarah terkenal mengutarakan gagasan yang mirip. "Lompatan Jauh ke Depan" (Great Leap Forward) dikampanyekan oleh Mao Zedong dalam periode 1958-1962. Ketua Mao bermimpi mengubah Benua Kuning dari negara agraris menjadi negara sosialis melalui industrialisasi.

Kita juga familier dengan frasa "Lompatan Iman" (Leap of Faith) yang dipopulerkan oleh Soren Kierkegaard. Gagasan ini merujuk kepada tindakan memercayai atau menerima suatu fakta di luar batas-batas nalar.

Keinginan untuk melompat ke depan itu sah-sah saja. Namun, hendaknya diingat bahwa di balik setiap lompatan terkandung resiko.

Siap Melompat, Siap Kehilangan

Setiap lompatan mensyaratkan kehilangan. 

Artinya, ada sesuatu yang dilewatkan atau dikorbankan, meski tidak semua kehilangan merugikan.

Ketika Mike Powell menyentuh angka 8,95 meter pada tahun 1991, ia telah melewatkan 8,94 meter pasir di bawahnya. Tak ada kesedihan tergambar di raut wajahnya. Ia justru gembira. Beda ceritanya pada profesi yang lain.

Pada lingkungan yang ekstrem, mengikuti Standard Operating Procedure (SOP) menentukan hidup dan mati. Bila seorang profesional melewatkan satu tahap dalam daftar ceklisnya, ia beresiko kehilangan nyawa atau perusahaan tempatnya bekerja.

Beda lagi ceritanya dalam kasus "Lompatan Jauh ke Depan" Mao Zedong. Kebijakan ini menimbulkan malapetaka sosioekonomi. Para ahli memperkirakan 20 hingga 50 juta rakyat RRC mati kelaparan akibat proyek ambisius tersebut.

Resiko dari "Lompatan Kemajuan" Jokowi

Ini membuat kita bertanya. Dalam visi "Lompatan Kemajuan" pak Jokowi, apakah yang bersedia dikorbankannya? Kalau rantai birokrasi, itu bagus. Kalau hak politik pengusung khilafah, itu bagus. Kalau peleburan kementerian tertentu, silakan saja.

Apa kata Presiden?

"Tidak ada jalan lain bagi kita semua, selain meninggalkan cara-cara lama dan beradaptasi dengan cara-cara baru . . . Undang-undang yang menyulitkan rakyat harus kita bongkar. Undang-undang yang menghambat lompatan kemajuan harus kita ubah," demikian amanat beliau.

Presiden tampaknya hendak menggunakan "Pisau Ockham" (Ockham Razor) terhadap undang-undang. Saya kurang setuju.

Yang menjadi masalah di negeri ini adalah oknum pelaksananya, bukan aturannya. Mentalitas inlander masih kuat bercokol di alam bawah sadar rakyat. Kita memiliki banyak pilar SOP yang jelas, tetapi oknum-oknum di jajaran pemerintahan membengkokkannya.

Barusan saya membaca sebuah artikel dari Kompasianer Felix Tani. Bung Felix memberitakan "Tragedi Sigapiton" dimana sekelompok masyarakat kehilangan tanah adatnya demi pembangunan kawasan wisata Danau Toba. Warga Batak Sigapiton akan terasingkan dari kultur aslinya.

Ironi lama terulang kembali, dimana orang kaya menikmati wisata elit, sedangkan, penduduk setempat hanya menonton dari luar garis. 

Saya percaya, bukan itu yang dikehendaki Pak Jokowi. Namun, faktanya itu sudah terjadi. 

Siapa yang bersalah? Namanya masih tersembunyi dalam Kitab di zaman akhir.

Apa yang Terlompati dalam Pidato Presiden

Saya mengamati, pemberantasan korupsi merupakan menjadi tumit Achiles dalam pidato beliau kali ini. Lemah, karena belum ada terobosan yang fenomenal.

Padahal, isu mahapenting ini setara dengan bahaya laten Komunis, Teroris, dan Khilafah (KTK). Indonesia belum steril dari korupsi.

Ataukah Presiden lupa bahwa pada 2018 sekitar 100 kepala daerah terjerat korupsi. Angka itu belum termasuk 220 anggota DPR dan DPRD, di luar mitra kejahatan mereka di lembaga eksekutif atau swasta.

Saya termasuk yang kecewa ketika Presiden mengumumkan formula komposisi kabinetnya yang akan datang. Meski cuma 45% akan diisi utusan parpol, tetapi angka itu terlalu banyak. 

Sejarah berulangkali membuktikan, menteri-menteri titipan parpol paling rentan terlibat korupsi dan segala praktik turunannya.

Alangkah baiknya jika Presiden Jokowi memusatkan perhatiannya untuk satu masalah ini: Pemberantasan korupsi. 

Ibarat rajawali, Presiden ingin bangsa ini terbang melompat, padahal masih belum pulih dari sakitnya.

Dalam bagian penutup, Presiden mengingatkan agar kita saling mengingatkan dan saling membantu. Saya memberanikan menulis artikel ini sebab beliau berpesan, "Kita tidak boleh alergi terhadap kritik."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun