Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apa Kabar RUU-PPK?

9 Februari 2019   19:40 Diperbarui: 9 Februari 2019   20:29 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya selalu terpesona setiap kali menonton tayangan satwa liar di mana tokoh utamanya adalah seekor buaya. Anda pasti sudah hapal ritualnya. Perlahan-lahan sang buaya mengapung dengan hanya menyisakan lubang hidungnya di atas permukaan air. Lalu, pada milidetik terakhir, hap! Ia menerkam.

Dalam sekejap, itu zebra, atau rusa, atau banteng, atau apapun yang berkaki empat, diseret masuk ke dalam air yang berbuih, dan lenyap. Pertunjukan pun selesai. Akhir-akhir ini saya merasakan kengerian yang sama, seperti makhluk-makhluk naas itu, bila memikirkan tentang RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan (RUU-PPK).

Sejenak saya ingin menyegarkan kembali duduk perkara ini bagi Anda.

Pada 13 September 2018 silam, sebuah RUU yang---entah bagaimana, tidak mengherankan karena sudah sering seperti itu---berpolemik diterbitkan oleh Badan Legislasi DPR. Sesuai tajuknya, RUU ini hendak mengatur berbagai pendidikan keagamaan formal dan non-formal.

Namun, alih-alih berkontribusi terhadap peningkatan keimanan dan akhlak generasi muda, RUU ini justru berbalik mengancam keberlanjutan ibadah anak-anak umat beragama, khususnya Kristen dan Katolik.

Tsunami penolakan pun menggulung ketika itu, seperti halnya RUU Permusikan yang saat ini sedang memanas. Namun, setelah mencapai puncaknya sekitar bulan November, isu itu pun surut, menyisakan sampah dan lumpur ketidakadilan yang masih berbau hingga sekarang. Setidaknya, saya masih mencium baunya.

Sama seperti pada kasus RUU Permusikan, yang akhirnya disikapi dengan menggelar seminar, atau semacam focus-group-discussion, RUU-PPK disikapi dengan seminar. 

Pada berita per tanggal 7 Februari barusan, Fraksi PPP DPR menggelar Seminar RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Acara itu dihadiri perwakilan dari Badan Musyawarah Antar Gereja Indonesia (BAMAG), dari Parisada Hindu Dharma Indonesia, dari Kementerian Agama RI, dari kalangan pesantren, dan tentu saja F-PPP sebagai lembaga pengusul RUU.

Di situ ditegaskan oleh Arsul Sani, Ketua Harian F-PPP DPR RI, bahwa motivasi munculnya gagasan untuk mengajukan RUU-PPK adalah untuk memberikan payung hukum bagi pengalokasian dana untuk pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan. Jadi, ujung-ujungnya duit!

Bila Anda manggut-manggut, itu pertanda baik. Sekarang, saya akan melanjutkan dengan analisis saya.

 Sekolah Minggu: Pendidikan atau Kebaktian?
Komisi VIII DPR mendefinisikan pendidikan keagamaan non-formal Kristen (Pasal 69 ayat 1) dan Katolik (Pasal 85 ayat 1) meliputi: "Sekolah Minggu, Sekolah Alkitab, Remaja Gereja, Pemuda Gereja, Katekisasi, atau bentuk lain yang sejenis."

Sepertinya, kata "sekolah" di dalam istilah Sekolah Minggu menjadi pembenaran untuk memasukkan program tersebut ke dalam kategori "pendidikan." Memang, melihat latar belakang dimulainya gerakan Sunday School di Inggris oleh Robert Raikes pada masa Revolusi Industri, hal ini dapat dimaklumi.

Namun, pada praktiknya, penyelenggaraan Sekolah Minggu di gereja-gereja di Indonesia, dan dunia, lebih tepat bila digolongkan ke dalam ibadah/ kebaktian. Seperti kebaktian "Pra-Remaja/ Remaja," "Pemuda," "Lansia/ Usia Indah," Sekolah Minggu adalah sebentuk kebaktian kategorial berdasarkan usia. Pelaksanaannya tidak ubahnya sebuah peribadatan.

Anda pasti sudah hapal dengan ritualnya: ada doa, nyanyi, baca Alkitab, nyanyi lagi, lalu bagian yang paling seru: khotbah, setelah itu mengumpulkan uang kolekte. Waktu penyelenggaraannya pun bersamaan dengan kebaktian umum orang dewasa. Dan, peserta Sekolah Minggu umumnya tidak disebut murid, melainkan Anak Sekolah Minggu (ASM).

Dalam konteks penyusunan RUU, kekeliruan dalam membedakan kegiatan yang bersifat didaktis (pendidikan) dengan kegiatan liturgis (ibadah) tentu saja menyebabkan kerusakan besar dalam memutuskan perlakuan yang tepat.

Angka yang Membawa Bencana
Akan tetapi, poin yang paling meresahkan umat Kristen dan Katolik adalah Pasal 69 ayat 3. Ayat ini menuntut agar pendidikan keagamaan Kristen non-formal memiliki peserta paling sedikit 15 (lima belas) orang peserta didik.

Syarat yang sama berlaku untuk pendidikan keagamaan Katolik non-formal (Pasal 85 ayat 3). Aturan menyangkut jumlah peserta juga menyasar umat Buddha, dengan mensyaratkan pendidikan Widya Dharma paling sedikit memiliki 15 (lima belas) siswa (Pasal 138 ayat 4).

Sementara itu, ketentuan yang mengatur soal Pesantren atau pendidikan Diniyah informal tidak mencantumkan kuota minimum peserta didik. Kenapa, Pak Sani?

Lima belas itu jumlah yang multiefek. Lima belas dollar, misalnya, mungkin dianggap masih sedikit, tetapi lima belas slice pizza terlalu banyak untuk satu orang.

Mengumpulkan lima belas anak dalam sekali kebaktian Sekolah Minggu di kantong-kantong Kristen seperti kota Manado adalah perkara mudah. Jauh lebih sulit mencari lima belas anak Kristen, bahkan se-kecamatan sekalipun, untuk berkumpul di kota Lhoseumawe, misalnya. Lantas, mereka tidak boleh beribadah, gitu?

Lanjut . . .

Tidak dijelaskan apa yang menjadi dasar angka kuota minimum 15 orang ini. Kita hanya bisa menduga, jumlah tersebut berkaitan dengan efektivitas belajar-mengajar di dalam sebuah kelas. Setahu saya, adalah tidak etis bila syarat peserta minimum diberlakukan dalam konteks ibadah.

Sebabnya jelas, ibadah berkaitan dengan keselamatan jiwa. Maka, kebaktian tetap diselenggarakan meskipun yang hadir dapat dihitung dengan jari, meskipun didera hujan deras disertai angin badai, meskipun Blackpink konser di gedung sebelah.

Lagipula, penentuan kuota minimum seringkali memantik konflik dalam relasi umat beragama. Kita ingat betul contoh yang masih membekas, yaitu polemik SKB 3 menteri. Keputusan trio menteri yang tidak lagi bersama ini mensyaratkan dukungan minimal 60 (enam puluh) orang penduduk untuk mendirikan sebuah rumah ibadah. Ormas-ormas radikal mono-neuron paling sering memakai dalih-dalih numeris ini untuk membenarkan kekerasan terhadap penganut agama lain.

Pemerintah Sebagai Patron Agama
Apa yang paling dibutuhkan oleh pendidikan keagamaan formal dan non-formal adalah jaminan keamanan. Sekali lagi,  j a m i n a n    k e a m a n a n    t i t i k    h a b i s. Bukankah ini diamanatkan dalam sila pertama Pancasila, dan amanat UUD NRI 1945 Pasal 29 dan 31? Artinya, DPR dan pemerintah diharapkan menjadi pelindung dan pengayom kegiatan keagamaan dan pemuka agama.

Memang, ada iktikad baik ini tertuang di dalam RUU-PPK. Disebutkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak hanya berkewajiban menjamin penyelenggaraan pendidikan keagamaan secara adil dan tanpa diskriminasi (Pasal 160), tetapi juga wajib mengalokasikan pendanaan dalam penyelenggaraannya (Pasal 161 ayat 1).

Tentu saja, manfaat sebesar-besarnya dari kebijakan ini akan dialami jika disertai fungsi pengawasan. Pasal ini, menurut hamba, dapat mengamanatkan fungsi tersebut kepada Forum Kerukunan Umat Beragama tingkat daerah. Dan, saya meramalkan ujung-ujungnya nanti KPK akan beraksi.

Saya akan mengakhiri dengan mengungkapkan secercah harapan saya.

Saya berharap, celah-celah di dalam RUU ini dapat segera ditambal. Jangan lagi sampai  "bocor." Saya akui, sebagian poin di dalamnya memuat kebaikan. Kita tidak boleh "membuang air sisa mandi bayi beserta bayinya."

Memang, tidak ada RUU yang sempurna, tetapi yang terbaik adalah yang dapat menawarkan dan menjamin keadilan seluas-luasnya. Jangan sampai sebuah produk hukum, sekecil apapun, menggenapi peringatan dari St. Agustinus: "Sebuah hukum yang tidak adil bukanlah hukum."

Salam lima jari: Pancasila harga mati!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun