Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apa Kabar RUU-PPK?

9 Februari 2019   19:40 Diperbarui: 9 Februari 2019   20:29 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sepertinya, kata "sekolah" di dalam istilah Sekolah Minggu menjadi pembenaran untuk memasukkan program tersebut ke dalam kategori "pendidikan." Memang, melihat latar belakang dimulainya gerakan Sunday School di Inggris oleh Robert Raikes pada masa Revolusi Industri, hal ini dapat dimaklumi.

Namun, pada praktiknya, penyelenggaraan Sekolah Minggu di gereja-gereja di Indonesia, dan dunia, lebih tepat bila digolongkan ke dalam ibadah/ kebaktian. Seperti kebaktian "Pra-Remaja/ Remaja," "Pemuda," "Lansia/ Usia Indah," Sekolah Minggu adalah sebentuk kebaktian kategorial berdasarkan usia. Pelaksanaannya tidak ubahnya sebuah peribadatan.

Anda pasti sudah hapal dengan ritualnya: ada doa, nyanyi, baca Alkitab, nyanyi lagi, lalu bagian yang paling seru: khotbah, setelah itu mengumpulkan uang kolekte. Waktu penyelenggaraannya pun bersamaan dengan kebaktian umum orang dewasa. Dan, peserta Sekolah Minggu umumnya tidak disebut murid, melainkan Anak Sekolah Minggu (ASM).

Dalam konteks penyusunan RUU, kekeliruan dalam membedakan kegiatan yang bersifat didaktis (pendidikan) dengan kegiatan liturgis (ibadah) tentu saja menyebabkan kerusakan besar dalam memutuskan perlakuan yang tepat.

Angka yang Membawa Bencana
Akan tetapi, poin yang paling meresahkan umat Kristen dan Katolik adalah Pasal 69 ayat 3. Ayat ini menuntut agar pendidikan keagamaan Kristen non-formal memiliki peserta paling sedikit 15 (lima belas) orang peserta didik.

Syarat yang sama berlaku untuk pendidikan keagamaan Katolik non-formal (Pasal 85 ayat 3). Aturan menyangkut jumlah peserta juga menyasar umat Buddha, dengan mensyaratkan pendidikan Widya Dharma paling sedikit memiliki 15 (lima belas) siswa (Pasal 138 ayat 4).

Sementara itu, ketentuan yang mengatur soal Pesantren atau pendidikan Diniyah informal tidak mencantumkan kuota minimum peserta didik. Kenapa, Pak Sani?

Lima belas itu jumlah yang multiefek. Lima belas dollar, misalnya, mungkin dianggap masih sedikit, tetapi lima belas slice pizza terlalu banyak untuk satu orang.

Mengumpulkan lima belas anak dalam sekali kebaktian Sekolah Minggu di kantong-kantong Kristen seperti kota Manado adalah perkara mudah. Jauh lebih sulit mencari lima belas anak Kristen, bahkan se-kecamatan sekalipun, untuk berkumpul di kota Lhoseumawe, misalnya. Lantas, mereka tidak boleh beribadah, gitu?

Lanjut . . .

Tidak dijelaskan apa yang menjadi dasar angka kuota minimum 15 orang ini. Kita hanya bisa menduga, jumlah tersebut berkaitan dengan efektivitas belajar-mengajar di dalam sebuah kelas. Setahu saya, adalah tidak etis bila syarat peserta minimum diberlakukan dalam konteks ibadah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun