Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki yang Memeluk Gereja

11 Juni 2023   21:21 Diperbarui: 11 Juni 2023   21:24 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lelaki yang Memeluk Gereja

Cerpen Yudha Adi Putra

Siapa tak kenal dengan lelaki tua itu ? Hampir setiap orang ke gereja pasti menemuinya. Dia duduk di dekat pintu masuk pada gereja tua. Gereja sepi pada minggu biasa. Tapi, tetap tidak ramai pada hari raya. Hanya gereja desa. Dekat pancuran air dan kicau burung masih sering menemani.

"Lelaki itu belum datang?" tanya penjaga gereja sambil menyapu. Mempersiapkan perlengkapan ibadah adalah tugasnya. Ia terkesan dengan lelaki tua yang biasa duduk di belakang gereja.

"Tak tahu. Biasanya sudah duduk di sana. Memangnya kenapa?" tanya seorang pemuda. Pemuda itu bertugas di gereja. Bukan tugas ibadah. Hanya tugas parkir. Menjaga sepeda motor dan berharap uang kecil dari pengunjung gereja.

"Tak apa, aku khawatir saja," ujar penjaga gereja dengan tawa kecil. Tak ada yang spesial pada minggu itu. Hanya saja, pembicaraan itu membawanya pada kenangan.


Dulu, lelaki tua itu pernah menolong penjaga gereja. Tak ada yang menyangka, ketika salah memasang stola di gereja. Hanya karena kesalahan jadwal itu, penjaga gereja dimarahi. Oleh pendeta, majelis, dan siapa saja. Tampak ceroboh, begitu kesan pada penjaga gereja.

"Tak masalah. Semua orang pernah berbuat salah. Kalau tidak, nanti tak ada gereja. Bukankah tempat ini penuh dengan orang bersalah?" ujar lelaki tua. Membela penjaga gereja untuk pertama kalinya. Tak disangka dan itu terkenang selalu.

Sejak saat itu, penjaga gereja selalu menantikan lelaki tua itu. Perlahan memeluk pagar gereja, berjalan masuk menuju gereja. Kesulitan tanpa ada yang membantu. Menjadi hal biasa dirasakan lelaki tua.

"Aku bisa melakukannya sendiri. Lagi pula, masih cukup waktu untuk aku perjalanan," ujar lelaki tua yang kesulitan bergerak. Ia memakai kursi roda. Tak ada yang mengantar, bahkan penjaga gereja tak pernah tahu siapa yang mendatangkan lelaki tua itu. Kejadian itu sudah bertahun-tahun lamanya. Dan, tak pernah terulang lagi. Tidak ada yang bertanya dan membantu. Lelaki itu tetap ke gereja dan duduk di belakang. Melempar senyuman pada siapa saja.

"Apa kabar lelaki tua itu ya?" tanya penjaga gereja seolah cemas.

***

Tak ada yang bisa dilakukan lagi. Hanya disebut lelaki tua, Pak Haryo kesal. Kakinya sudah lama diamputasi. Menjadi prajurit memang penuh risiko. Hari demi hari berganti, tidak memberi kesempatan untuk dinikmati.

"Lalu, apa yang harus aku lakukan di masa pensiun seperti ini?" ujar Pak Haryo dalam lamunan.

Pagi belum sepenuhnya cerah. Masih gelap, pertanyaan seperti itu selalu bermunculan. Tak ada jawaban, gamang dan tidak menentu.

"Mungkin, aku akan ke gereja. Menemukan banyak warna baru dan harapan. Semoga saja, setiap kesedihan karena keadaan menjadi hilang," ujar Pak Haryo perlahan tapi terdengar oleh istrinya.

"Memangnya apa yang dirasakan pensiunan  tidak berguna seperti dirimun? Kerjamu cuma makan dan tidur saja. Ke gereja menebar tawa palsu. Tak ada yang mengerti kelakuanmu di rumah," bentak istri Pak Haryo.

Enggan ribut, Pak Haryo memilih untuk pergi. Mendorong semangat dan menggerakkan kursi roda. Melewati banyak pertanyaan di hari Minggu. Kenapa tidak ada yang mengantar, lalu kenapa harus gereja ?

***

Semenjak kehilangan kakinya, Pak Haryo menjadi penyandang disabilitas. Baginya, dulu kesalahan adalah kesalahan. Tak ada yang boleh salah, dia depresi karena kehilangan kaki. Kemudian, setiap perasaan kehilangan diperhitungkan. Namun, setelah menjadi penyandang disabilitas dia tidak anti terhadap kesalahan. Membela penjaga gereja pernah dilakukannya. Kini, ia ingin sekali bertemu penjaga gereja.

"Tak ada yang membiarkan langkah menjadi senyap. Semua berjalan pada tatapannya masing-masing," ujar penjaga gereja ketika melihat Pak Haryo. Percakapan terbangun, tapi dalam benak saja.

"Boleh saya memesan tempat duduk di belakang saja?" ujar Pak Haryo dengan senyuman dari kursi rodanya.

Penjaga gereja hanya tersenyum. Ia ingat, dulu pernah kesulitan hingga tak ada harapan. Kini, saatnya dia membantu orang.

"Menjadi penjaga gereja ternyata bisa membawa manfaat. Banyak orang terbantu," ujar penjaga gereja pada malam sebelum tidur.

Perlahan, ada mimpi dalam tidurnya. Mimpi menatap lelaki yang memeluk gereja. Tepat setelah selesai memeluk, lelaki itu meninggalkan kardus berisi bayi. Bersama seorang perempuan, lelaki itu kemudian pergi dari gereja.

"Pak Haryo!" teriak penjaga gereja dalam mimpinya. Tepat ketika tahu lelaki pembuang bayi puluhan tahun itu adalah Pak Haryo dan bayi itu adalah dirinya.

"Dulu aku menemukanmu di depan gereja berbungkus kain," ujar pendeta tua.

Penjaga gereja terbangun. Meraba sekitar, melihat ponselnya. Tepat pukul dua pagi.

Godean, 11 Juni 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun