Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pisah

10 Januari 2023   11:55 Diperbarui: 10 Januari 2023   12:13 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

                "Biar saja. Pasti ada yang mencurigakan. Kata Pak RT, kemarin ada dua orang datang mau meneliti kerja bakti. Itu memantau kondisi, aman tidak untuk bertransaksi," dugaan Ibu dengan sendal yang tertukar dengan milik suaminya.

                "Sudah-sudah. Malah jadi ngomongin Muryanto. Ini mau belanja apa saja. Sudah siang, mau pindah tempat lain," ujar pedagang sayuran.

                "Kami ngutang dulu ya, tapi jangan lupa. Info kalau ada yang tahu soal Muryanto," kata Ibu dengan baju biru. Pembeli lain nampak mendukung dengan senyuman.

                "Sama saja, kalian ngomongin Maryanto. Malah ngutang, apa bendanya dengan Muryanto. Masih mending dia, tidak ngutang," keluh penjual sayur.

***

                Semakin hari, orang semakin penasaran dengan siapa dan untuk apa ada tamu di rumah Muryanto. Meski senang merawat burung, tapi burung peliharaan Muryanto tak pernah awet. Seminggu dibeli, tidak sampai seminggu lagi pasti ada saja yang lepas atau mati. Itu menjadi kelucuan bagi tetangga.


                "Tidak apa, sakit hati karena bermain burung tidak akan sebanding dengan sakit hati karena berdinamika dengan manusia. Manusia itu rumit. Memangnya, siapa yang bisa membeli kebahagiaan ? Tidak melulu soal uang," alasan Muryanto kalau ada orang meminta dia berhenti memelihara burung.

                "Kalau tua begini asyik. Ada ceritanya. Setiap perjalanan terlalui dengan sapaan. Sudah jarang orang mau memiliki dan merawat motor seperti punyaku. Jadi, aku semakin bangga," kata Muryanto. Pertanyaan Pak RT soal motor tua berisik milik Muryanto dijawab dengan ringan. Seolah, motor itu bukan beban, melainkan kebanggaan.

                Kalau sudah bosan. Akan ada saja yang menggantikan, tapi perjalanan bersama itu melebihi rasa bosan. Semangat seperti itu membuat Muryanto semakin mencintai dirinya sendiri. Ia sepertinya tahu, bagaimana tetangganya memperhatikan dia. Seolah sebagai ancaman, kadang sebagai rasa penasaran yang harus terjawab. Tidak jarang, keberadaannya sebagai pengangguran dipertanyakan. Tawa memang menghiasi. Kesedihan disimpan sendiri, sampai tak ada seorang yang tahu. Betapa sedihnya kehilangan kedua orangtuanya.

***

                Seorang perempuan setengah baya tiba di desa itu. Perempuan tadi seperti kebanyakan pertanyaan, mencari tahu dimana letak rumah Muryadi. Hanya saja, semua orang di desa itu pasti tahu kalau dia adalah bupati yang baru.Ia bertanya pada seorang Ibu yang sedang asyik menjemur pakaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun