Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pisah

10 Januari 2023   11:55 Diperbarui: 10 Januari 2023   12:13 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

                "Tapi, di sini bukan tempatmu. Aku hanya petani tua dengan sepetak sawah. Kau sendiri anak seorang guru besar. Kau harus kuliah, bukankah rencanamu tinggal di desa hanya untuk berlibur saja ?" tanya Mbah Tani.

                "Aku mulai betah berada di sini, Mbak. Ada tukang cukur yang mengajariku untuk bersyukur. Ada petani lain dengan pelajaran berpisah itu mudah. Aku belajar ikhlas hidup di sini, Mbah," kata Maryanto.

                Mbah Tani terdiam. Tak mengerti harus mengatakan apa lagi. Ada ketakutan yang disembunyikan. Waktu terus berjalan, hingga Mbah Tani meninggal. Orang di desa kemudian mengira bahwa Muryanto adalah cucu Mbah Tani. Ada satu kebiasaan Mbah Tani dan itu diteruskan oleh Muryanto. Kebiasaan memelihara burung.

***

                Pernah ada tetangga melapor ke Pak RT soal berisiknya Muryanto ketika pagi hari. Sekolah sedang diadakan secara daring, tapi Muryanto malah menyalakan motor tua. Motor itu mengeluarkan asap dan suara knalpot. Anak dari tetangga Muryanto merasa terganggu.

                "Maafkan saya. Nanti, kalau mau. Tugas sekolahnya saya ajari saja. Mengerjakan di waktu sore tentu akan menyenangkan. Belajar tapi jangan sampai lupa untuk mencintai diri sendiri. Kalau sekolah merasa terpaksa, belajarnya tidak menyenangkan. Semakin sulit paham," permohonan maaf Muryanto. Ia merasa bersalah karena menganggu tetangga. Tawa beberapa tamu juga terdengar. Maklum saja, Muryanto punya banyak kenalan dan mereka senang dengan desa. Senang untuk menjadi pengunjung, bukan untuk tinggal bersama.


                "Memangnya, kamu dulu sekolah ? Bukankah kerjaanmu cuma ngurusin burung ? Belum lagi, tangan kotormu itu hanya bau dengan oli. Tahu apa kamu soal pelajaran anak sekolah ?" bentak tetangganya dengan nada tinggi.

                Muryanto hanya tersenyum. Ia heran, kenapa sekolah memberi jaminan begitu kuat bagi orang desa. Seolah, kalau sudah sekolah nanti semua akan lebih baik. Kata temannya, kurikulum sekolah banyak yang menjauhkan murid dari persoalan kehidupan. Maka dari itu, tak jarang kalau ada banyak orang berlindung dengan kebanggaan kalau dirinya sudah sekolah.

                "Tamu datang lagi ke rumah Muryanto. Tamu tadi mengaku sebagai seorang penulis. Apa benar begitu ?" tanya tetangga Muryanto kepada penjual sayur.

                "Nanti, kalau aku mampir depan rumahnya tak tanya coba. Kita lihat situasi. Siapa tahu, sebenarnya mereka itu penjual narkoba seperti di televisi ? Wah, tidak bisa dibiarkan itu," ungkap pedagang sayur. Pembeli lain turut terpancing untuk penasaran. Ada apa sebenarnya. Kenapa rumah Muryanto kedatangan tamu terus.

                "Kita coba ngitip saja. Siapa tahu bisa mendengar percakapan mereka. Aku sebagai tetangga juga penasaran. Meski, aku tahu kalau Muryanto orang baik. Tidak mungkin dia menjual narkoba atau hal merugikan lainnya," bela seorang Ibu yang memakai daster. Nampak sibuk memilih sayuran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun