Mohon tunggu...
peringatan zendrato
peringatan zendrato Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang penulis apa yang dirasa perlu ditulis

Suka Kesasar, Asal ada Teman

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kabar Bohong dan Perseteruan di Masa Pandemi

31 Juli 2020   02:13 Diperbarui: 31 Juli 2020   02:13 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Media sosial tidak hanya bisa diselami oleh orang dari kelas tertentu saja. Baik dari kelas ploretariat maupun kelas borjuis keseharian mereka lebih banyak di dunia maya (media sosial). 

Buruh bangunan bisa berfoto sembari menyusun batu fondasi atau dinding rumah. Tukang becak bisa berfoto dengan penumpang yang dia antar. Wakil rakyat (DPRD) bisa berfoto saat membahas APBD. Bupati atau Wali Kota bisa berfoto di ruang kerjanya. Ringkasnya, di media sosial akan ditemukan keberagaman dan kebebasan.

Sayangnya keberagaman dan kebebasan di media sosial ini menjadi sumber masalah. Ambil saja contoh penyebarluasan berita bohong (hoax). 

Baik disadari dengan maksud dan tujuan tertentu maupun tanpa disadari, seseorang bisa dengan bebas menyebarkan berita bohong di media sosial. Begitu pula dengan keberagaman ras, suku, profesi atau pekerjaan di media sosial. Tidak jarang ditemukan tindakan rasisme, pelebelan terhadap sesama, dan bahkan penghinaan karena status sosial dan status ekonomi.

Fenomena ini tidak absen di masa pandemi covid-19. Kementerian Komunikasi dan Informatika mendata sebanyak 554 isu hoax sepanjang pendemi covid 19[1]. Rupa-rupa berita bohong beragam bentuknya. Mulai dari kabar bohong asal usul virus corona, obat-obat yang ampuh menyembuhkan, hingga penyebaran foto atau video pasien yang mempunyai gejala sama seperti pasien covid-19.

Lalu ada juga yang melarang setiap orang yang tidak berprofesi tenaga medis menyebarkan infromasi terkait pengobatan atau gejala terkena covid-19. Sehingga di media sosial bermunculan anjuran seperti: "BIARKAN MEREKA YANG MENGERTI (MEDIS) SAJA YANG BICARA!". Bahkan anjuran untuk tidak menyebarkan data atau informasi yang berkaitan tentang kebijakan (misal: arus masuk-keluar orang) di suatu daerah bila tidak berjabatan dalam lini pemerintahan.

Sisi Lain yang Tidak Dilihat

Lantas, bagaimana kita "memaknai" fenomena tersebut di masa pendemi covid-19? Galibnya hoax dipandang akar dari ketidakpercayaan penyebar atau sikap pesimis terhadap kerja pemerintah. 

Selanjutnya, hoax itu akan mudah disebarkan oleh mereka yang tidak melakukan chek and rechek informasi. Di masa pendemi, respon terhadap hoax didasari dengan anggapan di atas. Akhirnya, terjadi kesalahpahaman dan bahkan pertengkaran antara pemerintah dengan warganya di media sosial.

Padahal ada sisi lain penyebab mengapa hoax di masa pendemi banyak bermunculan. Pertama, Kecepatan informasi yang diperoleh dan disebarkan di media sosial mengalahkan kecepatan media konvensional atau tatap muka dengan aparat pemerintah. 

Sehingga kecepetan dan kemudahan ini dimanfaatkan untuk memedulikan sesama sembari menjaga diri agar tidak tertular. Ini bisa dilihat ketika tingkat kematian terus meningkat dan obat atau vaksinasi belum ditemukan. Dalam keadaan inilah semua panik dan ketika bermunculan informasi terkait obat yang ampuh maka informasi itu dengan cepat disebarluaskan.

Kedua, meski belum ada kepastian terkait informasi yang didapat, namun warganet membangun upaya pencegahan. Warganet antusias mencari tahu asal usul orang yang diperiksa serta tempat tinggal. 

Infromasi seperti ini penting bagi warganet agar tidak pergi ke daerah tersebut atau ke tempat tinggal orang yang pulang kampung. Sayangnya, terkadang warganet yang kurang pengetahuan tentang pengelompokan ODP, PDP, dan Suspect "menyulap" infromasi resmi, misal yang awalnya berstatus ODP tetapi warganet membahasakan menjadi positif.

Tetap Optimis Lawan Corona

Perseteruan antara warga dengan pemerintah (khususnya tenaga medis) di masa pandemi tentu suatu yang tidak diinginkan dan tidak terpuji. Di sana sini banyak berita tentang pengaduan dari tenaga medis atau dari rumah sakit dan dinas kesehatan terkait komentar-komentar atau postingan-postingan di media sosial. 

Ada yang dilaporkan karena tindakan penyebaran kabar bohong, pencemaran nama baik, pelemahan kepercayaan terhadap pemerintah, bahkan penghinaan terhadap tenaga medis. Keduanya bukan menjadi partner melawan corona, malah saling bermusuhan.

Profesi tenaga medis di masa pandemi covid-19 memang menjadi profesi yang dikedepankan dan paling berisiko. Profesi ini dikedepankan karena mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman luas dalam menangani penyakit yang diakibatkan oleh virus. 

Jadi wajar bila yang lebih banyak tampil dalam sosialisasi maupun pemberitaan terkait penyebaran serta upaya pencegahan dan pengobatan adalah mereka yang berprofesi tenaga medis. Profesi ini pula yang paling berisiko dikarenakan bila mereka tidak diperlengkapi oleh Alat Pelindung Diri (APD) maka mereka rentan diserang virus.

Setiap warga juga mempunyai peran penting dalam menekan penyebaran covid-19. Di masa pandemi sekarang ini kita percaya semua warga optimis ingin mempertahankan hidup. Kepedulian terhadap sesama sudah kita saksikan di masa pandemi ini. Di sana sini warga saling membagikan bantuan untuk sesamanya, protokol kesehatan dituruti, dukungan ke pemerintah juga tidak absen. Hanya saja di media sosial emosi dengan bebas diwujudkan. Sangat tidak bijak bila ditanggapi dengan amarah.

Sumber rujukan:

[1] detik.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun