Lelah itu bukan karena volume kerja semata, tapi karena sistem yang tidak berubah, meski sudah diteriaki. Karena terlalu sering melihat kebenaran dikalahkan kenyamanan. Karena harus berpura-pura menerima, meski hati menolak. Lelah itu datang dari dalam, dari pergulatan batin antara ingin tetap menjaga integritas namun harus bertahan dalam sistem yang tidak mendukung nilai-nilai itu.
Dalam psikoanalisis, ini adalah bentuk moral distress, kondisi ketika seseorang tahu apa yang benar, tapi tak punya daya untuk melakukannya. Ini bisa membunuh perlahan, bukan hanya semangat kerja, tapi juga identitas profesional. Lebih jauh lagi, ini menimbulkan bentuk kelelahan batin yang sering disalahartikan sebagai bentuk 'keikhlasan'.
Padahal, ikhlas yang lahir dari rasa putus asa berbeda dengan ikhlas yang muncul dari kesadaran penuh. Dalam psikoanalisis, penerimaan pasif atas sistem yang sakit tanpa ruang sublimasi atau transformasi hanya akan menambah luka bawah sadar. Ia tidak menyembuhkan, ia hanya mengubur lebih dalam. Semakin lama luka itu terpendam, semakin sulit ia disadari dan diobati.
Inilah yang menyebabkan banyak ASN kehilangan daya reflektifnya. Mereka terus bekerja, terus diam, dan terus tampak kuat dari luar. Tapi di dalam, banyak yang sudah menyerah diam-diam. Tidak karena mereka tidak peduli, tapi karena mereka merasa tidak didengar. Ketika sistem tidak memberikan ruang untuk berbicara, maka lelah menjadi satu-satunya bahasa yang tersisa.
Bukan Sekadar Surat, Tapi Seruan Kesadaran
Mungkin kita butuh lebih dari sekadar surat edaran. Kita butuh keberanian. Butuh refleksi. Butuh pemimpin yang tidak hanya tegas pada dokumen, tapi juga membangun sistem yang bisa dipercaya. Sebab surat itu, meski sah dan legal, tidak akan menyentuh akar masalah jika kesadaran kolektif birokrasi belum mengalami transformasi.
Dalam teori perubahan organisasi, upaya merestorasi kepercayaan terhadap sistem tidak cukup dengan mengatur perilaku. Ia harus menyentuh nilai-nilai yang mendasarinya. Dalam pendekatan psikoanalitik, ini mirip dengan proses penyembuhan luka psikis, bukan dengan menyangkal luka itu, melainkan dengan menghadapinya, mengenalnya, dan membentuk pemahaman baru dari dalam.
Jika ASN percaya bahwa mutasi bisa dilakukan tanpa perlu "membawa nama", maka ia tak akan melakukannya. Jika sistem membuktikan bahwa integritas dihargai, maka loyalitas akan datang tanpa diminta. Tapi selama sistem tidak menegaskan keadilan dengan perbuatan nyata, bukan hanya kata-kata, maka perilaku menyimpang akan tetap dicari sebagai bentuk "penyelamatan diri" dari ketidakpastian.
Meritokrasi bukan soal aturan. Ia soal budaya, dan budaya tidak lahir dari surat edaran. Ia tumbuh dari ruang diskusi yang jujur, dari kepemimpinan yang rendah hati, dan dari organisasi yang menyediakan tempat bagi suara yang berbeda untuk didengar tanpa ancaman. Kita tidak sedang kekurangan sistem, kita sedang kekurangan kepercayaan dan keberanian untuk bercermin.
Jika kita sungguh ingin membenahi birokrasi, maka mulailah dengan mengakui bahwa kita pernah salah. Bahwa praktik yang menyimpang tidak cukup disangkal, tetapi harus dilihat sebagai bagian dari sejarah kolektif yang perlu diubah dengan sadar. Inilah saatnya berhenti mempercantik wajah birokrasi dari luar, dan mulai membersihkan luka-lukanya dari dalam.
Karena birokrasi yang sehat bukan hanya tentang struktur, tapi tentang jiwa yang percaya bahwa bekerja dengan jujur bukanlah tindakan yang membahayakan, melainkan fondasi utama untuk masa depan yang berintegritas.