Mohon tunggu...
Perdhana Ari Sudewo
Perdhana Ari Sudewo Mohon Tunggu... Pemulung Ilmu

Pemulung ilmu yang punya hobi menulis, berharap dapat terus belajar dan berbagi melalui ide, gagasan, dan tulisan. Pernah belajar Psikologi dan Administrasi Bisnis waktu di Kampus, dan saat ini berupaya menemukan aplikasi ilmu tersebut dalam kehidupan nyata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Birokrasi dan ASN dalam Cermin Freud dan Jung: Represi, Persona, dan Sistem yang Tak Disadari

2 Juni 2025   03:55 Diperbarui: 2 Juni 2025   04:35 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nilai-nilai tersebut sering tidak ditulis, menjadi sebuah kesepakatan bersama meskipun tidak tertulis, atau mitos di lingkungan birokrasi yang tidak diatur dalam regulasi, tapi sangat kuat dalam praktik. Inilah yang membentuk budaya birokrasi, ketidaksadaran kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam birokrasi. Bahkan warisan ini bisa jadi sudah ada sejak zaman kerajaan di Nusantara, diturunkan sampai zaman birokrasi modern saat ini. Seringkali ketidaksadaran kolektif ini muncul dengan tampilan yang berbeda, tetapi isinya sama. Dan jika tidak disadari, maka budaya ini akan terus memproduksi tekanan batin kolektif, yang berpotensi mempengaruhi kesehatan mental para birokrat.

Mengapa Memahami Birokrasi secara Mendalam Ini Penting?

Selama ini, reformasi birokrasi di Indonesia cenderung bergerak di permukaan, memperbaiki struktur organisasi, menyusun ulang sistem kerja, menyederhanakan prosedur, hingga menerapkan indikator kinerja. Namun, perbaikan itu seringkali menemui tembok, implementasi lambat, resistensi tinggi, atau hasil yang tak berkelanjutan. Kita lupa bahwa struktur dan sistem tidak bekerja sendiri, ia dibentuk dan dijalankan oleh manusia. Di sisi lain, manusia bukan sekadar fungsi, tetapi juga makhluk psikis dengan konflik, kecemasan, harapan, dan luka batin yang sering tak disadari.

Freud menunjukkan bahwa represi bukan hanya menekan perasaan atau pikiran negatif, tetapi menciptakan biaya psikis yang mahal. Dorongan yang ditekan tidak hilang, ia bekerja dalam diam dan muncul dalam bentuk gejala sikap apatis, ketakutan mengambil inisiatif, kemarahan yang dipendam, bahkan penyakit psikosomatik. Dalam konteks birokrasi, ini menjelaskan mengapa banyak ASN yang secara formal "berkinerja baik", tetapi secara batin kosong, stagnan, atau bahkan perlahan hancur. Mereka terus bekerja sambil menekan diri, karena sistem tidak memberi ruang bagi ekspresi batin yang sehat.

Jung, di sisi lain, mengingatkan bahwa persona atau topeng sosial yang dibentuk oleh tuntutan kolektif adalah bagian penting dari interaksi sosial, tetapi berbahaya jika ia menguasai total kepribadian. Dalam sistem birokrasi, persona ASN dibentuk oleh harapan-harapan kolektif yang berasal dari ketidaksadaran kolektif birokrasi itu sendiri, seperti "ASN harus berjiwa melayani", "ASN harus loyal", "harus netral", "jangan banyak protes", "kerja itu ibadah, jangan perhitungan". Nilai-nilai ini tampak mulia, tetapi tanpa kesadaran kritis, justru menjadi jebakan psikologis yang menutup ruang tumbuhnya individu melalui individuasi. ASN tidak lagi bertanya "siapa saya dalam sistem ini?," melainkan hanya sibuk bertahan agar tidak dianggap "tidak profesional".

Ketika persona terlalu kuat dan represi terlalu dalam, birokrasi kehilangan energi kreatifnya. Inovasi, empati, dan keberanian untuk berubah tidak bisa tumbuh dari manusia yang batinnya beku. Sebaliknya, birokrasi menjadi tempat di mana ketakutan tersembunyi di balik senyum profesional, dan kepatuhan menyamar sebagai dedikasi.

Oleh karena itu, memahami konsep-konsep ini bukan sekadar soal teori psikologi, tetapi langkah penting dalam menyelamatkan birokrasi dari stagnasi sistemik dan kelelahan kolektif. Kita tidak bisa mengandalkan perbaikan struktural semata tanpa menyentuh level batin atau psikis individunya, bagaimana individu ASN merasa, berpikir, dan memaknai keberadaannya dalam sistem. Sebab birokrasi yang sehat bukan hanya tentang efisiensi administratif, tapi juga tentang keseimbangan psikis dan integritas personal dari manusia yang ada di dalamnya.

Menyadari represi yang tak disadari, mengenali persona yang terlalu kaku, dan membongkar ketidaksadaran kolektif yang selama ini diterima begitu saja adalah awal dari proses penyembuhan birokrasi. Ini bukan sekadar perubahan sistem, bukan pula transformasi struktural dan sistem kerja, tapi juga transformasi kesadaran. Tanpa itu, reformasi akan terus tertahan oleh hambatan-hambatan tak kasatmata yang justru paling menentukan, konflik dalam diri pegawai, beban moral yang dipendam, dan budaya diam yang diwariskan secara tak sadar dari satu generasi ASN ke generasi berikutnya.

Tulisan ini bukan untuk menghakimi, tetapi untuk mengajak merenung. Mungkin selama ini kita merasa tidak nyaman di tempat kerja, tapi tidak tahu kenapa. Mungkin kita sering bertanya, "Mengapa saya lelah, padahal kerja saya tidak seberat itu?" atau, "Kenapa saya merasa hampa, meski karier saya terlihat baik?". Bisa jadi, jawabannya bukan hanya soal pekerjaan. Tapi soal batin kita yang terlalu lama disuruh diam, tunduk, dan menekan rasa.

Maka mari kita mulai perjalanan ini bersama, membaca birokrasi dari dalam, menelusuri setiap kompleks dalam ketidaksadaran personal, dan juga mengetuk pintu-pintu arketip dalam ketidaksadaran kolektif. Karena mungkin, untuk membenahi birokrasi, kita perlu terlebih dulu menyembuhkan isi kepala dan hati orang-orang yang mengisinya.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun