Mohon tunggu...
Perdhana Ari Sudewo
Perdhana Ari Sudewo Mohon Tunggu... Pemulung Ilmu

Pemulung ilmu yang punya hobi menulis, berharap dapat terus belajar dan berbagi melalui ide, gagasan, dan tulisan. Pernah belajar Psikologi dan Administrasi Bisnis waktu di Kampus, dan saat ini berupaya menemukan aplikasi ilmu tersebut dalam kehidupan nyata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Birokrasi dan ASN dalam Cermin Freud dan Jung: Represi, Persona, dan Sistem yang Tak Disadari

2 Juni 2025   03:55 Diperbarui: 2 Juni 2025   04:35 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika birokrasi ingin sehat, maka ia tidak bisa hanya fokus pada efisiensi dan disiplin. Ia harus memberi ruang simbolik dan psikologis bagi individu untuk memproses, mengungkapkan, dan menyalurkan dorongan batin dengan cara yang sehat. Freud menyebut ini sebagai sublimasi, mengalihkan energi dorongan menjadi ekspresi yang produktif, kreatif, atau bermakna (Tauber, 2012). Bukan represi total yang membunuh kehidupan batin, melainkan transformasi dorongan menjadi bentuk yang diterima dan menghidupkan.

Persona: ASN dan Topeng Sosial (Jung)

Setelah sebelumnya kita membahas dari sudut pandang psikoanalisis Sigmund Freud, selanjutnya kita diskusikan menggunakan pendekatan psikologi analitik (psikoanalitik) Carl Gustav Jung. Dalam psikoanalitik, dikenal istilah persona, dikenal juga dengan istilah "topeng", yaitu aspek kepribadian yang kita hadirkan ke dunia luar, topeng sosial yang memungkinkan kita berinteraksi dengan lingkungan secara dapat diterima dan "normal". Jung tidak melihat persona sebagai kepalsuan, melainkan sebagai archetypal necessity, bagian dari struktur dasar jiwa manusia yang muncul dari ketidaksadaran kolektif, berfungsi untuk menengahi antara diri pribadi dan dunia sosial.

Dalam konteks ASN, persona terwujud sebagai sosok "profesional", "patuh", "netral", atau "dedikatif", atribusi ideal yang secara historis dan budaya dilekatkan pada sosok aparatur negara. Dalam era birokrasi kini, persona ini dapat dilihat dari upaya untuk mendorong ASN tampil "BerAKHLAK" sesuai dengan nilai dasar ASN yang disematkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2023 tentang ASN. Namun, ketika persona ASN menjadi satu-satunya wajah yang diperbolehkan tampil, ia tidak lagi menjadi topeng fungsional, tetapi menjelma menjadi penjara psikologis.

Persona dalam birokrasi adalah arketip kolektif yang distabilisasi oleh sistem. ASN "yang BerAKHLAK" dan "Bangga Melayani Bangsa" adalah mereka yang tidak menunjukkan keraguan, yang loyal dan tidak mempertanyakan kebijakan, dan tidak terlalu banyak berbicara tentang rasa lelah atau kegelisahan batin. Mereka menginternalisasi harapan sosial masyarakat secara mendalam, sehingga akhirnya tidak bisa membedakan mana dirinya sendiri dan mana topeng yang ia kenakan.

Jung memperingatkan bahwa identifikasi yang terlalu kuat dengan persona justru berbahaya. Individu bisa kehilangan kontak dengan self, disebut juga sebagai inti kepribadian yang otentik. Ketika persona terlalu dominan, maka isi alam bawah sadar pribadi dan kolektif (shadow, anima/animus, bahkan aspirasi spiritual dalam self) tertekan dan tidak memiliki jalur ekspresi. Akibatnya, individu tampak stabil di permukaan, tapi mengalami kehampaan eksistensial di dalam.

Dalam birokrasi yang menuntut stabilitas dan keterkendalian, persona menjadi alat kolektif untuk mengontrol bukan hanya perilaku, tapi juga isi batin ASN. Bukan sekadar bagaimana mereka harus bertindak dan berperilaku, tapi bagaimana mereka "seharusnya" merasa. Ketika ada ASN yang mulai lelah, ragu, atau marah, mereka tidak hanya ditekan oleh atasan, tetapi juga oleh tekanan internal "Saya tidak boleh merasa begini. Saya ASN, saya harus kuat." Saat ini juga ditambah dengan tekanan eksternal dari nitizen, bahwa "ASN adalah profesi yang makan uang pajak, mengeluh terkait pekerjaan adalah haram", atau tekanan dan pandangan lain dari masyarakat tentang profesi ASN. Di sinilah ketidaksadaran kolektif bekerja sebagai sistem nilai diam-diam yang sangat efektif.

Persona, dalam kerangka Jung, adalah bagian awal dari struktur kepribadian yang sehat, tetapi bukan yang utama. Jika ASN tidak diberi ruang untuk menyadari bahwa dirinya bukan hanya persona, maka proses individuasi (pembentukan kepribadian otentik) akan terhambat (Semiun, 2017). Lama-lama, ASN bukan hanya kelelahan karena pekerjaan, tetapi juga karena terus-menerus menjadi orang lain di tempat kerja.

Maka pertanyaannya adalah, apakah sistem birokrasi kita memungkinkan ASN menjadi dirinya sendiri? Atau justru menuntut mereka untuk mengadopsi persona kolektif yang seragam, sambil mengorbankan identitas dan keutuhan batinnya?

Ketidaksadaran Kolektif: Budaya yang Tak Disadari

Menurut Jung, manusia tidak hanya memiliki ketidaksadaran personal, tetapi juga ketidaksadaran kolektif, warisan budaya dan pola pikir yang turun-temurun (Jung, 1969). Dalam birokrasi, kita bisa melihatnya dari berbagai keyakinan atau mitos yang muncul dalam birokrasi, seperti "ASN itu harus berjiwa melayani, harus loyal, dan jangan banyak protes", "Kalau dapat tugas, aib untuk menolak", atau "ASN muda harus hormat pada senior meski salah".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun