Mohon tunggu...
Perdhana Ari Sudewo
Perdhana Ari Sudewo Mohon Tunggu... Pemulung Ilmu

Pemulung ilmu yang punya hobi menulis, berharap dapat terus belajar dan berbagi melalui ide, gagasan, dan tulisan. Pernah belajar Psikologi dan Administrasi Bisnis waktu di Kampus, dan saat ini berupaya menemukan aplikasi ilmu tersebut dalam kehidupan nyata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Birokrasi dan ASN dalam Cermin Freud dan Jung: Represi, Persona, dan Sistem yang Tak Disadari

2 Juni 2025   03:55 Diperbarui: 2 Juni 2025   04:35 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ASN yang pusing tanpa sebab (Gambar dibuat dengan AI)

Setiap pagi, Pak Darma, pegawai ASN paruh baya datang ke kantor lebih awal. Ia ASN senior di sebuah lembaga pemerintah, dikenal rajin, tidak banyak bicara, dan nyaris tidak pernah menolak perintah. Saat ada tugas tambahan, ia selalu mengangguk dan melaksanakannya. Saat pimpinan salah memberikan arahan terhadap bawahan atau tim kerja, ia memilih untuk diam. Ketika koleganya marah-marah soal sistem kerja yang tidak adil, ia hanya mendengarkan dan tersenyum. Tapi rekan-rekan dekatnya tahu, Pak Darma sering sakit kepala tanpa sebab, susah tidur, dan belakangan mulai lupa banyak hal.

"Biasa, mungkin faktor usia," katanya pelan saat ditanya keluhannya tersebut. Padahal dalam diamnya, ada amarah yang tidak pernah ia sampaikan, ada rasa kecewa yang tak sempat ia utarakan, dan ada harapan yang sudah lama ia kubur. Saat awal masuk sebagai bagian dari birokrat dulu, ada mimpin yang ia bawa, tetapi mimpi itu harus dikubur karena lingkungan kerja yang tidak memungkinkan mewujudkannya.

Pak Darma mungkin hanya satu dari sekian banyak pegawai ASN yang mengalami kondisi serupa. Apa yang dialami pak Darma, tidaklah asing dalam birokrasi kita kalau mau melihat lebih dalam. Banyak ASN terlihat baik-baik saja, tetapi menyimpan tekanan batin yang dalam. Mereka bekerja dengan wajah tenang, padahal di dalam dirinya penuh ketegangan. Mereka seperti gunung es, yang terlihat hanyalah puncaknya. Banyak hal yang tidak muncul di permukaan, ia terkubur dan ditekan dalam ketidaksadaran birokrasi agar tidak muncul ke permukaan.

Melalui tulisan ini, kita mencoba melihat fenomena birokrasi ASN dengan cara berbeda. Bukan sekadar dari perspektif struktur atau kebijakan, tetapi dari dalam, melalui cermin teori psikoanalisis Sigmund Freud dan psikologi analitik Carl Gustav Jung. Ini adalah bagian pertama dari seri tulisan "Membedah Ketidaksadaran Birokrasi", sebuah upaya membaca ulang birokrasi dengan sudut pandang yang berbeda melalui pendekatan batin dan ketidaksadaran kolektif. Kita akan meminjam kacamata psikoanalisis maupun psikoanalitik untuk mendalami hal mendasar yang tersimpan dalam birokrasi. Hal yang selama ini ditekan, dan "haram hukumnya" untuk tampil ke permukaan.

Represi: Bekerja Sambil Menekan Diri (Freud)

Dalam psikoanalisis Freud, represi (repression) adalah proses psikis dimana dorongan, ingatan, atau keinginan yang dianggap tidak dapat diterima oleh norma sosial atau moral ditekan ke alam bawah sadar. Namun, yang ditekan tersebut sebenarnya tidak pernah benar-benar hilang. Ia tersimpan dalam alam bawah sadar, terus bekerja dari balik layar dan mencari jalan untuk muncul kembali ke alam sadar. Seringkali muncul dalam bentuk gejala yang tidak kita sadari, seperti rasa sakit fisik tanpa sebab jelas, gangguan tidur, kehilangan konsentrasi, atau bahkan ledakan emosi yang tak sebanding dengan pemicunya (Naz, 2021).

Dalam dunia ASN, represi ini bisa jadi menjadi sangat nyata apabila kita jeli melihatnya. Lihatlah figur seperti Pak Darma yang diceritakan di awal artikel ini, tampak tenang, loyal, tidak banyak bicara. Tapi di balik semua itu, ia menanggung perasaan marah, kecewa, dan letih yang tidak pernah bisa ia ungkapkan secara aman. Sistem birokrasi yang menuntut ketundukan, kepatuhan mutlak, dan citra profesional yang tanpa cela, tanpa sadar telah menjadi pendorong ASN untuk mengubur banyak sisi dirinya. Bayangkan jika yang terkubur tersebut adalah sebuah potensi atau bakat yang apabila diberikan ruang untuk tumbuh akan menjadi kompetensi dan kinerja hebat birokrasi.

Freud menegaskan bahwa represi adalah mekanisme pertahanan ego terhadap konflik antara id (dorongan naluriah) dan superego (nilai moral dan norma sosial) (Freud, 1923). Dalam konteks birokrasi, superego bisa menjelma dalam bentuk aturan, etika institusi, atau ekspektasi tak tertulis seperti "jangan kritik atasan", "terima apa adanya", "ASN abdi negara", "ASN pelayan publik", atau "lebih baik diam kalau mau selamat". Ego ASN yang ingin bertahan dalam sistem ini akhirnya memilih menekan dorongan jujur dari id, dorongan untuk marah, bertanya, menolak, atau bahkan mundur.

Namun represi bukan solusi abadi, meskipun represi juga dianggap sebagai prasyarat terbentuknya peradaban (Tauber, 2012). Freud menyatakan bahwa dorongan yang ditekan tetap memberi tekanan dari bawah sadar dan butuh energi psikis terus-menerus untuk dijaga tetap tersembunyi. Akibatnya, individu yang secara terus-menerus menekan dirinya justru kelelahan tanpa tahu penyebabnya. Mereka tampak "baik-baik saja" dalam sistem, namun sejatinya mengalami degradasi batin yang terus-menerus, menurunnya vitalitas, makna, dan kadang identitas diri. Lebih lanjut, Freud juga menyinggung bahwa represi kolektif adalah biaya yang dibayar manusia untuk hidup dalam peradaban. Artinya, kehidupan bersama memang menuntut kompromi atas dorongan pribadi. Tetapi, bila represi yang terjadi melampaui batas wajar dan justru merusak daya hidup individu, maka peradaban itu sendiri, dalam hal ini birokrasi dapat berubah menjadi sumber penderitaan.

Maka, ASN seperti Pak Darma bukan sekadar "pegawai teladan". Ia bisa jadi adalah produk dari peradaban birokrasi yang menekan terlalu banyak hal atas nama keteraturan dan kepatuhan. Ia bukan hanya menekan diri, tapi perlahan kehilangan diri. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Dinda Balqis di news.detik.com/kolom/d-5751632/kesehatan-jiwa-dan-produktivitas-asn tahun 2021 menguraikan potensi gangguan mental ASN sudah menjadi ancaman serius untuk ditangani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun