"Saya ingin bekerja dengan benar, tapi kalau saya tidak ikuti atasan, saya bisa dicopot. Saya ingin melindungi tim saya, tapi saya sendiri tidak cukup kuat. Saya bukan tidak punya niat, saya hanya tidak tahu bagaimana."
Kalimat semacam ini, meski jarang diucapkan, diyakini mengisi kepala banyak pimpinan unit kerja dalam birokrasi kita hari ini, khususnya para pemimpin yang masih kerja dengan hati, niat yang tulus untuk mengabdi, dan berbagi kebaikan kepada tim yang dipimpin. Menjadi pimpinan di lingkungan pemerintahan hari ini bukan sekadar soal jabatan mentereng dan menjalankan tugas jabatan. Ia adalah peran yang penuh tekanan psikologis, tuntutan moral, ada harapan dan juga ekspektasi yang seringkali tidak realistis, juga dihadapkan pada situasi yang tidak pasti.
Di satu sisi, pimpinan dituntut loyal pada atasan, menerjemahkan kebijakan dan arahan ke dalam aksi nyata di lapangan, menjaga harmoni, dan tidak menyimpang dari "garis komando".
Di sisi lain, mereka juga dituntut berintegritas terhadap sistem, perhatian kepada bawahan, dan berpegang pada nilai-nilai profesionalisme pekerjaan dan jabatan. Ada nilai BerAKHLAK yang harus dijaga dan tuntutan moral untuk menjadi role modelnya. Keduanya tak jarang tidak sejalan, saling bertabrakan, dan seorang pemimpin dihadapkan pada pilihan sulit yang dilematis. Di sinilah konflik batin para pemimpin birokrasi sering bermuara, antara loyalitas dan integritas.
Memahami Dilema Ini Lewat Pendekatan Psikologi dan Manajemen
Dilema yang dihadapi para pimpinan ASN hari ini bukan hanya persoalan teknis birokrasi, tetapi juga pergulatan moral dan psikologis yang dalam. Banyak dari mereka berada dalam posisi yang menuntut ketegasan administratif sekaligus fleksibilitas politis, menjalankan perintah dari atas, tetapi juga harus menjaga moral organisasi dan melindungi tim yang dipimpinnya.
Di sinilah letak konflik klasik antara loyalitas terhadap atasan dan integritas terhadap prinsip profesional, yang sering kali tidak dapat dijalankan bersamaan.
Untuk memahami kompleksitas ini, kita coba berempati dengan menggunakan pendekatan psikologi organisasi dan kepemimpinan publik. Pertama, dari perspektif teori konflik dan peran (role conflict) yang dikembangkan Kahn, Wolfe, Quinn, Snoek, dan Rosenthal (1964).
Pimpinan ASN hari ini bisa dianggap sedang menghadapi konflik peran antara "melaksanakan perintah" dan "memegang prinsip". Ketika seorang pimpinan sebenarnya paham mana yang benar, tapi tidak memiliki kuasa dan merasa terpaksa melakukan hal yang berbeda karena tekanan dari atas atau sistem yang tidak mendukung, di situlah beban moral dan psikologis mulai menumpuk dengan risiko kelelahan secara mental.
Seorang pimpinan unit organisasi di suatu Instansi Pemerintah misalnya, bisa ingin menegakkan aturan dengan adil, namun pada saat yang sama ditekan untuk mengambil keputusan yang menguntungkan pihak tertentu. Ia tahu apa yang benar, tetapi tuntutan sistem memaksanya melakukan hal yang berlawanan. Inilah yang kemudian menjadi benih dari konflik batin yang dalam.