Mohon tunggu...
Perdhana Ari Sudewo
Perdhana Ari Sudewo Mohon Tunggu... Pemulung Ilmu

Pemulung ilmu yang punya hobi menulis, berharap dapat terus belajar dan berbagi melalui ide, gagasan, dan tulisan. Pernah belajar Psikologi dan Administrasi Bisnis waktu di Kampus, dan saat ini berupaya menemukan aplikasi ilmu tersebut dalam kehidupan nyata

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Antara Loyalitas dan Integritas: Refleksi Kepemimpinan ASN di Era Birokrasi Baru

26 Mei 2025   04:31 Diperbarui: 26 Mei 2025   14:29 3285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dilema Pimpinan, Memilih Loyal Tanpa Syarat atau Integritas? (create by AI)

Pemimpin dihadapkan dengan pilihan untuk menjadi pemimpin yang autentik, sebagaimana disampaikan oleh George (2003) tentang Authentic Leadership Theory, atau pemimpin oportunis yang hanya memikirkan keuntungan pribadi dengan mengabaikan nilai dan lingkungan. Pemimpin yang autentik menekankan pentingnya pemimpin yang setia pada nilai-nilainya sendiri dan transparan dalam menjalankan peran dengan keselarasan pada nilai-nilai yang dipegangnya.

Tapi dalam birokrasi kita hari ini, pilihan untuk memimpin secara autentik memiliki risiko untuk tersingkir. Bersikap transparan bisa dianggap sebagai pembangkangan, terlalu jujur bisa dianggap tidak loyal, berintegritas bisa dicurigai sebagai ancaman, terlalu kritis bisa dianggap membahayakan atasan, dan keteguhan bisa dimaknai sebagai sikap "tidak bisa diajak kerja sama".

Akibatnya, banyak pimpinan kehilangan keaslian dirinya, dan terpaksa menjalankan peran sebagai "penjaga sistem", bukan sebagai pemimpin perubahan.

Kondisi ini kian berat jika kita lihat dari perspektif "moral distress", sebuah konsep dalam psikologi moral yang dikembangkan oleh Andrew Jameton (1984) dalam konteks kerja profesional. Moral distress terjadi ketika seseorang mengetahui secara jelas apa yang benar dan seharusnya dilakukan, tetapi tidak memiliki kuasa untuk melakukannya karena hambatan eksternal atau tekanan organisasi.

Banyak pimpinan ASN yang sebenarnya ingin bertindak adil, ingin mendengarkan bawahannya, ingin menolak titipan, tapi merasa tidak punya dukungan, tidak punya pelindung, tidak punya cukup ruang untuk berdiri sendiri, selain juga harus tunduk pada situasi politis, konflik kepentingan, atau tekanan informal dari atas.

Situasi ini membuat beberapa pemimpin menjadi tampak pasif, gamang, atau seolah kompromistis. Padahal, bisa jadi mereka sedang berjuang dalam diam. Bukan karena tidak mau memimpin dengan baik, tetapi karena terlalu sering merasa sendirian dalam sistem yang tidak memberinya ruang untuk menjadi pemimpin yang sejati.

Pemimpin yang Berniat Baik Tapi Tersesat Arah

Tidak semua pimpinan dalam birokrasi hari ini haus kuasa atau gila jabatan. Masih banyak di antara mereka yang bekerja dengan hati, yang benar-benar ingin memimpin dengan nilai, menjaga etika, dan memberi teladan. Mereka datang ke kantor dengan niat memperbaiki, bukan sekadar menjaga posisi. Namun sayangnya, niat baik saja tidak cukup dalam lingkungan birokrasi yang penuh tekanan dari segala arah.

Banyak pimpinan ASN hari ini berada dalam posisi yang secara moral tahu apa yang benar, tetapi tidak bisa bertindak sebagaimana mestinya. Mereka dihadapkan pada tekanan vertikal dari atasan, kadang berbentuk perintah yang tidak bisa ditolak, kadang berupa ekspektasi yang tidak rasional. Di sisi lain, mereka juga dikelilingi oleh dinamika politik, relasi kuasa, tarik-menarik kepentingan, bahkan praktik transaksional yang tidak mengenal kata ampun. Dalam kondisi seperti ini, pimpinan sering kali hanya punya dua pilihan yang sama-sama sulit, mengikuti arus dan mengorbankan prinsip, atau melawan arus dan berisiko tersingkir.

Bagi mereka yang memilih bertahan, bukan berarti kehilangan idealisme, tapi lebih sering karena mencoba menjaga keseimbangan, agar organisasi tetap berjalan, agar tim tidak terkena imbas, dan agar satu-satunya ruang kecil yang masih bisa ia jaga tidak ikut hancur. Namun, posisi ini bukan tanpa harga. Perlahan, kelelahan moral tumbuh, semangat melemah, dan rasa kehilangan arah menjadi keseharian. Mereka ingin memimpin, tapi tidak tahu lagi apakah yang mereka pimpin masih sejalan dengan nilai yang dulu mereka pegang.

Inilah salah atu wajah birokrasi kita hari ini di antara sekian banyak wajah birokrasi yang coba dibangun dan dicitrakan dengan berbagai cara dan upaya. Di salah satu ruangnya, ada pimpinan yang berniat baik, tapi terjebak dalam sistem yang tidak mendukung integritas. Mereka tidak kehilangan nurani, tapi kehilangan pegangan. Mereka tidak menyerah, tapi mulai diam karena terlalu sering tak didengar. Dan jika ini terus dibiarkan, maka kita bukan hanya kehilangan pemimpin, tetapi juga kehilangan harapan untuk perubahan dari dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun