Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Poletika: Jokowi Galau

10 Mei 2023   14:46 Diperbarui: 10 Mei 2023   14:48 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Presiden Joko Widodo. (Foto: KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Diumumkannya Ganjar Pranowo sebagai calon presiden dari PDIP oleh Megawati Soekarnoputri pada Hari Kartini 21 April 2023 lalu telah mengubah konstelasi politik nasional secara dramatis. Peta koalisi ambyar seketika kalau tidak mau dikatakan limbung bagai pelaut mabuk saat turun ke darat.

Lihat saja, Koalisi Besar yang oleh Ketua PAN Zulkifli Hasan disebut Koalisi Kebangsaan, yang semula nyaris terbentuk, kemudian tak tentu rimbanya. Sebelum Megawati menyematkan kopiah hitam di rambut putih Ganjar, Koalisi Besar yang digagas Presiden Joko Widodo nyaris mengental, bahkan mengkristal.

Semula Koalisi Besar direncanakan sebagai gabungan antara Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (Gerindra dan PKB) dengan Koaliai Indonesia Bersatu (Golkar, PAN, PPP). 

Sebagai "Kingmaker", Jokowi sangat berkepentingan bahwa penggantinya kelak harus dari "all the president men" alias dari orang-orangnya sendiri. 

Jokowi tak ingin keberlanjutan pemerintahan jatuh kepada pengganti antitesisnya, yaitu Anies Baswedan yang telah didorong Koalisi Perubahan (Demokrat, Nasdem, PKS).

Jika jatuh ke tangan presiden antitesisnya, taruhannya sangatlah besar. Proyek besar infrastruktur seperti pembangunan Ibu Kota Negara dan Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung bisa dimangkrakkan di tengah jalan. Demikian pula proyek infrastruktur strategis besar lainnya. Jokowi tentu tidak ingin ini terjadi di depan mata saat sudah tidak lagi menjabat.

Track record masa lalu demikian membekas, Anies cenderung tidak melanjutkan program-program Ahok dalam konteks pemerintah provinsi DKI Jakarta. Jokowi tidak ingin itu terjadi di level nasional.

Tidak hanya Koalisi Besar yang layu sebelum berkembang, naiknya Ganjar sebagai capres juga menggoyakan koalisi lainnya. Lihat saja manuver PKS dan PPP dalam hal mencari sosok cawapres telah menggoyahkan masing-masing koalisi.

Manuver PKS yang menyebut cawapres di luar nama Agus Harimurti Yudhoyono dan Ahmad Heryawan tentu membuat bingung Demokrat dan Nasdem. Sedang PPP dengan cara yang sama, bahkan menyatakan merapat ke PDIP, juga membingungkan Golkar dan PAN di KIB.

Tak ingin diam termangu, giliran Airlangga Hartarto yang melakukan pendekatan kepada Susilo Bambang Yudhoyono (Demokrat). Tujuannya tidak lain melakukan penjajagan duet Airlangga-AHY sebagai capres-cawapres. Artinya, ada peleburan antara KIB dan Koalisi Perubahan. Tersiar kabar Prabowo segera menetapkan Muhaimin "Cak Imin" Iskandar sebagai cawapresnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun