Mohon tunggu...
Firman
Firman Mohon Tunggu... Ethical Hacker

Saya adalah seorang ethical hacker yang fokus pada edukasi, pengujian keamanan sistem, dan peningkatan kesadaran siber di era digital. Melalui tulisan, saya ingin membagikan wawasan tentang pentingnya keamanan informasi, praktik hacking yang etis, dan bagaimana kita bisa membangun dunia digital yang lebih aman.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

PHI Membuka Cabang Di Kota Palopo : Antara Keberanian dan Bahaya Vigilantisme

14 September 2025   19:10 Diperbarui: 14 September 2025   18:11 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 Kota Palopo belakangan ini dikejutkan dengan kemunculan sebuah kelompok vigilante bernama Pedophile Hunters Indonesia (PHI) cabang Palopo. Kelompok ini mengklaim diri sebagai komunitas pemburu predator seksual anak, dan aksi perdana mereka dipublikasikan melalui sebuah saluran WhatsApp. Dari situ, nama PHI Palopo langsung menyebar ke publik dan menimbulkan rasa penasaran sekaligus perdebatan.

Aksi pertama PHI Palopo dilakukan pada malam minggu di Lapangan Pancasila, salah satu titik keramaian utama di Kota Palopo. Tempat yang biasanya menjadi ruang hiburan, olahraga, dan tempat berkumpulnya anak muda itu mendadak menjadi panggung pernyataan: bahwa mereka hadir dan siap "memburu" pihak-pihak yang dianggap predator. Dengan memilih lokasi publik, PHI Palopo tampaknya ingin memberi pesan keras bahwa tak ada ruang aman bagi pelaku pelecehan anak, bahkan di tengah keramaian kota.

Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Kelompok PHI telah bermunculan di berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, hingga Batam. Masing-masing cabang bergerak dengan metode serupa: menyamar di media sosial atau aplikasi pertemanan, memancing target yang diduga predator, lalu menggelar aksi konfrontasi di lokasi pertemuan. Rekaman atau dokumentasi dari aksi itu kemudian dipublikasikan ke publik sebagai bentuk "peringatan" dan pembuktian.

Namun, keberanian semacam ini menyimpan sisi berbahaya. Aktivitas vigilantisme atau main hakim sendiri rawan menimbulkan banyak masalah. Pertama, tidak ada jaminan bahwa target yang dihadapi benar-benar pelaku predator. Tanpa bukti hukum yang sah, risiko salah tangkap atau fitnah sangat tinggi. Kedua, aksi konfrontasi di ruang publik bisa memicu kericuhan, bahkan berpotensi melibatkan kekerasan fisik yang membahayakan semua pihak. Ketiga, publikasi wajah atau identitas seseorang sebelum ada putusan hukum bisa menimbulkan stigma permanen yang sulit dihapus.

Selain itu, aksi semacam ini juga bisa membuat aparat hukum kesulitan. Alih-alih membantu, tindakan vigilante justru dapat mengganggu jalannya proses hukum, karena bukti yang dikumpulkan tidak sesuai prosedur dan tidak bisa dipakai di pengadilan. Pada akhirnya, predator seksual yang seharusnya bisa dihukum lewat jalur resmi malah berpotensi lolos karena kesalahan prosedural.

Masyarakat tentu memiliki alasan kuat untuk khawatir dan ingin melindungi anak-anak dari ancaman predator. Tetapi cara paling bijak bukanlah dengan membentuk kelompok vigilante. Lebih baik jalur aspirasi dan laporan disalurkan kepada NGO (Non-Governmental Organization) yang fokus pada isu anak atau langsung ke aparat resmi seperti kepolisian dan lembaga perlindungan anak. Jalur ini memastikan kasus ditangani secara profesional, berlandaskan hukum, dan benar-benar membawa pelaku ke ranah pengadilan.

Kehadiran PHI Palopo pada akhirnya menjadi cermin keresahan masyarakat. Mereka muncul karena ada rasa kurang percaya bahwa predator anak bisa tertangani dengan baik. Namun, bila tidak hati-hati, aksi semacam ini justru bisa menciptakan masalah baru yang sama berbahayanya dengan ancaman predator itu sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun