Mohon tunggu...
Pena Kusuma
Pena Kusuma Mohon Tunggu... Mahasiswa Fakultas Hukum

Saya adalah content writer yang berfokus pada penulisan seputar Sains, Teknologi, Engineering, dan Matematika (STEM), serta update terkini mengenai dunia militer dan geopolitik. Mohon doanya juga, insyaallah saya bisa lolos sekali tes dalam seleksi PAPK TNI tahun 2027.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Bagaimana Jet Tempur J-15 Picu Gejolak di Laut China Selatan dan Ancaman Dominasi Global?

24 Desember 2024   19:10 Diperbarui: 19 Mei 2025   10:56 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Shenyang J-15 (Source: JetPhotos.com)

China kini tengah tancap gas dalam memperkuat armada kapal induknya dengan meningkatkan produksi jet tempur J-15 hingga 40 unit per tahun—angka yang menandakan langkah serius menuju dominasi udara di laut. Dengan proyeksi total lebih dari 100 unit pada 2025, J-15 akan memperkuat sayap tempur kapal induk mereka seperti Liaoning, Shandong, dan Fujian, mendekati 60% kapasitas tempur kapal induk kelas Nimitz milik AS. Jet ini bukan sekadar pesawat tempur biasa; ia dirancang untuk menjalankan berbagai misi, mulai dari duel udara dengan rudal jarak menengah hingga serangan presisi ke sasaran darat dan laut menggunakan bom pintar. Walaupun radar canggih JL-10A yang dipasang pada J-15 sudah mendukung berbagai mode tempur, kemampuannya masih di bawah radar AESA milik pesawat tempur Barat seperti F/A-18 Super Hornet. Dari sisi teknis, J-15 juga mengalami lompatan penting: sebelumnya mengandalkan mesin D-30 buatan Rusia yang dikenal rawan masalah, kini China beralih ke mesin dalam negeri WS-10B yang lebih andal dan tahan untuk operasi di laut. Langkah ini tak hanya soal teknis, tapi juga bagian dari visi besar “Made in China 2025,” yang menandakan upaya serius untuk mandiri secara teknologi militer dan mengurangi ketergantungan pada pihak asing, terutama Rusia.

Di Laut China Selatan, aktivitas militer China semakin menimbulkan kontroversi karena dinilai melanggar hukum internasional, khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Menurut aturan ini, semua negara berhak atas kebebasan navigasi di laut lepas (Pasal 87) dan hak eksklusif di Zona Ekonomi Eksklusif atau ZEE (Pasal 58(1)). Namun, kehadiran kapal induk China yang membawa jet tempur J-15 di kawasan ini justru menguatkan kesan militerisasi dan intimidasi terhadap negara-negara ASEAN. Bahkan, Mahkamah Arbitrase Permanen sudah menolak klaim "sembilan garis putus" China dalam sengketa dengan Filipina pada 2016, sembari mengkritik pembangunan pulau buatan seperti di Mischief Reef yang merusak lingkungan laut. Selain itu, pola operasi China di kawasan ini kerap menggunakan pendekatan grey zone—alias tindakan-tindakan ambigu seperti patroli agresif atau blokade yang tidak langsung menimbulkan perang, tapi cukup untuk menekan pihak lain. Jika dibiarkan, strategi semacam ini bisa menimbulkan eskalasi serius yang mengarah pada konflik terbuka, apalagi jika dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara lain.

Meningkatnya kekuatan militer China di kawasan Indo-Pasifik, terutama lewat produksi masif jet tempur J-15, ternyata memicu efek domino dalam bentuk perlombaan senjata. Amerika Serikat merespons dengan menggencarkan produksi F-35C dan mengembangkan program tempur generasi baru bernama NGAD. Sementara itu, aliansi Quad—yang terdiri dari AS, Jepang, India, dan Australia—turut mempererat kerja sama pertahanan, termasuk di bidang keamanan maritim dan sistem pertahanan rudal. Negara-negara lain pun tak tinggal diam; Jepang memperkuat armada dengan F-35B, dan Australia dengan F/A-18F, semuanya demi menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan. Di sisi lain, China juga memperluas jaringan strategisnya dengan menggandeng Rusia dalam transfer teknologi mesin dan Iran dalam pengembangan drone. Meski aliansi ini memperbesar pengaruh Beijing, tetap ada risiko pelanggaran terhadap Wassenaar Arrangement, perjanjian internasional yang mengatur kontrol ekspor teknologi militer yang bisa digunakan untuk tujuan sipil maupun militer. Jadi, persaingan ini bukan hanya soal siapa yang punya jet tempur lebih canggih, tapi juga soal siapa yang lebih siap menghadapi dinamika geopolitik yang semakin kompleks.

Meski J-15 jadi andalan China di kapal induknya, pesawat tempur ini masih punya sejumlah keterbatasan teknis yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan pesaing utamanya dari Barat, seperti F/A-18 Super Hornet milik AS. Secara tenaga, J-15 memang unggul berkat mesin WS-10B yang bisa menghasilkan daya dorong sekitar 14,5 ton, lebih besar dari dua mesin F414 di Super Hornet. Tapi keunggulan itu agak tertutupi oleh keterbatasan sistem peluncurannya—J-15 masih mengandalkan ski-jump ramp, yang membatasi beban maksimum hingga 6,5 ton dan jangkauan tempur sekitar 1.500 km. Bandingkan dengan F/A-18 yang bisa membawa beban hingga 8,1 ton dan menjangkau 2.200 km berkat sistem peluncuran CATOBAR yang lebih efisien. Selain itu, radar JL-10A di J-15 masih menggunakan sistem mekanik multi-mode, sementara Super Hornet sudah dibekali radar AESA canggih yang lebih tahan gangguan dan punya jangkauan deteksi lebih luas. Singkatnya, meski J-15 tampak garang di atas kertas, teknologi peluncuran dan avioniknya masih jadi titik lemah yang cukup krusial dalam perbandingan operasional nyata.

Kemunculan dan ekspansi jet tempur J-15 bukan cuma soal menambah kekuatan udara di kapal induk China, tapi sebenarnya mencerminkan ambisi Beijing untuk menguasai jalur maritim strategis di Laut China Selatan lewat strategi anti-access/area denial (A2/AD). Langkah ini jelas mengganggu prinsip kebebasan navigasi dan bisa mengacaukan stabilitas kawasan. Produksi J-15 yang makin agresif juga berisiko memicu perlombaan senjata, apalagi di tengah konsentrasi besar kekuatan laut AS yang kini mengalihkan 60% armadanya ke Indo-Pasifik. Di sisi lain, meski hukum internasional seperti UNCLOS dan putusan PCA 2016 sudah menyatakan posisi China di kawasan ini bermasalah, tanpa dukungan militer dan tekanan diplomatik yang solid—misalnya dari ASEAN—upaya penegakan hukum cenderung mandek. Jadi, lebih dari sekadar alat tempur, J-15 adalah simbol strategi besar China dalam merancang ulang keseimbangan kekuatan dan aturan main di Indo-Pasifik, sekaligus tantangan langsung terhadap dominasi AS dan tatanan hukum laut yang ada.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun