Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Percakapan dengan Surat di Bandara

30 Juni 2016   15:11 Diperbarui: 30 Juni 2016   15:46 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi II sumber gambar ; http://www.nyc-architecture.com"][/caption]

Ruang tunggu bandara Soetta cukup ramai. Satu persatu calon penumpang masuk kemudian mengambil tempat duduk. Seperti menjalani ritual, mereka kemudian menyibukkan diri dengan gadget ditangan.

Disampingku duduk selembar Surat. Dari tadi ia diam saja, tubuhnya seolah memamerkan rangkaian tulisan dengan sebuah logo yang cukup kukenal.

Pada dasarnya aku orang yang tak mampu berdiam lama. Apalagi bila harus duduk untuk menunggu sesuatu. Gadgetku masih online, tapi aku sudah mulai jenuh membaca berita.

Aku kemudian memberanikan diri menyapa Surat. Kami kemudian berkenalan.

Tampilan luar Surat terlihat formal, kaku, dan pemalu. Namun ternyata saat bercakap-cakap bicaranya lugas, hangat, penuh humor yang terkadang lebay dan satire. Bagiku sangat mengasikkan.

Surat bercerita sebenarnya dia berangkat ke New York bersama anak gadis seorang petinggi negeri ini. Namun atas perintah lisan ayah si Gadis, mereka berdua dilarang terlihat bersama. Harus berlagak tidak saling kenal. Bahkan maskapai yang digunakanpun berbeda. Si Surat menggunakan Faximile Airways, sedangkan si Gadis memakai Pesawat Airways.

"Su, tahukan saat ini banyak orang membicarakanmu?"

"Ya tahu lah. Aku sebenarnya bingung. Di negeri ini soal itu sudah biasa. Kenapa mereka jadi heboh membicarakannya?"

"Tentu saja jadi Headline dimana-mana, Su. Karena terkait dengan Politisi Kondang yang dianggap publik sangat kritis pada pemerintah. Masalahnya, kalau si Politisi Kondang itu bisa dengan gampangnya mengkritisi pemerintah, kenapa dia sendiri tidak kritis terhadap diri sendiri?"

"Nah, harusnya mereka bisa memahami, dong."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun