Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kebakaran Gedung Kejaksaan Agung di Layar Bu Tejo

23 Agustus 2020   06:17 Diperbarui: 23 Agustus 2020   16:29 1804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Kejaksaan Agung di Jalan Sultan Hasanudin Dalam, No. 1, RT.011/RW.007, Kelurahan Kramat Pela, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan terbakar Sabtu (22/8/2020) malam. (Foto: KOMPAS.COM/ BONFILIO PUTRA)

Bu Tejo belum pernah melihat langsung Gedung Kejaksaan Agung. Apalagi masuk ke dalamnya. Tapi jangan kau kira Bu Tejo tak mengetahui apa yang terjadi di sana

Bu Tejo adalah Fenomena. Kebakaran gedung Kejaksaan Agung "cuma" peristiwa. Keduanya tak ingin persamakan. Padahal, diam-diam (sebenarnya) kedua istilah itu "masih" satu familia. Kok bisa?

Bu Tejo orang yang melek internet, sebuah "big data" yang penuh informasi tak berbatas waktu. Dalam hal itu, Bu Tejo merupakan konsumen yang produktif sebagai pengumpul dan pemakan informasi. Boleh dikatakan hyper konsumtif.

Tak sekedar melek internet, Bu Tejo juga sekaligus aktivis "garis keras" media sosial. Baginya, informasi tak perlu lama dikunyah, tapi langsung ditelan untuk dijadikan energi aktivitasnya di dunia maya dan nyata.

Salahkah Bu Tejo? Tidak. Namun dis isi lain (bisa jadi) tidak tepat.

"Salah" dan "Tidak Tepat" beda kampung, tapi masih saudara dekat. Banyak orang seringali tidak mengetahui, apalagi memahaminya.

Bu Tejo adalah sebuah fenomena terhangat di negeri ini, yang dilahirkan dari sebuah filem pendek 'Tilik' yang "nyebelin" atau "njelehi". Filem karya Wahyu Agung Prasetyo itu menjadikan buah bibir Bu Tejo jadi buah bibir publik.

"Bagus kah bibir Bu Tejo?"

"Aaaaw! Jangan tanya akooh. Heu..heu..heu..Nonton aja filemnya."
"Emang kamu udah nonton?"
"iishh, pake tanya-tanya lagee"

Gedung Kejaksaan Agung baru saja terbakar! Hampir seluruh gedung musnah dilahap si Jago Merah!

sumber gambar kompas tv
sumber gambar kompas tv

Berbondong-bondong media mainstream meliputnya demi informasi publik. Bahkan ada stasion televisi yang menjadikannya siaran "live". Penonton mendapatkan berita/informasi yang real time. Nikmat informasi mana lagi yang kau dustakan?

Peristiwa kebakaran itu berlangsung relatif lama. Api besar melahap gedung tidak bisa cepat dipadamkam pihak berwenang. Dengan dukungan peralatan modern, para petugas yang sudah terlatih perlu waktu berjam-jam bertarung memadamkan api. Mereka mempertaruhkan raga dan nyawa di lokasi.

Diselang waktu upaya pemadaman itu, informasi kebakaran sudah menyebar luas ditengah masyarakat. Dari Sabang sampai Marauke. Dari Miagas sampai pulau Rote . Didepan layar televisi, bibir publik pun berceloteh. Nada keprihatinan. Kekuatiran. Keingintahuan, dan lain-lain.

Bersamaan dengan itu, ketak ketik jari-jari sebagian publik pun aktif di perangkat media pintarnya mengiringi tontonan api Berbagai kanal media sosial. Kanal-kanal media sosial riuh. Grup WA, FB, Twitter, Instagram, dan lain sebagainya.

Dari ketak-ketik tulisan itu, disaat api belum masih membara, dan pertarungan petugas pemadam kebakaran dan petugas pendukung lainnya masih berlangsung, publik netizen berproduksi informasi ; opini, argumentasi, analisis ringan, celoteh, dan lain-lain dengan ngotot-ngototan maupun canda.

Pada saat itu juga, berbagai "kebenaran informasi" telah diciptakan dari satu orang ke orang lain, dari satu kelompok ke kelompok lain, menjadi informasi publik untuk sesama publik, layaknya diktum demokrasi "dari rakyat untuk rakyat". Kemunculan Konspirasi pun tak bisa dielakkan.

Padahal api belum padam, penelitian belum mulai, dan validitas informasi penyebab kebakaran belum disampaikan resmi. Namun "kebenaran" sudah diciptakan, yang bisa jadi kelak mengalahkan "kebenaran valid" yang telah melewati metode baku sebuah kebenaran universal.

sumber gambar tribunnews.com
sumber gambar tribunnews.com
Dibandingkan fenomena Bu Tejo, peristiwa Kebakaran Gedung Kejaksaan Agung " belum ada apa-apanya" karena peristiwa itu muncul setelah kelahiran Bu Tejo. Disinilah titik kritis itu. Bu Tejo menjadi "penguasa" informasi perstiwa. 

Dia ciptakan fenomena baru ditengah api, yang didasarkan pada kebiasaan "mengumpulkan informasi, memakannya dengan tanpa perlu lama mengunyah untuk dijadikan energinya sebagai "aktivis" media sosial. Ujung-ujungnya adalah energi eksistensi diri di tengah kelompok.

Bila melihat filem 'Tilik" , kita akan menyangkal bila dikatakan mirip Bu Tejo. Kita tak sudi Bu Tejo didaulat sebagai representasi kita ditengah arus informasi internet, khususnya media sosial. Banyak cara dan alasan bisa dikemukakan.

Tapi kita tak bisa menyangkal suara tangisan hati nurani ketika "kebenaran" diri kita ternyata tidak tepat setelah validitas informasi kemudian menyatakan dirinya di depan pintu hati nurani.

Bu Tejo sebenarnya telah lama hadir ditengah kemajuan arus informasi. Sementara kebakaran Gedung Kejaksaan Agung baru terjadi. Sejatinya kita hati-hati berada diantara kedua "kehadiran" itu. Karena kalau salah berlaku informatif, wajah perilaku kita memang mirip Bu Tejo.

----

Peb-23Agustus2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun