Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Diksi Tabu pada Fiksi Diantara Moral, Etika dan Estetika

14 September 2015   19:05 Diperbarui: 14 September 2015   19:33 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="http://2.bp.blogspot.com/-yunsqhT6bDE/VaBh9oJTfPI/AAAAAAAAA60/51mevwsqwxc/s1600/rembulan.jpg"][/caption]

Aku ini binatang jalang dari kumpulan yang terbuang
(Chairil Anwar)

Demikianlah sebuah penggalan diksi puisi Chairil Anwar angkatan 45. Hidup di masa pra dan pasca proklamasi kemerdekaan RI. Sampai kini masih jadi legenda klasik dunia sastra Indonesia. Puisi itu berjudul 'Aku', sebagai sebuah 'pemberontakan' seorang Chairil Anwar atas realitas timpang yang dilihatnya.

Membayangkang kehidupan masa itu akan muncul suatu kondisi masyarakat yang kental nilai-nilai tradisional, moral dan etika. Banyak hal 'tabu' yang tak boleh diungkapkan. Cara bertutur lisan dan tulisan 'ditentukan' dari nilai-nilai tersebut.

Ketika 'Binatang Jalang' ditulis, maka tulisan dan penulisnya menjadi penuh polemik karena dianggap keluar dari kesopanan. Nilai-nilai seolah dilanggar. Penulisnya dianggap tak tahu etika. Tak punya moral.

Tak ada orang yang mau mengaku sebagai Binatang (yang) Jalang karena sangat merendahkan derajat kemanusiaan dan harga diri. Tapi Chairil Anwar melakukannya. Untuk diri sendiri, kah?

Nanti dulu !

Frasa dalam fiksi mempunyai ruang bermain yang luas. Bagi penulis Fiksi, ruang itu diyakini bebas untuk dirinya berekspresi.

Seringkali ekspresi dianggap melanggar pakem yang berlaku di luar ruang fiksi.
Bagi Fiksi ; mulut bisa untuk mendengar, mata untuk berbicara. Penis dan Vagina bukan semata alat ritual persetubuhan, reproduksi dan saluran pembuangan hasil metabolisme tubuh tapi bisa menjadi tanda kerendahan hati atau kesombongan, tanda cinta atau benci, tanda penyatuan atau berpisah, dan lain-lain.

Bagi Fiksi : Seseorang bisa berada di manapun, didunia-neraka, dia ruang angkasa-bumi, di ruang gelap-terang, di penjara-lapangan, dan lain sebagainya kapapnpun dia mau.

Bagi Fiksi ; seseorang, si Penulis atau orang lain bisa menjadi apapun dia mau, menjadi raja-rakyat jelata, menjadi penjahat, menjadi malaika-iblis, menjadi orang tua-anak bayi, dan lain-lain.

Bagi fiksi semua itu bisa dilakukannya dalam rentang waktu yang singkat, dalam satu tulisan atau rangkaian tulisan. Kunci utamanya adalah rangkaian diksi yang dia tulis untuk menghidupkan tulisan fiksi-nya, dan tujuan-pesan yang ingin disampaikan.

[caption caption="http://4.bp.blogspot.com/-SejJqeL2de4/U3OwWkmalQI/AAAAAAAAARI/ITc02OhKQMQ/s1600/makna.jpg"]

[/caption]

Ragam frasa yang tabu di ruang non-fiksi dibawa ke ruang fiksi kemudian dijadikan Diksi untuk alat berekspresi. Sebagai alat pengungkap segala 'kagundahan' penulis fiksi atas dirinya dan lingkungannya. Sebagai alat penyampai pesan dengan cara tak lazim. Digugahnya emosi pembaca, yang bahkan sampai si Pembaca marah!

Marah pada siapa?

Sejatinya, tergugah dan marah pada diri sendiri. Pada lingkungan. Pada realitas timpang yang sebelumnya dilihat. Namun yang seringkalai terjadi pembaca marah pada si Penulis karena menganggap. Penulis tidak sopan, tidak bermoralnya, tidak beretika dan tidak tahu adat istiadat, karena ; Kata-kata tabu dari ruang Non-Fiksi telah dibawa ke ruang Fiksi kemudian dibaca lateral di Ruang Non-Fiksi, bukan di ruang Fiksi itu sendiri !

Oleh Si Pembaca secara naif memaknai Fiksi dengan cara non-fiksi. Dan celakanya, penulis tak pernah perduli hal itu.

Disinilah muncul salah satu Kontroversialitas karya Fiksi. Diperbincangkan, dihujat dan disayangkan kemunculannya.

Pemaknaan sebuah tulisan yang sejatinya berisi satu pesan masif kemudian menjadi relatif. Tapi bagi Fiksi, hal sudah lazim. Bagi Fiksi, relativitas makna menjadikannya semakin eksis, berhasil. Semua kembali kepada setting Pembaca, bukan pada Penulis.

Fenomena Pebrianov-Desol

Rangkaian puisi bersahutan Pebrianov-Desol di Kompasiana telah menjadi satu contoh Kontroversialitas, Relativitas, dan Ambiguitas sebuah karya tulisan. Mengingat bahwa Pembaca Kompasiana memiliki setting yang sangat beragam. Mereka ada yang mau membaca Pebrianov-Desol tetap di ruang Fiksi, ada yang membacanya di ruang Non-Fiksi.

Atau ada yang membacanya tepat di batas pintu Ruang Fiksi dan Non Fiksi. Mereka menikmati keliaran Pebrianov-Desol sambil mengira Kedua Mahluk Bercinta itu benar-benar ada di realitas. Pembaca seperti ini masih permisif pada sosok penulis namun dengan penuh ragu.

Sikap Pembaca

Sejatinya, membaca Fiksi tetaplah di ruang Fiksi. Bukan di ruang Non-Fiks karena akan membuat pusing kepala di ruang nyata.

Namun sungguh tak bijaksana melarang orang membaca apapun di Kompasiana, seperti halnya tidak bisa melarang orang menulis Fiksi di Kompasiana ini.

Semua pemaknaan dikembalikan pada diri setiap pembaca. Mereka memiliki otoritas penuh atas pemaknaan, sesuai kapasitas diri dan setting diri. Kalaupun akibat dari semua itu harus marah secara nyata, Penulis Fiksi tak bisa membalas balik dengan kemarahan.

Penutup

Seorang penulis Fiksi adalah sosok penakut dan pemberani yang ekstrim. Dia berani diam lama dalam sepi, jauh dari keramaian.

Di sana dia bisa masuk penjara,  terluka dan mati tanpa ada yang tahu. Ditantangnya kematian itu untuk segera menghampiri, walau seperkian detik saat penjemput kematian itu menyelesasikan tugasnya, si Penulis mengalami ketakukan yang maha dahsyat. Ketakutan itu hanya miliknya.

Penulis Fiksi tak menolak dipuja namun sedetik kemudian dicaci-maki lebih dari puja-puji yang pernah dia terima.

Karena penulis puisi bukan manusia biasa.

*** 

Semoga Fiksiana di Kompasiana semakin hidup dan berjaya.

Salam Fiksi

--------
Bandung, 14/9/2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun