2. Tubuh sebagai Medan Kekuasaan
Dalam Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1977), Foucault menunjukkan bagaimana institusi modern seperti penjara, rumah sakit, sekolah, dan militer memperlakukan tubuh sebagai objek yang bisa dikendalikan melalui disiplin: jadwal, postur, pengawasan, dan hukuman kecil. Tubuh menjadi perangkat ketaatan yang dikondisikan agar pasif dan dapat diukur.
Ia mengembangkan konsep panoptikon sebagai metafora pengawasan internal yang memaksa seseorang meresapi norma dominan dan melakukan selfdiscipline tanpa perlu diawasi secara langsung. Dalam konteks gender, perempuan dituntut menampilkan citra kelembutan, kerapian, dan kepatuhan, suatu estetika tubuh yang bukan refleksi pribadi, melainkan hasil konstruksi norma negara dan budaya patriarkal.
Foucault memperlihatkan bahwa kontrol atas tubuh bukan hanya soal mengekang ruang gerak, tetapi juga membentuk identitas: gaya berpakaian, cara bicara, gerak tubuh, bahkan mimik dan ekspresi diawasi dan disanksi. Tubuh yang menyimpang akan disosialisasikan kembali melalui disiplin-suara, gosip, atau pengucilan sosial.
Dalam masyarakat birokratis, perempuan sebagai ibu pejabat atau istri pemilik kuasa tidak hanya dikontrol melalui aturan formal, tetapi diciptakan sebagai objek visual: rapi, lembut, sabar, tanpa sikap kritis. Tubuh mereka merupakan perpanjangan simbol negara yang perlu tampil sempurna dalam setiap seremoni.
Dengan demikian, tubuh perempuan menjadi medan perlawanan: resistensi mikro-politik terjadi saat tubuh menolak dikendalikan---misalnya, tubuh suarakan kepedihan, jemari penolakan pada make-up resmi, atau keberanian tampil apa adanya. Ini adalah tubuh yang membebaskan dari estetika kekuasaan.
3. Resistensi dan MikroPolitik Kekuasaan
Foucault menolak narasi bahwa resistensi adalah bentuk besar seperti revolusi atau perlawanan terorganisir. Ia lebih menekankan resistensi sebagai tindakan lokal, tersembunyi, dan kontinu, yang beroperasi di tingkat harian---sering disebut sebagai micropolitics of resistance researchgate.net. Resistensi ini bukan hanya untuk menentang, tetapi untuk menciptakan makna alternatif dalam batas-batas kuasa.
Thomas & Davies (2005) dalam "Theorizing the Micro-politics of Resistance" menjabarkan bagaimana aktor di organisasi publik di Inggris menggunakan makna wacana New Public Management untuk menafsir ulang identitas profesional. Mereka melakukan "microemancipations" aksi kecil yang tidak merombak sistem, tetapi menegaskan daya kritis dalam ruang yang terbatas.
Foucault sendiri menyatakan bahwa di mana ada kekuasaan, di situ ada resistensi: tidak ada relasi kekuasaan tanpa percikan perlawanan. Ini bisa berupa bahasa kontra, gaya berpakaian berbeda, penghindaran struktur ritual, atau keterlibatan simbolik pada identitas minoritas.
Analisis resistensi mikro-politik semakin relevan dalam kajian feminis yang fokus pada gerakan akar rumput. Resistensi perempuan kelas bawah sering terjadi dalam bentuk denyut kecil: komunitas lokal, nongkrong kolektif, kritik informal terhadap elite. Ini berbeda dari aktivisme formal, tapi sama signifikan dalam merongrong dominasi simbolik.